Kita patut bersyukur dengan adanya kebebasan pers yang relatif cukup maju di Indonesia. Saya sendiri tidak dapat membayangkan jika pekerjaan saya sebagai “kuli tinta” seperti yang sekarang ini saya jalani ada dalam kondisi seperti di negara-negara lain yang membatasi kebebasan pers dengan berbagai aturan. Contohnya Malaysia dengan Internal Security Act-nya, yang secara normatif dibentuk sebagai instrumen Negara untuk menjaga keamanan dalam negeri, namun kenyataannya justru “dikerdilkan” wibawanya hanya sebagai alat pemerintah mempertahankan citra rezimnya. Ini adalah UU yang pada pelaksanaannya dapat ditafsirkan sesuai kepentingan penguasa, yang lebih membabi-buta dalam menangkapi orang-orang yang “berbahaya”.
<>
Pers yang Bebas
Walaupun begitu, pers Indonesia tentunya tidak berbeda dengan pers di tempat lain; tetap memiliki dinamikanya. Belakangan, pemberitaan di media massa Indonesia diributkan soal kebebasan pers lagi. RI-1 sendiri beberapa kali mengadakan konferensi pers untuk “meluruskan” berita yang berkembang di publik mengenai dirinya. Pertengahan 2012, mantan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom mengancam akan menahan salah satu wartawan yang mempertanyakan mengenai kebenaran terlibatnya dia dalam melihat pemberian cek. Pada tengah tahun 2011, beberapa media massa nasional digugat Raymond Teddy dalam kasus perjudian yang diliput RCTI, Warta Kota, Kompas, Republika, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, dan Detik.
Untungnya, pers Indonesia masih kuat. Namun demikian, gertakan semacam itu sedikit banyak bisa mempengaruhi. Di satu sisi, ada kewajiban pers mempublikasikan berita yang penting diketahui masyarakat, di sisi lain itu sensitif bagi penguasa. Ancaman pers Indonesia tidak lagi hanya berhadapan dengan pemerintah dan aparatnya, melainkan juga dengan para pemilik modal dan kalangan elite. Di level daerah, tidak terhitung berapa wartawan yang mengalami ancaman keras dari elite politik setempat yang “berbahaya” bagi citranya. Tidak main-main, ancaman tersebut terjadi hingga pada keluarganya di rumah.
Dalam UUD 1945, jelas telah tertulis mengenai kebebasan berpendapat; yang dipertegas detail pengaturannya dalam UU No. 40/1999 yang menyebutkan bahwa “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan dan informasi”, Pasal 4 (3). Begitu pula dalam Pasal 6 yang mengatakan bahwa pers nasional perlu memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Jadi, dalam hal ini, kebebasan pers tidak hanya demi kelangsungan hidup dan eksistensi dari media massa itu sendiri. Namun, sebagai pembawa kabar oleh karena kepentingan dan hak masyarakat mengetahui sesuatu hal.
Makna Pers
Di samping gertakan para elite yang masih saja terjadi, yang sekarang khawatir adalah individu-individu pengguna teknologi komunikasi dunia maya. Setelah Mahkamah Agung memenangkan Prita Mulyasari dalam kasus perdata dengan RS Omni Internasional, MA berbalik mengalahkan Prita dengan mengabulkan kasasi jaksa dengan dasar UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Hari ini pun, Facebook dan Twitter sedang dibicarakan dalam isu pembatasan aktivitasnya di Indonesia.
Memang, dalam perkembangan pers dalam media online, perkembanganmya yang cukup signifikan. Yang sering dikritik pemerintah dan elite adalah, dalam beberapa kasus, dapat dijumpai pemberitaan yang melupakan sisi akurasi beritanya. Hal tersebut dikarenakan perubahan dalam model publikasi berita, di mana cara yang ditempuh dalam mendapatkan informasi masih ditempuh dengan cara-cara media cetak; padahal media online lebih bersifat real time (perubahan yang cepat). Namun, media online, pada kenyataannya juga dapat mengejar ketertinggalan memenuhi etika jurnalistiknya, tidak seperti dikhawatirkan oleh pemerintah dan aparaturnya selama ini.
Saat ini, dalam kondisi demokrasi yang telah berkembang memang tidak lagi memungkinkan untuk diadakan pembreidelan media massa. Jika dibandingkan dengan saat Orde Lama dan Orde Baru, di mana tidak terhitung lagi berapa media massa (dari tingkat oplah dan distribusi nasional hingga tingkat lokal) yang dicabut ijin terbitnya, kebebasan pers sekarang adalah suatu kemajuan.
Walaupun demikian, yang lebih penting dari segala kebebasan pers itu adalah hakikat dari adanya pers dan fungsinya itu sendiri. Dalam kondisi demokrasi, pers telah dianggap sebagai salah satu pilar negara, yang mengontrol jalannya pemerintahan sekaligus berpihak pada kepentingan rakyat dengan menginformasikan berita. Kedua agenda besar pers tersebut adalah sebagai upaya selalu memperbaiki kondisi berbangsa dan bernegara. Apa jadinya jika dalam sebuah negara pers dibatasi aktivitasnya? Jelas, status quo, tidak adanya perubahan ke arah yang lebih baik dan kebodohan masyarakat.
Dalam dua agenda besarnya itu, berita yang disebarkan oleh pers memiliki peran dalam memberikan masukan bagi pihak pemerintah untuk memperbaiki kinerjanya, dan pada masyarakat sebagai fungsi informasi dan pendidikan. Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan pers berjalan ke dua arah: pemerintah dan masyarakat. Jika ingin terjadi perubahan ke arah yang lebih baik, dua agenda tersebut harus dapat tercapai.
Akan tetapi, rupanya komunikasi yang dilakukan pers kepada pihak pemerintah tidak berbanding lurus dengan komunikasi yang telah berhasil dilakukan kepada masyarakat. Pemerintah tidak melihat kritikan dan pemberitaan yang dilakukan pers sebagai sebuah data penting bagi perbaikan kinerjanya. Alih-alih demikian, pihak pemerintah justru selalu menganggap bahwa pers selalu mencari borok-borok pemerintah yang sedikit itu di tengah banyaknya kebaikan yang jarang diberitakan. Pers patah hati. Di sisi yang lain, keterbukaan pers dengan berita kritisnya yang sampai pada masyarakat itu menimbulkan efek lain yang semakin negatif.
Idealnya, kebebasan pers dapat menjadi salah satu faktor pendorong perbaikan dengan kritikan yang dimuatnya. Namun, berhubung pemerintah tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk memperbaiki kinerjanya, berita-berita mengenai borok pemerintah lama-lama hanya menjadi konsumsi harian semata. Akhirnya, masyarakat menjadi apatis pada pemerintah dan melihat berita kritis hanya sebagai rutinitas. Saat ini, andaikata pers dibatasi ataupun tidak, kondisi dalam negeri ini tetap sama saja.
Seharusnya pemerintah dapat berkaca dengan mudah dengan adanya berita yang beredar melalui aktivitas pers di Indonesia. Kenyataannya, staf-staf yang menjadi rujukan utama para aparatur negara seringkali menyajikan laporan yang tidak berdasarkan kenyataan di lapangan. Kemiskinan, pembangunan, pendidikan, dan kesejahteraan dikuantifikasikan.
Kebebasan pers menjadi bermakna apabila terdapat keterbukaan pikiran antara pers sebagai pihak yang netral dan objektif, pemerintah yang mau menerima kritikan, dan masyarakat yang cerdas.
* Penulis adalah Sekretaris Lakpesdam NU DIY. Pemimpin Redaksi Majalah KONGRES.
Terpopuler
1
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
2
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
3
PBNU Buka Suara Atas Tudingan Terima Aliran Dana dari Perusahaan Tambang di Raja Ampat
4
Fadli Zon Didesak Minta Maaf Karena Sebut Peristiwa Pemerkosaan Massal Mei 1998 Hanya Rumor
5
Israel Serang Militer dan Nuklir Iran, Ketum PBNU: Ada Kegagalan Sistem Tata Internasional
6
Presiden Pezeshkian: Iran akan Membuat Israel Menyesali Kebodohannya
Terkini
Lihat Semua