Fragmen

KH Wahab Chasbullah Pembela Islam Bermazhab

Sel, 31 Maret 2020 | 16:00 WIB

KH Wahab Chasbullah Pembela Islam Bermazhab

KH Abdul Wahab Chasbullah

Ketika NU Mengajukan legalitas organisasi kepada pemerintah Hindia Belanda, mereka mencntumkan semacam AD/ART. Di situlah NU menyatakan secara jelas dan tegas bahwa tujuannya organisasinya bermazhab kepada salah satu imam empat mazhab, Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Mungkin waktu itu, satu-satu organisasi yang mmencantumkan pernyataan seperti itu di AD/ART. 

Apa yang dinyatakan NU dalam AD/ART itu merupakan respons para pendirinya kepada kelompok Islam modernis yang mengkampanyekan ijtihad dan anti taqlid. Bahkan kalangan mereka mengkampanyekan anti takhayul bidah dan khurafat.

Setelah NU berdiri, tak lantas serangan mereka menjadi sepi. Bahkan Kiai Wahab harus meladeni tantangan mereka beberapa kali di wilayah Jawa Barat.
 
Berikut ini laporan dari NU Cabang Cirebon pada masa awal beridiri yang dimuat di Majalah Berita Nahdlatoel Oelama edisi No 22 tahun ke-5, 15 September 1936, hal 16 dengan judul Keterangan yang Jitu. 

Saudara-saudara yang terhormat!

Cabang NU Cirebon melaporakan berulang-ulang di dalam tahun ini di daerah Cirebon baru kedengaran deras suara yang mengharamkan taqlid. Sehinga pada bulan yang lalu tersiar surat selebaran dari Persis Afdfeling Cirebon yang ternyata mengharamkan taqlid itu dan memuat juga surat kami sebagai jawaban tidak mengabulkan mereka. 

Saduara-saudara sekalian, kami NU menjawab itu, berasas kepada yang sudah-sudah di dalam daerah kita, belum kami ngalami yang di dalam pertemuan umum yang diadakan suara berlawanan yang bisa dianggap buahnya bagi umum. Bahkan menambah kacau di kalangan umat Islam Cirebon. Itu bukan yang dikehendaki oleh tujuan NU dan itu surat selebaran mengandung juga tuduhan pada yang menerangkan kebenarannya bertaqlid dengan tuduhan mencari isinya perut; itu tuduhan bisa diambil arti pada si penuduh, bukan? Jawabannya terserah kepada umum. 

Tuan-tuan boleh saksikan dan selidiki, mudah-mudahan menjadi penerangan; dalam tahun 1925 hampir pada harinya Kongres Khilafah tentu tidak asing lagi bagi tuan-tuan di Surabaya diadakan berdebat di antara tuan KH Abdul Wahab Chasbullah dan tuan Achmad Soerkati dengan amat rapi aturannya, dihadiri oleh pihak Muhammadiyah, juga sekira 8 orang dan dari pihak KH Abdulwahab satu orang yaitu tuan Kiai Fadloelloh Soehaimi sehingga memakan tempo tiga hari tiga malam lamanya. Kedua di Ciledug di antara tuan Kiai Abdulwahab dan tuan A. Hasan dari Bandung dan sering juga selainnya itu. Di situ ambil kesimpulannya tidak mendapat kefaidahan apa-apa bagi umum; walaupun ada di dalam pihak kebenaran, bolehlah tuan-tuan selidiki di dalam verslagnya keadaan itu cocoklah keadaan pengakuan di tempo majelis dengan susara sesudahnya?

Kita kaum NU tentu tidak segan berunding dan bertukar pikiran menunjukkan kebenaran dengan siapa saja, jika sekira ada terdapat bukti syarat-syarat yang menghasilkan faidahnya. 

Ingatlah saudara-saudara kepada kewajiban kita, perhatikanlah pengaruh lain agama yang masuk ke tanah kita dan pikirkanlah sudara-saudara kita yang jauh dari perjalanan Islam. Tidak usah kita perdulikan lagi yang lebar mulut ke sana ke mari cari kemenangan yang berarti jual bibir dan putar lidah yang tak berarti, sebab bukti yang menyaksikannya. Tunjukkan saja rasa kebenaran di segenap umat Islam di seumumnya. Nanti mereka yang umum yang menjadi jurinya, tak usah takut tak dikata jago ke sana ke mari mencari lawan sebab orang sehat pikirannya tentu mengerti yang itu hal bukan yang dikehendaki Islam. 

Saudara-saudara sekalian, jika kepingin tahu perlawanan pendapat pasal taqlid di antara pihak NU dan Persatuan Islam Bandung, lihatlah saja Berita Nahdlatoel Oelama. Ambillah pertimbangan dari itu. Habis perkara!

Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Alhafiz Kurniawan