Opini

Ketika Publik Mempertanyakan Kesyariahan Bank Syariah

Sab, 10 Maret 2018 | 14:45 WIB

Oleh Muhammad Syamsudin

Dalam kesempatan ini, penulis sedikit akan menyampaikan beberapa opini publik terkait dengan produk jasa syariah bila dibandingkan dengan produk jasa konvensional. Beberapa waktu yang lalu, banyak warganet (netizen) yang menyampaikan kepada penulis melalui akun media sosial, seperti Whatsapp, Facebook, Twitter, dan Telegram tentang beberapa produk jasa syariah dan hukumnya. Di antara netizen ada yang memberi contoh kasus tentang hasil akhir produk pembiayaan syariah yang lebih mahal dari jasa bank konvensional.

Ada juga netizen yang memberi tanggapan mengenai sejumlah lembaga dengan produk yang berlabel syariah, yang ternyata dalam beberapa prinsip pelaksanaan di lapangan menyalahi konsepsi syariah. Di lain pihak, ada yang membandingkan produk hasil bahtsul masail—tradisi santri dan budaya warga NU–yang menunjukkan pandangan berbeda dari fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI dalam soal hukum kehalalan, keharaman, kebolehan, dan ketidakbolehan suatu objek hukum. Itulah realitas netizen jaman now, di satu sisi ada unsur negatif, namun kali ini penulis lebih mengambil sisi positifnya.

Apakah pandangan netizen tersebut salah? Jika salah, apa penyebabnya? Apa yang melatarbelakangi pandangan mereka itu? Banyak sekali pertanyaan yang sejatinya bisa kita ungkapkan di sini. Namun, penulis dalam kesempatan ini hanya akan menganalisa, mengapa terjadi keragaman pemahaman di kalangan netizen dan masyarakat terkait produk syariah?

Ada beberapa kemungkinan mengapa muncul asumsi masyarakat sebagaimana yang kita sebutkan di atas. Pertama, masyarakat sudah terbiasa dengan sistem ekonomi konvensional sehingga produk dengan pola akad yang disesuaikan dengan alur syariah pun pada akhirnya dianggap sama dengan produk konvensional. Suatu misal, kredit di bank konvensional yang berbasis bunga, dengan kredit di bank syariah yang berbasis margin keuntungan. Karena antara kedua produk pembiayaan ini memiliki nilai yang sama, yaitu senantiasa lebih besar dari “pokok pinjaman/pembiayaan”, maka pembiayaan pada produk bank syariah akhirnya diartikan dan dimaknai sama dengan bunga. Padahal, konsepsi seperti ini adalah salah. Karena tidak semua harga yang lebih besar dari “pokok” selalu identik dengan bunga.

Jadi, mispersepsi yang disebabkan karena lingkungan—yang sudah terbiasa dengan pinjaman ala bank konvensional—membawa pengaruh kepada persepsi pembiayaan ala bank syariah. Agar mispersepsi ini tidak jalan terus, maka pihak bank syariah dan otoritas jasa keuangan syariah sudah semestinya bekerja sama dengan media-media pemberitaan publik seperti NU Online dan media lainnya, guna menyosialisasikan produk-produk keuangan syariah, mengingat hal itu tidak bisa dilaksanakan dengan hanya menyelenggarakan seminar. Masyarakat Muslim Indonesia dari kalangan menengah ke bawah, lebih familier dengan media pemberitaan yang berafiliasi dengan organisasi kemasyarakatan yang memayunginya. Ingat, sasaran produk syariah kita adalah basis masyarakat Muslim yang banyak tinggal di pedesaan dan seharusnya menjadi obyek garapan dari jasa keuangan syariah itu sendiri.

Kedua, memang beberapa produk jasa terkadang memang memiliki konsepsi yang berbeda dengan konsep fiqih turats. Dulu penulis sempat diprotes oleh sejumlah netizen ketika menulis tentang pembagian profit and loss sharing. Di satu sisi netizen menyatakan seharusnya konsep bagi untung rugi itu berbasis total laba, dan bukannya berbasis modal. Rasio bagi hasil dengan basis total laba memungkinkan fluktuasi pembagian yang naik turun tergantung kepada laba investasi yang didapat. Sementara bagi untung-rugi dengan basis modal, condong ke arah riba karena presentasenya yang tetap. Kedua alasan tersebut memang tepat, namun seiring pertimbangan bahwa bank adalah sebuah keniscayaan, sementara investasi juga mensyaratkan harus ada bagi hasil, maka berapa pun bagi hasilnya, pihak investor harus tetap mendapatkan haknya, mengingat uangnya sudah dipakai untuk operasional perbankan dalam investasi. Adapun akad nasabah sejak awal juga melakukan investasi. Keselamatan dana nasabah dan jatah bagi hasil yang seharusnya diterima olehnya adalah mutlak penting untuk dipertimbangkan, karena kita berhadapan dengan sebuah sistem yang “tidak dapat balik”. Inilah alasan penulis pada waktu itu dalam menyatakan bahwa beberapa konsep profit and loss sharing, meskipun fasid dari segi nisbah pembagian, namun tidak mengurangi kehalalannya karena nasabah adalah penderita.

Dualisme masalah seperti di atas sudah dipahami oleh Otoritas Jasa Keuangan Syariah dan termaktub dalam Rencana Standarisasi Produk Murabahah dan Mudlarabah pada sistem perbankan syariah. Selain persoalan konsep bagi hasil, keberadaan uqûdul murakkabah (akad ganda) yang beberapa di antaranya memakai dasar legitimasi fiqh dlarurat, dalam jangka panjang membutuhkan penyikapan. Siapa yang menyikapi? Tentu dalam hal ini adalah, semua lembaga yang berwenang dan terlibat dalam penyelenggaraan jasa keuangan syariah, dan secara khusus adalah semua ulama, pakar dan pegiat ekonomi syariah.

Masalah-masalah seperti yang dikemukakan di atas, yakni profit and loss sharing dan uqûdul murakkabah ini tidak hanya terjadi di lembaga jasa keuangan syariah Indonesia, melainkan semua negara yang berpenduduk mayoritas Muslim dan negara Islam lainnya dan menerapkan sistem ekonomi syariah. Beberapa catatan, para pakar ekonomi syariah dari sejumlah negara anggota OKI sudah beberapa kali melakukan muktamar untuk membahas masalah tersebut.

Inilah yang mendasari, mengapa dalam konsep dan praktik ekonomi syariah sendiri, antara negara satu dengan yang lain tidak menunjukkan adanya kesamaan. Dengan demikian, solusi yang ditawarkan untuk permasalahan yang kedua ini, adalah langkah penelitian secara terus-menerus terhadap kemungkinan pengembangan akad produk keuangan syariah harus senantiasa dilakukan. Para akademisi harus banyak dilibatkan guna menemukan alternatif terbaik, karena syariat Islam adalah shâlihun li kulliz zamân wal makân, cocok untuk tiap zaman dan tempat.

(Baca juga: Beberapa Problem Fiqih dalam Perbankan Syariah)
Ketiga, realitas mazhab yang berbeda dapat melahirkan pandangan yang berbeda. Perbedaan bukan sebab dicari, melainkan sebab “instrumen untuk istinbath hukum” juga sudah berbeda. Banyak contoh kasus yang sudah penulis sampaikan di kanal Ekonomi Syariah NU Online di awal-awal tulisan. Realitas bai’ul uhdah, bai’ bil wafa, tawarruq, dan sebagainya, adalah sah di kalangan mazhab Syafi’i namun berbeda menurut pandangan sejumlah ulama dari kalangan mazhab Hanafi, mazhab Maliki dan mazhab Hanbali. Untuk kasus produk jasa musyarakah, kalangan Syafi’iyah menyatakan tidak sah semua jenis produk musyarakah kecuali syirkah i’nan. Adapun syirkah wujuh, syirkah abdan, dan syirkah mufawadlah, ternyata sebagian ulama di luar mazhab Syafi’iyah ada yang menyatakan boleh. Perbedaan ini akan semakin seru manakala dikaitkan dengan beberapa konsep lain seperti saham, syukuk, portofolio efek, qabdlu, gharar, maisir, uqûdu al-murakkabah, prinsip ta’awun dan tabarru’, dan lain sebagainya.

Suatu misal, pandangan tentang hukum BPJS. Nahdlatul Ulama menyatakan dalam keputusan Mu’tamar ke-33 di Jombang, bahwa hukum BPJS adalah boleh. Namun, sejumlah pemberitaan waktu itu ada yang pernah menyatakan bahwa MUI memandangnya sebagai haram. Akan tetapi, informasi terakhir yang berkembang, lewat sebuah pers, Din Syamsudin yang menjabat sebagai Ketua Umum MUI pada waktu itu, menyampaikan bahwa MUI tidak pernah menyatakan BPJS sebagai yang haram. Pemerintah hanya diminta untuk merevisi agar sistem pelaksanaan akad BPJS sesuai dengan prinsip syariah.

Andai kata pun ada perbedaan pendapat antara NU dan MUI dalam pandangan hukum soal BPJS, hal tersebut bukan merupakan hal yang patut untuk dipertentangkan dan diperdebatkan. Masing-masing individu Muslim harus kembali kepada prinsip dasar mazhab yang dianutnya. Karena bagaimanapun, keputusan yang disampaikan oleh NU dan MUI memiliki pola pertimbangan yang berbeda dan realitas sistem yang berbeda. NU memayungi jama’ah umat Muslim Indonesia yang bermazhab Syafi’i dengan segala instrumen ijtihadnya, sementara MUI memayungi jama’ah yang jami’ dan berlaku umum untuk masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Keputusan Tarjih Muhammadiyah juga beberapa kali memiliki pandangan yang berbeda dengan NU dan bahkan MUI. Muhammadiyah dalam hal ini juga berpedoman sama dengan NU yaitu memayungi secara hukum seluruh komponen dan jamaahnya. Dan hal semacam ini, adalah mustahil dibendung. Langkah bijaknya adalah menjadikan perbedaan tersebut sebagai bagian dari kekayaan sejarah hukum muamalah di Indonesia.

Tidak banyak solusi yang bisa ditawarkan untuk masalah yang ketiga ini, karena tindakan penanganan sepenuhnya berada pada MUI selaku representasi umat Islam Indonesia lewat fatwa DSN-nya. Solusi yang memungkinkan adalah pihak MUI harus banyak mengintensifkan dialog antar berbagai organisasi ini guna mengakomodasi jurang perbedaan pendapat tersebut.

Sebagai penutup tulisan ini, penulis ingat dengan sebuah buku karya Syeikh Muhammad Abu Zahrah yang dikutip oleh Fazlurahman dalam sebuah buku yang berjudul Doktrin Ekonomi Islam Jilid I, yang diterbitkan oleh Yayasan Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, tahun 1995 halaman 84. Syeikh Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa pada dasarnya tujuan ekonomi syariah adalah selaras dengan maqashidusy syari’ah itu sendiri, yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat (falah). Ia harus dijalankan dengan tata cara yang baik dan terhormat (hayâtan thayyibah). Meskipun untuk mencapai kondisi falah ini, ada banyak aspek mikro maupun makro yang harus dipertimbangkan. Tidak hanya mencakup horizon waktu dunia saja, melainkan juga horizon waktu di akhirat. Karena adanya pertimbangan terhadap kedua aspek inilah, maka perbedaan keputusan ijtihad ekonomi syariah adalah sebuah keniscayaan. Sebagai sebuah keniscayaan, maka tujuan mewujudkan bangunan sistem ekonomi yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam tidak boleh berhenti, ia harus tetap berjalan di atas relnya sendiri. Wallahu a’lam.


Penulis adalah Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim