Opini

Kebenaran Fiqih itu Relatif

Ahad, 18 April 2021 | 13:00 WIB

Kebenaran Fiqih itu Relatif

Fiqih itu identik dengan khilafiyah karena ia lahir dari proses ijtihad atas dalil-dalil partikular yang multitafsir

Topik seputar relativitas kebenaran fiqih bisa ditinjau dari definisi fiqih itu sendiri. Secara definitif, dengan sendirinya fiqih sudah menunjukkan bahwa dirinya relatif. Setidaknya, lebih dari 80 literatur usul fiqih saya eksplorasi, saya menemukan empat macam bentuk redaksi definisi fiqih. Dari empat macam definisi tersebut, tiga di antaranya diawali oleh kata “العلم بالأحكام الشرعية” dan satunya lagi di awali dengan redaksi “مَعْرِفَةُ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ”.


Secara redaksional, empat definisi fiqih tersebut berbeda, namun substansinya sama. Versi empat definisi di atas, fiqih adalah ilmu tentang hukum syari’ah-furu’iyah yang diproduksi dari dalil-dalil partikular melalui proses ijtihad. Mencermati empat redaksi definisi di atas, relativitas fiqih ditunjukkan oleh kata "العلم/المعرفة”. Meskipun redaksinya menggunakan kata “العلم/المعرفة”, secara substansi maksud dari kata tersebut bukanlah “العلم/المعرفة”, melainkan bermakna “الظن” (praduga).


Penjelasan ini, salah satunya disampaikan oleh Imam Zakaria al-Anshari (w. 926 H) dalam "Ghayah al-Ushul". Penjelasan serupa juga bisa ditemukan dalam "Syarh al-Luma'", "al-Bahrul Madid", "Qawati' al-Adillah", dan "Mukhtashar Muntaha". Lebih lengkap, Prof. Ismail Muhammad Ali Abddurahman menulis:


ولا يراد بالعلم هنا حقيقته وهى الاعتقاد الجازم المطابق للواقع عن دليل، وانما هو ادراك يشمل الظن لان غالب الاحكام الاجتهادية مبنية على الظن


Artinya: “Substansi makna ilmu adalah pengetahuan yang sesuai dengan realitas, (namun) definisi ini tidak dimaksud di sini. Akan tetapi makna yang dimaksud adalah pengetahuan yang bersifat praduga (dhann) karena fiqih adalah finishing dari proses ijtihad yang lebih dominan di bangun atas sebuah dugaan."


Jelas substansi dari al-ma‘rifah/al-ilm dan al-dhann berbeda. Perbendaan kedua term ini dijelaskan oleh Muhammad Hasan Hitu. Hematnya, secara kuantitas kedua term tersebut memiliki perbedaan. Jika al-ilmu validitas persentase kebenarannya 100% benar dan tidak ada kemungkinan lainnya, namun jika dhann persentase kebenarannya maksimal 99% dan kemungkinan salahnya minimal di angka 51%. Jadi, kebenaran pengetahuan yang dibangun atas sebuah praduga (dhann) berada pada rentang 51%-99%.

 


Lebih lanjut, Syekh Ahmad ibn Abdul Latif al-Khatib al-Mingkabawi (w. 1334 H) dalam karyanya “Hasyiah al-Nafahat” mengurai bahwa tolok ukur kebenaran dhann bersifat personal (relatif-subjektif). Satu ulama sah-sah saja mengklaim pendapatnya lebih kuat versi taksirannya sendiri, walau belum tentu versi ulama lainnya. Masih menurut al-Khatib, itulah pentingnya kata “عند المجويز” disisipkan oleh Imam Haramain al-Juwaini (w. 463 H) ketika menjelaskan definisi dhann. Dengan sisipan tersebut, Imam Haramain ingin menunjukkan bahwa klaim rajih atau marjuh dalam fiqih menjadi otoritas personal mujtahid. 


Riak perbedaan pendapat para imam mujtahid dalam merespons belbagai persoalan fiqih bermula dari realitas semacam ini. Realitas bahwa fiqih dibangun atas taksiran interpretasi subjektivitas ulama atas dalil-dalil hukum Islam. Perbedaan latar belakang sosial, kebudayaan, dan juga kapasitas keilmuan berkonstribusi besar dalam menciptakan subjektivitas tersebut. Subjektivitas inilah yang nantinya akan berbuah hukum yang beraneka ragam.


Terlebih, dalil-dalil partikular yang menjadi landasannya adalah multitafsir dari aspek dalalah (dhanni al-dalalah) atau dari aspek wurud (dhanni al-wurud). Itulah sebabnya satu dalil bisa menghasilkan berbagai produk hukum yang berbeda-beda. Jangankan antarmazhab, satu imam saja bisa memiliki pendapat yang berbeda dalam satu persoalan yang sama. Contoh paling masyhur adalah qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi'i. Watak fundamen fiqih memang begitu, ia sangat kaya akan perbedaan pendapat. Kekayaan inilah yang membuat fiqih bisa survive dalam menghadapi dinamika kehidupan manusia lintas generasi. 


Taksiran atas dalil-dalil yang multitafsir tadi mengharuskan output hukum dari para mujtahid bisa berbeda satu sama lain, dan itu logis. Fiqih itu identik dengan khilafiyah karena ia lahir dari proses ijtihad atas dalil-dalil partikular yang multitafsir tadi. Namun tidak menutup kemungkinan ada fiqih yang muttafaq alaih walau sangat sedikit sekali. Hal ini tidak menjadi soal karena yang paling penting ia lahir dari proses ijtihad. Keputusan hukum yang lahir tanpa melalui proses ijtihad maka tidak bisa disebut fiqih. Begitu statemen yang ditulis oleh Imam Haramain (w. 463 H) dalam "Syarh Waraqat”. 


Walau fiqih dihasilkan dari sebuah dugaan (dhann), para ulama tetap menggunakan redaksi "al-ilmu" atau "makrifat" dalam definisi fiqih karena kemungkinan erornya hanya satu persen. Ia adalah bentuk final proses kreatif para ulama yang sudah mencapai level mujtahid maka wajar jika kebenarannya lebih dekat disebut “al-ilmu”. Sudut pandang lain ditawarkan oleh Syamsuddin al-Asfihani (w. 749 H). Hemat dia, fiqih disebut ilmu (bukan dhann) karena yang sudah pasti (qat’i) dari fiqih adalah kewajiban untuk mengamalkan apa pun bentuk hukum-hukum yang dihasilkan oleh fiqih. 


Lebih lanjut, walaupun fiqih menjadi ruang besar tempat terciptanya beragam pendapat, hebatnya fiqih mampu mengakomodasi dan mengapresiasi beragam pendapat yang berbeda-beda itu menjadi sebuah keputusan yang sama benarnya. Atas apresiasi baik ini, Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) menulis:


 أن المذاهب كلها صواب وأنها من باب جائز وأفضل، لا من باب صواب وخطأ


Semua pendapat mazhab itu benar. (Perbedaan pendapat di kalangan imam madzhab) itu bukan soal salah dan benar, tetapi lebih pada diperkenankan dan lebih utama...


Apresiasi yang sama juga disampaikan oleh Imam Sya’rani (w.973 H) dalam mukaddimah “Mizan al-Kubra”. Ia menulis;


فإن الشريعة كالشجرة العظيمة المنتشرة واقوال العلمائها كالفروع والأغصان فلا يوجد لنا فرع من غير اصل ولا ثمرة من غير غصن كمالايجد أبنية من غير جدران


“Sesungguhnya Syariat itu laksana pohon besar yang menjuntai, (sementara) kalam ulama seperti dahan dan batangnya sehingga tidak mungkin ada dahan tanpa batang dan buah tanpa tangkai sebagaimana tidak mungkin ada bangunan tanpa tembok.”


Di tempat yang sama, Imam Sya’rani yang dikenal sebagai sufi dan diakui sebagai wali quthub pada zamannya juga mengibaratkan beragam pendapat ulama yang sangat banyak itu seperti samudera luas, dari sisi mana saja kita meneguknya maka ia satu.


Walau kemungkinan ijtihadnya eror sangat sedikit, sebagai bentuk sebuah ketawadukan, para ulama tidak menutup diri dari kritik dan mereka dengan penuh kelapangan hati menerima kebenaran dari ulama lainnya. Imam Abu Hanifah misalnya. Ia tidak pernah mengklaim pendapatnya paling benar, dan pendapat yang lain salah sama sekali. Ia selalu mengatakan ;


قولنا هذا رأي وهو أحسن ما قدرنا عليه، فمن جاء بأحسن من قولنا فهو أولى بالصواب منا


“Apa yang aku sampaikan ini adalah sekedar pendapat. Ini yang dapat yang aku usahakan semampuku. Jika ada pendapat yang lebih baik dari ini ia lebih patut diambil.” 

 


Keterbatasan sebagaimana jamak terjadi pada manusia tidak dilupakan begitu saja. Sebagaimana ulama lainnya, Imam Abu Hanifah selalu bersedia mencabut atau meralat pendapatnya jika kemudian diketahuinya keliru dan ia menyampaikan terima kasih kepada yang mengoreksinya. Ia tak merasa harga dirinya jatuh karena mengakui hal itu.


Konsekuensi positif atas banyaknya kemungkinan jawaban yang benar dari pihak lainnya, para ulama kemudian menegaskan bahwa tidak ada kewajiban untuk amar makruf dan nahi mungkar terhadap persoalan-persoalan yang mukhtakaf 'alaih (fiqh). Salah satu dari tiga syarat menegakkan amar makruf dan nahi mungkar adalah kemungkaran yang terjadi bukanlah wilayah ijtihadiyah. Atas ikhtisar kitab “Ihya’ Ulumiddin”, Jamaludin al-Qasimi menulis:


أَنْ يَكُونَ كَوْنُهُ مُنْكَرًا مَعْلُومًا بِغَيْرِ اجْتِهَادٍ، فَكُلُّ مَا هُوَ فِي مَحَلِّ الِاجْتِهَادِ فَلَا نُكْرَانَ فِيهِ، فَلَيْسَ لِلْحَنَفِيِّ أَنْ يُنْكِرَ عَلَى الشَّافِعِيِّ مَا هُوَ مِنْ مَجَارِي الِاجْتِهَادِ، يَعْنِي الْمَسَائِلَ الْمُخْتَلَفَ فِيهَا بَيْنَ الْأَئِمَّةِ؛ إِذْ لَا يُعْلَمُ خَطَأُ الْمُخَالِفِ قَطْعًا بَلْ ظَنًّا، فَلَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ الْمُنْكَرُ مُتَّفَقًا عَلَيْهِ.


“(Syarat ketiga) kemungkaran yang terjadi bukanlah persoalan ijtihadiyah. Oleh sebab itu, setiap problem yang berada dalam ruang lingkup ijtihadiyah tidak ada kemungkaran di dalamnya. (pengikut) Imam Abu Hanifah tidak boleh mengingkari (pendapat) Imam Syafi’i atas masail ijtihadiyah yang masih diperselisihkan oleh para imam karena tidak dapat dipastikan adanya kesalahan secara pasti, tapi masih bersifat praduga. Dengan demikian, syaratnya harus kemungkaran yang muttafaq ‘alaih.” 

 


Kebenaran fiqih yang relatif menjadi karpet merah bagi penganut mazhab tertentu untuk mengaktualisasikan keyakinan mazhab yang dianutnya. Pengikut mazhab lainnya tidak berhak untuk mengusiknya. Pun juga atas relativitas ini, orang lain tidak berhak mengapling surga untuk kelompoknya sendiri.


Doni Ekasaputra, Abdi Kantor Mahad Aly Situbondo dan Owner Adeeva Group