Opini

Kepemimpinan Multikultural, Spirit Pembangunan Daerah

NU Online  ·  Sabtu, 11 Februari 2017 | 08:00 WIB

Oleh Hayi Abdus Sukur

Ketegangan politik antara elite dan agamawan, isu SARA yang mengancam disintegrasi bangsa mewarnai konstalasi poliitik dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) serentak kedua di era kepemimpinan Jokowi-JK ini. Rangkaian peristiwa ini tidak bisa dianggap hanya bagian dari gerakan “politik hitam” untuk memecah belah kekuatan lawan dalam kontestasi pilkada. Justru hal ini semakin menunjukkan pentingnya peran kepemimpinan di daerah dalam meredam konflik dengan strategi santun dan sikap yang menyejukkan.

Pentingnya peran kepemimpinan yang sensitif keberagaman dan kemajemukan semakin menjadi kebutuhan di tengah derasnya arus globalisisasi yang mengharuskan peran serta daerah sebagai penyangkah kekuatan ekososial level nasional.  

Ide awal hadirnya otonomi daerah  sebagai filter bagi gerakan separatisme, pemerataan pusat-pusat pertumbuhan potensi daerah untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi dengan mendekatkan rakyat pada pengambil keputusan (policy maker) untuk kesejahteraan masyarakatnya, ternyata membuahkan hasil sampingan (by product) berupa raja-raja kecil di dalam negara. Gelombang ketidakpuasan publik terhadap penerapan kebijakan yang kurang populis melahirkan budaya anarkis, merosotnya kesantunan sosial dan gampang terprovokasi propaganda-propaganda negatif. Kentalnya primordialisme kelompok menandakan betapa rendahnya solidaritas nasional dalam multikulturalisme.

Perubahan rezim setiap periode kepemimpinan melalui pemilukada tidak akan menimbulkan persoalan yang signifikan jika pemimpin yang terpilih memiliki kesadaran akan pentingnya rekonsiliasi politik sebagai penyanggah stabilitas pembangunan daerah.

Kesadaran akan multikulturalisme sebenarnya telah mengakar kuat bahkan termanifestasikan dalam ideologi negara. The Founding Fathers telah menjadikan Pancasila tidak sekuler, karena pada saat dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 yang penuh nuansa penjajahan, justru bukan menempatkan HAM (Kemanusiaan yang adil dan beradab) sebagai sila pertama. Ketuhanan Yang Maha Esa mengisyaratkan keberagaman ciptaan dalam satu wadah kesatuan bangsa Indonesia.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai refleksi sifat religius bangsa Indonesia yang tidak hanya menghormati agama sebagai kepentingan hukum, tetapi juga nilai, inspirasi dan rasa keagamaan serta ketenteraman hidup beragama. Saling menghormati individu atau kelompok, merasa nyaman bergabung, berinteraksi antar umat  beragama, antar komunitas budaya merupakan wujud kongkrit dari penghayatan bahwa manusia merupakan bagian dari ciptaanNya.

Model kepemimpinan yang masih terperangkap dalam stereotipe kelompoknya sendiri disertai dengan upaya hegemonik yang mengarah dalam satu kesatuan tunggal kekuasaan politik, penyeragaman pola kebijakan tanpa mepertimbangkan kemajemukan menjadi tidak relevan bahkan bertentangan dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Arah dan tujuan pembangunan bukan hanya memenuhi janji politik yang tertuang dalam visi dan misi semata, akan tetapi harus dikembalikan pada fungsinya semula yaitu untuk menjunjung tinggi nilai dasar dari kemanusian. Sehingga pola perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan serta pengawasan pembangunan harus memperhatikan dampak kemaslahatan bagi pemenuhan kebutuhan dasar bagi kemanusian.

Nilai-nilai kemanusian yang universal tidak terbatas pada kelompok dan lapisan masyarakat tertentu sehingga tidak terjebak pada disintegrasi sosiokultural maupun politik. Sikap dan perilaku yang sensitif multikultural merupakan indikator keberhasilan kepemimpinan di masa depan.

Eksperimentasi kebijakan publik harus demokratis dapat dimusyawarahkan secara perwakilan, sejak dari penyerapan aspirasi, pengakajian, perumusan, sampai penerapanya. Uji publik dengan melibatkan perwakilan semua unsur lapisan masyarakat sebelum kebijakan digulirkan merupakan langkah strategis untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat.

Permendagri 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, mengamanahkan kepada pemerintah daerah untuk menyusun Rancangan Renja SKPD kabupaten/kota disusun berdasarkan usulan program serta kegiatan yang berasal dari masyarakat. Hal ini merupakan point penting dalam membangun sistem perencanaan pembangunan partisipatif yang sensitif multikultural.

Pembangunan daerah  sebagai sebuah pilar yang menunjukkan tingkat kebudayaan tentu membutuhkan proses panjang untuk menjadikan sebuah masyarakat yang berbudaya tradisional menjadi masyarakat modern tanpa kehilangan identitasnya. Budaya tradisional yang kemudian dipersempit menjadi budaya lokal masih dimaknai sebagai sesuatu yang klenik, kolot, statis bahkan anomie.

Pandangan yang kurang tepat ini disebabkan tidak adanya perencanaan pembangunan yang didasarkan pada evaluasi empirik baik mengenai perencanaan itu sendiri maupun mengenai keragaman masyarakat dimana perencanaan itu dilakukan. Salah satu point penting, bahwa masyarakat tidak megenal penolakan terhadap pembaharuan selama memiliki dampak bagi kemaslahatan.

Kepemimpinan di daerah memiliki peran penting dalam mewujudkan pembangunan yang sensitif multikultural. Indikator kemajuan sebuah daerah dimulai dengan kesadaran kolektif akan eksistensinya, sehingga bisa mengatahui ke mana arah pembangunan yang harus ditempuh untuk mencapai keberhasilan yang bernilai kebudayaan berdasar multikulturalisme.

Tentu dalam prakteknya upaya ini bukanlah hal mudah, kompetensi kepemimpinan yang memiliki empati, kearifan, kesabaran serta “nafas panjang” dalam mencari alternatif solusi penanganan masalah dalam berbagai aspeknya. Dukungan secara kolektif sehingga terwujud keadilan sosial bagi seluruh masyarakat yang multikultural sangat diperlukan, sehingga terbangun sistem pembangunan yang dapat mempertahankan eksistensi budaya lokal baik dalam kancah nasional maupun internasional.

Penulis adalah pengurus Lakpesdan NU Bondowoso