Pakaian atau penutup adalah sesuatu yang harus dipakai setiap manusia. Jika tidak maka ia akan merasakan yang namanya 'malu', dan yang melihatnya pun menilainya negatif. Karena dengan berpakaian, manusia dapat menutupi anggota tubuhnya, juga agar selalu terjaga kehormatanya, sebab dengan berpakaian, manusia bisa dibedakan mana yang normal dan mana yang tidak normal. Oleh karena itu, saat menjelang tanggal 1 Syawal (Idul Fitri), kita selalu melihat, khususnya di Indonesia, umat muslim berbondong-bondong ke pasar untuk membeli pakaian baru. Tujuanya, untuk menghias dirinya, agar terlihat modis dan menarik.
Namun, lebih jauh, banyak orang yang berpikir, bahwa pakaiannya itu hanya sebatas celana dan baju yang selalu membalut tubuh mereka. Padahal, kalau kita perhatikan, ternyata bukan hanya manusia yang harus berpakaian. Lebih dari itu, agama Islam pun juga memiliki yang namanya pakaian atau penutup. Seandainya pakaian Islam ini tidak diperhatiakan dan tidak dipakainya, penganut agama Islam pun sudah dipastikan telanjang, telanjang bukan secara dzahir (luar), melainkan dalam konteks batin (dalam/ruh).
Terkait dengan kasus telanjang, ini juga tak luput dari singgungan Kanjeng Nabi Saw, ketika salah satu dari sahabatnya yang bernama Abi Dzar bertanya padanya, "Siapa orang Muslim itu wahai Kanjeng Nabi?" Ia pun menjawabnya, "Orang Muslim adalah mereka yang selalu bertakwa, pakaian mereka adalah ketakwaaan." Kalau kita renungkan, banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari hadits tersebut, sebab hadits ini secara tidak langsung menyuruh kita agar tidak menelanjangi Islam, seperti judul tulisan ini.
Kalau kita amati, di media pemberitaan, baik berupa cetak maupun elektronik, tak sedikit orang yang perlahan berupaya mencoreng Islam itu sendiri. Dan bentuknya pun beragam, yang intinya merusak nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Apalagi bagi mereka yang memisahkan kebudayaan dari Islam, tentu hal ini tidak bisa dibenarkan, sebab masuknya Islam ke bumi Nusantara ini, melalui budaya-budaya yang ada. Jadi, bagi mereka yang memisahkan kebudayaan dari keIslaman, sudah dipastikan kalau pengetahuan mereka akan keislaman dan keindonesiaan masih terbilang minim.
Seperti yang sudah kita lihat pada realita yang ada, banyak dari individu umat Islam yang hanya mengklaim dirinya Muslim, atau mengaku dirinya sebagai umatnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW, namun sikap dan ucapannya sering kali bersebrangan dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Oleh karena itu, mengaku menjadi Muslim itu mudah, namun sangat sulit apabila mengamalkan ajaran-ajaran luhurnya. Sederhananya, kita mengaku Muslim, tetapi sikap dan ucapan kita kadang tidak mencerminkan layaknya orang Muslim.
Menurut penulis, permasalahan yang mengungkung Umat Islam zaman sekarang ini ialah, bahwa; kebanyakan mereka memiliki hobi yang berseberangan dengan ajaran Islam. Karena itu, Menantu Kanjeng Nabi yang bernama Sayyidina Ali kw berkata, "Wahai saudaraku, kebiasaan itu belum tentu benar, akan tetapi, kebenaran itu yang harus dibiasakan." Maksudnya, umat Islam jangan memelihara perbuatan yang negatif, yang pada akhirnya perbuatan yang negatif itu dijadikan kebiasaan, namun, kita seharusnya memelihara perbuatan yang positif, yang pada akhirnya yang positif itu yang seharusnya dibiasakan.
Nah, hobi negatif yang sudah menjadi kebiasaan umat Islam, khususnya umat Islam di Indonesia ialah; suka menilai kekurangan orang lain daripada menilai kekurangan diri sendiri. Seperti yang sudah ramai terjadi pada saat ini, terlebih di negara-negara Timur-Tengah, seperti Irak, Syiria dan lainnya. Pembunuhan tanpa sebab sudah meraja lela, kezaliman pun sudah terjadi di mana-mana, saling mencaci, saling memgkafirkan, saling melaknat dan lain sebagainya yang merusak citra dan kultural Islam. Yang lebih fatal lagi, mereka mengatasnamakan 'bela Islam'. Menurut penulis, mereka itulah di antara sebagian Muslim yang secara perlahan menelanjangi Islam, hingga banyak orang memandang Islam sebagai agama yang negatif, cinta kekerasan dan lain-lain.
Kita harus banyak merenung, kita biasakan suatu perbuatan yang baik dan yang positif. Jangan sampai kita telanjangi Islam ini dengan perilaku kita yang amoral dan tidak sesuai dengan ajaran suci Rasulullah Saw. Dan yang perlu kita catat, kita harus selalu sadar akan perkataan Kanjeng Nabi Saw "Hisablah (perhitungkanlah) diri kita sebelum kita dihisab oleh Allah Swt kelak di akhirat". Maka itu, merenunglah, sebab masih banyak yang perlu kita perbaiki dari kita sendiri.
Akhir kata, hidup itu bukan tentang siapa yang terbaik, akan tetapi siapa yang bisa berbuat baik dan bisa menyembunyikan perbuatan baiknya dari pandangan orang lain, bukan berpura-pura baik.
Salam saling menebarkan senyum
Penulis adalah pendiri dan pengasuh "Majlis Syafaat" di Jakarta; pengajar di salah satu pesantren di Jakarta Timur
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meyongsong HUT RI dengan Syukur dan Karya Nyata
2
Khutbah Jumat: Menjadikan Aktivitas Bekerja sebagai Ibadah kepada Allah
3
Khutbah Jumat: Menjaga Kerukunan dan Kerja Sama Demi Kemajuan Bangsa
4
Khutbah Jumat: Dalam Sunyi dan Sepi, Allah Tetap Bersama Kita
5
Redaktur NU Online Sampaikan Peran Strategis Media Bangun Citra Positif Lembaga Filantropi
6
Aliansi Masyarakat Pati Bersatu Tetap Gelar Aksi, Tuntut Mundur Bupati Sudewo
Terkini
Lihat Semua