Opini

Kontraksi Ekonomi menurut Mazhab Iqtishaduna

Sab, 5 September 2020 | 15:00 WIB

Kontraksi Ekonomi menurut Mazhab Iqtishaduna

Ciri khas dari negara yang mudah mengalami depresi ini, adalah bila negara terlalu memberikan ruang pemborosan terhadap anggaran

Iqtishaduna merupakan istilah lain dari kondisi kesetimbangan (equilibrum). mazhab ini merupakan salah satu mazhab pemikiran ekonomi yang digagas oleh Baqir al-Shadr. Cukup menarik untuk menyimak gagasannya mengenai teori equilibrum menurut mazhab yang satu ini, khususnya saat kita hendak memahami mengenai fenomena kontraksi ekonomi yang dikhawatirkan oleh Kemenkeu setelah mengaca dari kontraksi ekonomi yang terjadi pada negara tetangga, yakni Malaysia. Posisi kontraktif akibat resesi ekonomi ini, khususnya di Malaysia, berlangsung lebih parah dibanding Indonesia. Dan ini yang menarik untuk kita ketahui bersama, apa itu kontraksi ekonomi? Tentu tinjauan yang akan kita gunakan adalah meminjam salah satu mazhab pemikiran ekonomi syariah yang otoritatif dewasa ini, yaitu mazhab iqtishaduna. Di sini penulis akan mencoba memberikan ilustrasi yang mudah kita fahami bersama. 

 

Kontraksi ekonomi merupakan sebuah respons dari suatu kumpulan keadaan ekonomi yang terjadi di suatu wilayah/negara. Sebagai gambaran sederhananya adalah anda perhatikan sebuah botol plastik kosong yang berisi udara! Saat botol plastik itu anda masukkan ke dalam air, lalu anda tekan, maka keluarlah udara yang ada dalam botol. Sebagai responnya, masuklah air itu ke dalam botol menggantikan rongga yang ditinggalkan oleh udara. Itulah gambaran dari kontraksi ekonomi. Seberapa banyak air yang bisa masuk ke dalam botol? Jawabnya, puncaknya adalah sebanyak volume botol itu atau sebanyak volume udara yang meninggalkan botol.

 

Puncak volume botol itu merupakan kondisi yang sudah ditetapkan kadarnya. Kondisi ini kita sebut sebagai kondisi equilibrum (iqtishad), yang mana posisi botol sudah mencapai puncak daya tampungnya. Mengisi botol melebihi daya tampungnya, justru menjadikan botol itu dalam kondisi yang terancam hancur sehingga isinya juga terancam tumpah ruah. Tumpahan semacam ini, dalam dunia ekonomi konvensional dikenal dengan istilah ekspansi, sebab negara membutuhkan wadah lain yang bisa menampung aktifitas ekonominya. Dunia ekonomi syariah menyebut ekspansi ini dengan istilah menebar keberkahan.

 

Ekspansi ekonomi yang dijiwai dengan upaya merampas hak-hak yang terdapat di wadah baru tempat melakukan ekspansi, menjadikannya berubah wajah menjadi kolonialisme atau imperialisme. Sementara itu, pencarian wadah yang disertai penjagaan terhadap hak-hak wadah baru, dikenal dengan istilah investasi.

 

Karena Islam mengajarkan pelarangan adanya sifat dhulm (penindasan/imperialisme) dan memerintahkan agar berlaku adil, maka langkah melakukan investasi dan bekerja sama dalam suatu ikatan syirkah bersama dengan negara lain, adalah merupakan yang dianjurkan. Di dalam investasi, dua negara yang menjalin kemitraan saling berbagi keuntungan usaha.

 

Bagaimana jika investasi ke wadah baru tidak dilakukan? Yang ada, posisi perkembangan aktifitas ekonomi akan menjadi panas di negara tersebut, sebab mereka sudah ada di puncak pertumbuhan ekonomi yang bisa ditoleransinya. Jika tidak diatasi, maka yang terjadi justru membahayakan negaa itu sendiri sebab daya tampungnya bersifat terbatas sebagaimana daya tampung botol di atas. Seolah berlaku ketetapan sunnatullah, bahwa:
 

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْناهُ بِقَدَرٍ (٤٩)

 

"Sesungguhnya, Kami telah ciptakan segala sesuatu dengan ukurannya.” (Q.S. Al-Qamar: 47)

 

Ringkasnya, sudah ada ketetapan ukurannya yang kemudian diistilahkan dengan taqdir. Tiidak akan lebih, dan tidak akan berkurang.

 

Lantas, bagaimana gambaran dari kontraksi ekonomi itu terjadi?

Istilah lain dari kontraksi adalah respons dari tekanan. Jika anda memencet botol plastik, maka botol itu akan berbalik seperti sedia kala, yang disertai menyedot air yang berada di luar botol. Inilah gambaran sederhana dari kontraksi. Jadi, kontraksi ini merupakan upaya menuju kepada puncak pertumbuhan ekonomi yang digambarkan sebagai equilibrum di atas.

 

Puncak dari pencetan terhadap botol, dalam dunia ekonomi dinamakan dengan istilah palung. Anda kenal dengan istilah palung, bukan? Ya, palung merupakan bagian terdalam dari jurang yang terdapat di laut. Oleh karenanya, palung juga disebut sebagai bagian terendah dari bumi.

 

Jika botol itu kekurangan isi yang disebabkan udaranya keluar akibat gencetan ekonomi, maka yang terjadi adalah kondisi mengerut. Kondisi demikian ini, dalam bangunan ekonomi dikenal dengan istilah resesi, sebab antara volume botol dan isinya tidak berlangsung seimbang. Depresi terjadi saat semua isi botol dikeluarkan dengan jalan dipencet habis, yang disertai bentukan fisik botol menjadi hampir hancur. Oleh karena itu, maka antara resesi dan depresi, adalah dua hal yang berbeda.

 

Jika suatu negara ada dalam posisi resesi, maka dimungkinkan bangunannya utuh seperti sedia kala, disebabkan karena untuk menuju puncak pertumbuhan, ada sumberdaya baru yang bisa diserapnya yang didukung oleh kemampuan negara dalam melakukan aktifitas penyerapan. Jadi, kata kunci untuk pulih dari resesi ini adalah ada pada kemampuan negara dalam menyerap ini. Di saat itulah, terjadi yang dinamakan dengan istiilah kontraksi.

 

Lain halnya dengan depresi. Di dalam depresi, potensi negara untuk melakukan penyerapan itu sudah sulit. Kendati banyak sumberdaya baru yang bisa diserap yang diakibatkan bangunan fisik negaranya sudah diambang kehancuran. Dalam kondisi semacam ini, agar negara bisa menampung sumberdaya baru tersebut, maka aparat negara harus melakukan perbaikan terhadap bangun sistem ekonominya. Ciri khas dari negara yang mudah mengalami depresi ini, adalah bila negara terlalu memberikan ruang pemborosan terhadap anggaran, misalnya melalui subsidi dan sejenisnya. Akibatnya, banyak inefisiensi anggaran. Contoh  dari negara yang pernah mengalami hal semacam ini adalah Negara Nauru.

 

Nauru dulunya merupakan negara kepulauan yang paling kaya. Namun saat ini, Nauru merupakan negara termiskin. Apa penyebabnya? Tidak lain adalah karena membiasakan warganya disubsidi secara terus menerus dalam segala aspek kehidupannya. Akibatnya, ketiika negara itu mengalami keterancaman habisnya sumberdaya alam utama yang dimilikinya dan merupakan pasokan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) berupa fosfat sebagai bahan baku pupuk, negara itu mulai kolaps, dan ujung-ujungnya mengalami banyak kebangkrutan. Sementara itu, kreatifitas warga negaranya tidak terbentuk disebabkan kebiasaan disubsidi. Ini merupakan kebijakan fatal dari negara tersebut.

 

Mengapa Arab Saudi yang dikenal sebagai Negara Petrodolar sekarang ini mulai membuka diri terhadap wisata dan investasi di bidang hiburan? Padahal, beberapa tahun silam, negara tersebut merupakan yang paling anti terhadap dunia itu. Jawabnya, tidak lain adalah aparat negara tersebut sudah mulai menyadari bahwa sumber daya alam yang dimilikinya, berupa minyak bumi, adalah sumberdaya yang bersifat terbatas dan bisa habis jika dieksploitasi terus-menerus. Sementara itu, banyak aktifitas penduduk negeri itu yang sudah dimanjakan oleh subsidi dari negara.

 

Di Arab Saudi, semua lembaga pendidikan tidak ada yang membayar hingga detik ini. Negara hadir dan bahkan justru membiayai semua peserta didik, bahkan semua fasilitas pendidikan, adalah berasal dari negara. Ini belum dalam bidang kesehatan dan lainnya. 

 

Walhasil, jika tidak segera direspons dan tetap memanjakan penduduk dengan subsidi, sementara sumber pendapatan utama mereka hanya mengandalkan minyak bumi yang tentunya bersifat terbatas, maka yang terjadi adalah tinggal menunggu tanggal main kejatuhan negara tersebut. Namun, pihak otoritatif dari negara tersebut, rupanya sudah mulai meresponsnya.

 

Walhasil, Indonesia yang hingga detik ini masih merupakan negara yang dalam banyak bidang tidak memberlakukan subsidi kepada warganya, penulis meyakini bahwa Indonesia akan lebih cepat dalam menuju ke normalitas puncak perkembangan ekonominya, disebabkan ada kemampuan kontraktif yang diperankan oleh warga serta aparatnya. Insyaallah! Maka dari itu, masyarakat harus membiasakan diri untuk tidak mengandalkan subsidi dan insentif dari negara, agar efisiensi APBN bisa dipergunakan sebesar-besarnya untuk pembangunan Indonesia.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jawa Timur