Opini

Ketika Pinjam Uang ke Bank tapi Tak Mau Membayar Bunga

Sen, 29 Oktober 2018 | 08:30 WIB

Ketika Pinjam Uang ke Bank tapi Tak Mau Membayar Bunga

Ilustrasi (money.id)

Oleh Muhammad Syamsudin

Hari ini beredar di linimasa media sosial penulis tentang kisah seorang nasabah pinjam ke bank konvensional untuk kebutuhan modal kerja, kemudian dikenai kewajiban pengembalian pokok pinjaman ke bank ditambah dengan bunganya. Si nasabah menanyakan kepada seorang ustadz perihal kewajibannya mengembalikan. Apakah hanya pokoknya atau harus mengikuti ketentuan? Sang ustadz menjawab hanya pokoknya sementara bunganya ia sarankan tidak dibayar. Jika ada komplain dari pihak bank, maka ia menyarankan melapor ke MUI untuk memutus soal halal dan haramnya. Langkah berikutnya, MUI bisa melaporkan kepada OJK untuk meminta bank membatalkan penarikan tambahan atas nasabah. 

Statemen dari ustadz ini sebenarnya hendak memanfaatkan sistem untuk melegalkan apa yang dipahaminya, tanpa memikirkan konsekuensi hukum lainnya kepada diri nasabah atau bahkan kepada macetnya peran lembaga perekonomian negara yang selama ini diperankan oleh bank. Jika pola yang disampaikan oleh sang ustadz ini dimainkan oleh para pengusaha yang memiliki modal besar, tanpa disertai bunga yang disyaratkan di awal, maka betapa perekonomian negara ini akan kacau disebabkan bank tidak lagi mampu membayar gaji karyawannya, dan betapa tabungan nasabah bisa macet seluruhnya di debitur perbankan. Sangat ironis sekali.

Beberapa waktu yang lalu, penulis juga sempat di telepon oleh seseorang dari Madura yang kebetulan punya permasalahan yang sama dengan apa yang beredar di linimasa netizen ini. Penulis tidak langsung menjawabnya disebabkan ada banyak pertimbangan hukum yang harus dilibatkan. 

Pertama, awal mula seorang nasabah ketika meminjam uang ke lembaga perbankan, tentu ia sudah memikirkan risiko dan akad yang dibangunnya. Makna pinjam dana di bank, tidak bisa disamakan dengan istilah utang antara person satu ke person yang lain. Ada skema yang tersimpan dan tidak disebutkan oleh bank dan debitur. Ingat bahwa bank merupakan lembaga jasa. 

Sebagai sebuah lembaga jasa, bank bergerak dalam bidang intermediasi dana. Intermediasi berasal dari kata “inter” yang berarti “antar”, dan mediasi yang berarti “perantara”. Di dalam fiqih, peran intermediasi ditunjukkan oleh: samsarah (makelar), wakil investor (nasabah penabung), mudlarib (pengelola dana investasi nasabah). Ketiga peran ini butuh ujrah (upah). Siapa yang mengupah? Yang mengupah adalah nasabah investor (penabung investasi). Darimana upahnya? Upahnya didapatkan dari menyalurkan dana tabungan investasi nasabah ke sektor riil wilayah investasi, yaitu debitur lewat program pembiayaan. Dalam istilah bank konvensional, pembiayaan ini selanjutnya disebut sebagai kredit. Pihak bank berperan selaku kreditur dan nasabah peminjam berperan selaku debitur. 

Tahukah anda, apa itu kredit dan kenapa bank disebut dengan istilah kreditur? Pembaca disarankan untuk tidak terpancing dengan istilah umum bahwa kredit itu adalah utang-piutang! Kredit itu adalah sistem jual beli dengan pembayaran tunda/tempo. Jadi, kreditur itu artinya adalah orang / pihak / lembaga yang menangani sistem jual beli dengan pembayaran tunda. Jadi, ketika anda sedang kredit di bank, itu artinya anda sedang melakukan jual beli dengan harga tunda. Yang dibeli apa? Yang dibeli adalah barang yang dijaminkan oleh debitur ke bank. Uang yang diberikan oleh bank ke debitur berperan sebagai harga beli tunai. Cicilan debitur adalah angsuran pembelian barang yang asalnya milik kreditur yang dijual kembali oleh bank ke debitur secara kredit. Jadi, dalam hal ini telah terjadi akad jual beli tawarruq

Apa bukti terjadinya jual beli secara kredit itu? Bukti terjadinya jual beli secara kredit itu adalah bilamana nasabah debitur mengajukan klaim tidak bisa membayar hutang, maka barang jaminan tersebut bisa diambil oleh bank. Biasanya orang awam menyebutnya sebagai penyitaan. Disita tidak sama artinya dengan dirampas. Di sita memiliki kesamaan arti dengan al-hajr, yang berarti ditahan hak tasharuf-nya debitur oleh perbankan terhadap aset yang dibelinya (dijaminkan). Ingat bahwa makna jaminan di sini tidak sama dengan dlaman, karena hakekatnya barang itu dibeli oleh debitur secara kredit. 

Melalui penyitaan, terjadi kompromi antara perbankan dan nasabah untuk menyelesaikan perkara kredit macetnya nasabah melalui pelelangan aset yang dijaminkan. Ini adalah praktik dari akad suluh, yaitu akad kompromi. Sisa hasil pelelangan selanjutnya diberikan kepada nasabah debitur setelah proses penghitungan cicilan awal yang sudah dilakukan oleh debitur. Jadi, jika ada pertanyaan, bagaimana dengan besaran cicilan kredit yang sudah terlanjur dibayarkan oleh debitur kepada bank? Jawabnya adalah bahwa cicilan tersebut tetap dihitung dengan tambahan besaran hasil lelang dikurangi dengan kewajiban nasabah yang seharusnya. 

Kedua, terlepas dari ketidaksepakatan para ulama fiqih dalam memandang akad tawarruq ini, madzhab Hanbali merupakan salah satu yang memperbolehkan praktik akad ini. Dengan demikian, logisnya praktik jual beli secara kredit, maka pihak bank sudah barang tentu memiliki hak untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungan ini dibayarkan oleh nasabah bersama-sama dengan cicilan kredit yang diambilnya. Orang lain menyebut cicilan ini terdiri atas pokok utang dan bunga. Padahal, menurut konteks pendekatan fiqih, bahwa hal tersebut justru terdiri dari pokok harta dan keuntungan yang diperuntukkan bagi bank selaku kreditur. 

Kesimpulan akhir dari tulisan ini adalah orang mukmin harus senantiasa patuh terhadap syarat yang sudah diajukannya. Kredit di bank konvensional menurut term fiqih adalah disamakan dengan jual beli murabahah melalui jalur kredit. Bank selaku kreditur adalah berperan selaku penjual jasa jual beli kredit. Sementara itu nasabah pembeli, adalah berperan selaku pembeli barang. Hakikat dari barang yang dijaminkan oleh pembeli kepada bank adalah bahwa barang tersebut dibeli secara cash oleh bank, kemudian dijual kembali kepada pembeli dengan harga kredit. Hasil jual beli adalah terdiri atas pokok harga dan keuntungan, sehingga ia sejatinya bukanlah bunga, sebagaimana yang dinyatakan sebagian orang sebagai riba. Wallahu a’lam bish shawab. 


Penulis adalah anggota Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim