Opini

Kesalahan Strategis Amerika di Lebanon

NU Online  ·  Jumat, 13 Oktober 2006 | 09:32 WIB

OLeh: Hendrajit*

Gelombang anti Amerika menyusul dukungan Presiden George Walker Bush terhadap Israel kiranya bukan berita baru yang luar biasa, apalagi jika gelombang kecaman tersebut datang dari negara-negara Islam atau negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Tapi ketika kritik dan kecaman atas strategi militer Amerika datang dari George Soros yang notabene merupakan orang Yahudi yang mukim di Amerika, rasa-rasanya ini merupakan suatu hal yang agak luar biasa.

George Soros di Indonesia dikenal sebagai pelaku ekonomi yang bisa menjungkirbalikkan harga saham dan menjatuhkan nilai rupiah sampai pada skala yang cukup rendah, sehingga menciptakan momentum bagi kejatuhan Rezim Suharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun.

<>Namun George Soros yang di Amerika Serikat dikenal sebagai sosok yang secara aspiratif lebih sehaluan dengan Partai Demokrat dan mantan Presiden Bill Clinton, maka kritik dan kecaman Soros atas kebijakan dan strategi politik luar negeri Amerika di Lebanon dan kawasan Timur-Tengah pada umumnya, agaknya layak untuk dielaborasi lebih jauh.

Baru-baru ini Soros menulis sebuah artikel yang antara lain dia berkata,”Israel’s failure to subdue Hizbullah demonstrates the many weaknesses of the war on terror concept.” Selanjutnya Soros menulis, “One weakness is that even if the targets are terrorist, the victims are often innocent civilians, and their sufferings reinforces the terrorist cause.”

Dan lebih daripada itu, Soros mengkritik habis-habisan Bush yang mengandalkan aksi militer sebagai pola penyelesaian konflik di Lebanon Palestina dengan mengabaikan sama sekali kemungkinan membuka perundingan politik secara damai dengan melibatkan para pihak yang saling bertikai. Misalnya saja antara Israel dan Hizbullah yang mendapat dukungan strategis dari Syiria dan Iran yang berhaluan Islam Syiah, atau antara Israel dan Hamas yang merupakan kelompok radikal Islam Palestina.

Merupakan fakta yang tak terbantahkan bahwa kecaman dan kritik Soros terhadap kebijakan Bush yang cenderung pro Israel tanpa reserve, sebenarnya hanya mengkumandangkan berbagai kritik dan kecaman bukan saja di luar negeri baik negara-negara sekutu Amerika di Eropa Barat dan Russia, tapi bahkan juga di dalam negeri Amerika itu sendiri. Dan menariknya lagi, gelombang kecaman atas arah kebijakan politik luar negeri dan pendekatan militaristik Bush di Timur Tengah dan utamanya Lebanon, ternyata sekarang ini tidak lagi hanya monopoli para politisi Partai Demokrat.

Bahkan dari kalangan partai Republik yang notabene merupakan partainya Presiden Bush pun, sekarang mulai mengkritik ulah pasukan militer Amerika di Iraq maupun dukungan terang-terangan Amerika kepada Israel untuk memerangi Kelompok Islam Syiah Hizbullah di Lebanon.

Dan Soros, adalah sosok yang paling tepat dalam menyentuh secara esensial apa yang menjadi kesalahan strategis Amerika Serikat dalam menangani pertikaian bersenjata antara Israel dan Hizbullah baru-baru ini.

Pertama, dengan menggarisbawahi betapa konsep Bush mengenai War on Terrorism atau perang terhadap terrorisme justru merupakan titik lemah yang paling utama dari kebijakan strategis Amerika Serikat di Lebanon dan Timur Tengah pada umumnya.

Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga. Karena rasa-rasanya bukan Soros saja yang berpendapat bahwa dengan konsep War on Terrorism tersebut, bahwa meskipun target dari konsep War on Terrorism adalah terroris, namun pada perkemnbangannya ketika konsep tersebut dijabarkan secara operasional sebagai aksi militer dengan mendayagunakan angkatan bersenjata, maka praktis yang selalu menjadi korban adalah warga sipil (non combatant) yang tidak berdosa dan tidak ada sangkut-pautnya dengan perang itu sendiri.

Jadi dalam kasus serangan Israel ke Lebanon, berbagai temuan lapangan menyimpulkan bahwa ternyata korban dari serangan Israel yang terbesar justru warga sipil Lebanon, bukan para personil pasukan bersenjata Hizbullah.

Kondisi yang tercipta sebagai akibat dari aksi militer yang salah sasaran ini yang kiranya justru lebih runyam. Dan Soros dalam hal ini dengan tepat melukiskan ironi akibat  aksi militer Amerika-Isreal terhadap Hizbullah Lebanon: “The Victims ara often innocent civilians and their sufferings reinforces the terror’s cause.”

Dan penilaian semacam itu memang benar adanya. Bahwa dengan aksi militer sepihak Amerika dan Israel yang awalnya merupakan dalih untuk menyerang dan menumpas Hizbullah yang mendapat dukungan Syria dan Iran yang merupakan negara berpenduduk mayoritas Islam Syiah, ternyata justru menjadi ajang membunuh warga sipil (non combatant) yang tidak berdosa. Dan bahkan pada perkembangannya justru menimbulkan masalah baru, yaitu semakin menumbuh suburkan bibit-bit t