Opini ISLAM NUSANTARA

Jihad Maritim Syeikh Abdushamad al-Palimbani

Ahad, 28 Juni 2015 | 21:00 WIB

Oleh: Muhammad Idris Masudi* Hingga tulisan ini dikerjakan, mungkin sudah puluhan tulisan terkait tema Islam Nusantara bertebaran di berbagai media baik cetak maupun elektronik, baik pro maupun kontra. Melejitnya isu ini ditengarai disebabkan oleh sejumlah faktor. 
<>
Konon, tema yang awalnya “adem-ayem” ini, menjadi buah bibir perbincangan masyarakat luas, terutama di dunia sosial-media, mencapai momentumnya pasca acara di Istana Presiden, setelah munculnya pembacaan al-Quran dengan menggunakan “langgam Jawa”. 

Perlu ditegaskan di sini bahwa sebelum ramainya diskursus Islam Nusantara, pada tahun 2012, STAINU Jakarta telah mendapatkan izin dari kementerian Agama untuk membuka prodi Pascasarjana Sejarah Kebudayaan Islam dengan konsentrasi Islam Nusantara. Pembukaan prodi “baru” ini bahkan meminjam istilah Kiai Said, “jurusan Islam Nusantara ini merupakan jurusan satu-satunya di dunia dan akhirat”. 

Sejumlah kalangan akademisi “mencibir” dengan mengatakan bahwa Islam Nusantara terlalu “jawa sentris”. Karena perbincangan tentang Nusantara yang ditulis oleh sejumlah kalangan yang pro terhadap istilah ini lebih banyak membicarakan soal Islam Jawa.

Tulisan pendek di bawah ini hendak mencoba menepis anggapan “miring” di atas dengan menyuguhkan sebuah ijtihad yang –sepanjang pembacaan penulis- hanya pernah dilakukan oleh ulama Nusantara. Yaitu ijtihad yang dilakukan oleh Syeikh Abdus Shamad al-Palimbani tentang keutamaan jihad di lautan dalam kitabnya berjudul “Nashihatul Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin fi Fadhail Jihad wa Karamat al-Mujahidin fi Sabilillah.”

Sekilas tentang Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani
Syeikh Abdusshamad al-Falimbani dilahirkan pada tahun 1116 H/ 1704 M,[1] di Palembang. Ayahnya, Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahab bin Syeikh Ahmad al-Mahdani adalah seorang ulama yang berasal dari Yaman dan dilantik menjadi Mufti di Kedah (sekarang daerah Malaysia) pada awal abad ke 18M. Sementara ibunya adalah wanita Palembang yang diperistri  oleh Syeikh Abdul Jalil setelah sebelumnya menikahi puteri Dato’ Sri Maharaja Dewa di Kedah.

Perjalanan Intelektual
Syaikh Abdushamad hidup dalam keluarga yang mencintai ilmu tasawuf.[2] Sebagai anak dari seorang mufti, Abdushamad kecil dididik langsung oleh ayahnya, Syeikh Abdul Jalil di Kedah. Kemudian Syeikh Abdushamad di bawah ayahnya untuk mendalami ilmu agama di negeri Patani; di antaranya adalah Pondok Bendang Gucil di Kerisik atau Pondok Kuala Berkah dan Pondok Semala yang kesemuanya berada di daerah Patani, Thailand. 
Pengembaraan intelektualnya tidak hanya berhenti di Patani, melainkan ke India[4], hingga sampai ke Madinah dan Makkah. Sebagaimana dijelaskan Azra dalam bukunya berjudul Jaringan Ulama Nusantara, Madinah dan Makkah (Haramayn) pada masa itu menjadi sebuah pusat intelektual dunia Islam. Sehingga wajar, bila Abdushamad memilih untuk singgah dan belajar di Haramayn.

Guru-Gurunya:

1. Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani
2. Muhammad bin Sulayman al-Kurdi
3. Abdul Mun’in al-Damanhuri
4. Ibrahim al-Rais, Muhammad Murad
5. Muhammad al-Mashri
6. Athaullah al-Mashri

Karya-Karyanya:

1. Zahratul Murid fi Bayani Kalimat al-Tauhid, 1178/1764 M.
2. Risalah Pada Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179 H/ 1765
3. Hidayat al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin, 1192 H/1780
4. Siyar al-Salikin ila Ibadat Rabb al-Alamin, 1194 H/ 1780
5. al-Urwat al-Wutsqa wa Silsilat Waliyil Atqa
6. Ratib Syeikh Abdushamad al-Falimbani
7. Nashihat al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin fi Fadhail Jihad wa Karamat al-Mujtahidin fi Sabilillah.
8. Al-Risalat fi Kayfiyat Ratib Laylat al-Jum’ah
9. Mulhiqun fi Bayan Fawaid al-Nafi’ah fi Jihad fi Sabilillah
10. Zadul Muttaqin fi Tawhid Rabbil ‘Alamin
11. Ilmu Tasawuf
12. Mulkhishut Tuhbat Mafdhah Min al-Rahmat al-Mahdhah ‘Alayhi al-Shalat wa al-Salam
13. Kitab Mi’raj
14. Anis Muttaqien
15. Puisi Kemenangan Kedah

Kontekstualisasi Keutamaan Hadis-Hadis Jihad Maritim
Bagi penulis, yang salah satu kontek menarik dalam karya Syeikh Abdus Shamad ini adalah bagaimana cara beliau mengkontekstualisasikan hadis-hadis nabi. Syaikh Abdus Shamad tentunya menyadari betul bahwa nusantara adalah Negara maritim yang memiliki luas lautan yang lebih besar ketimbang daratan (dua pertiga lautan dan sepertiga daratan). 

Hal ini menjadi salah satu poin penting untung menyerukan jihad di lautan. Melihat potensi ini, Syaikh Abdushamad mendasarkan seruan tersebut dengan mengutip sejumlah hadis tentang keutamaan jihad perang di laut yang di dalam teks hadisnya mencantumkan bahwa pahala perang di lautan lebih besar ketimbang jihad di daratan. Hemat penulis, apa yang dilakukan oleh Syaikh Abdushamad ini menjadi menarik karena dalam kitab-kitab fikih konvensional, jarang- untuk tidak menemukan tidak sama sekali- ditemukan pembahasan tentang jihad di lautan. Salah satu hadis yang dikutip oleh Syaikh Abdushamad dalam menjelaskan tentang keutamaan jihad di lautan adalah hadis riwayat  al-Thabrani:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فضل غازي البحر على غازي البر كفضل غازي البر على القاعد في أهله وماله[3] 
Artinya: Keutamaan jihad di jalur lautan disbanding jihad di daratan sebagaimana keutamaan jihad di daratan dibandingkan orang yang tidak ikut berperang dan tidak menginfakkan hartanya untuk perang. 
Hadis lain (riwayat Abu Nu’aim dalam kitab Hilyat al-Awliya’) yang cukup “kontroversial” (ditilik dalam cara penukilan hadis yang tidak menggunakan kitab-kitab hadis kanonik) dalam ranah hadis namun dikutip oleh Syaikh Abdushamad untuk memicu semangat jihad di jalur lautan adalah:

شهيد البر بغفر له كل ذنب الا الدين والامانة، وشهيد البحر يغفر له كل ذنب والدين والامانة [4] 
Artinya: Semua dosa orang yang mati syahid yang bertempur di daratan diampuni oleh Allah kecuali dalam masalah hutang (materi) dan amanah, sementara semua dosa orang mati syahid, bahkan hutang (hutang yang bersifat haqqullah, bukan haq adami, pent) dan amanah sekalipun.

Penutup
Dari pemaparan singkat ini, kita bisa mengambil banyak faidah dan teladan dari Syaikh Abdus Shamad dalam upayanya membumikan hadis-hadis Nabi dengan melihat pada konteks kekinian dan kedisinian. Sebagaimana para sarjana klasik sering kali mengatakan bahwa “al-Nash mutanahi wal waqa’i’ la tatanaha”, teks-teks al-Quran dan hadis Nabi terbatas sementara realitas terus menerus berjalan sesuai perkembangan zaman. 

Oleh karena itu, ijtihad-ijtihad kreatif harus tetap dilakukan untuk merespon tantangan zaman. Di sisi lain, tulisan ini juga menegaskan bahwa yang dimaksud Islam Nusantara di sini bukan “jawa sentris”, melainkan meliputi seluruh wilayah nusantara. Dan Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani ini salah satu contoh terbaik dari deretan ulama nusantara yang non-Jawa.  

*) Staff bidang Akademik Pascasarjana Islam Nusantara di STAINU Jakarta 

Sumber Bacaan:
[1] Sejumah sumber sejarah yang mengulas biografi Syaikh Abdushamad tidak menyebutkan tahun kelahirannya, konon, kata Azyumardi Azra, hanya dalam buku Tarikh Salasilah Negri Kedah yang memberikan angka tahun kelahiran dan wafatnya. Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII (Jakarta; Kencana, 2007)cet.3, h.306 

[2] Ahmad Luthfi, Muqaddimah Tahqiq Nashihat al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin fi Fadhail Jihad wa Karamat al-Mujahidin fi Sabilillah, (Jakarta; Wuzarat al-Syuun al-Diniyyah Lil Jumhuriyyah al-Indunisiyah, 2009) cet.1, h.8

[3] Sanad hadis ini oleh al-Munawi dalam Fayd al-Qadir dinilai hasan, lihat Ahmad Luthfi dalam catatan kaki kitab Nashihat al-Muslimin, h. 80. 

[4] Hadis ini menurut muhaqqiqnya, Ahmad Luthfi, terdapat dalam kitab silsilat al-ahadits al-dhaifah wa al-Mawdhu’atnya al-Albani