Opini

Israel, Islam dan Indonesia

NU Online  ·  Senin, 28 Agustus 2006 | 11:26 WIB

Sidharta Mohammad*

Ketegangan hubungan antara Islam dan Barat tidaklah bersifat permanen, seperti digembar-gemborkan oleh baik pemikir-pemikir neo-konservatif Barat seperti Samuel Huntington ataupun kaum fundamentalis Islam. Ketegangan itu bermula sejak persaingan antara kekuasaan imperium Islam (di bawah naungan sistem khilafah-feodal-dinastik) dengan bangsa-bangsa Eropa memperebutkan wilayah suci Yerusalem, kota tiga agama. Ini memulai periode Perang Salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang.

Permusuhan Islam-Barat semakin mengeras ketika Barat berhasil keluar dari kungkungan feodalisme dan membangun sistem kapitalisme, kini berbalik menjadikan negeri-negeri Muslim sebagai koloninya. Sedangkan saat Muhammad SAW masih berjuang melawan paganisme Quraisy, Muhammad "mendukung" kekuatan superpower Romawi yang notabene Kristen melawan Persia yang memuja api.

<>

Begitu pula dengan kaum Yahudi, permusuhan Islam-Yahudi bukan sesuatu yang permanen dalam sejarah. Pada awal Muhammad mengajarkan sholat, umat Islam beribadah menghadap ke Yerusalem, sebagai simbol monoteisme, dan sebagai bentuk penghormatan Islam terhadap risalah-risalah sebelumnya (Yahudi dan Kristen), dan secara politis menjadi simbolisasi pakta Piagam Madinah yang melibatkan tiga kabilah Yahudi dalam aliansi anti-Quraisy.

Tapi pengkhianatan suku-suku Yahudi dengan membela kekuatan Mekkah, sebagai ekspresi ketakutan kaum Yahudi-Madinah terhadap dominasi Muhajirin dipimpin "nabi dari Arab", yang juga dikhawatirkan akan merebut keuntungan ekonomi kota Madinah sebagai jalur perdagangan Yaman-Palestina, membuat pakta perjanjian itu batal, dan Muhammad mengakhiri aliansi dengan Yahudi, berbalik dari solidaritas monoteismenya menjadi "solidaritas Arabisme" dengan menukar arah sholat ke Ka'bah, bangunan tua yang didirikan oleh Ismail, putera Ibrahim, nenek-moyang suku Quraisy.

Perpecahan itu betul-betul nyata ketika pasca-Perang Khandaq, Muhammad menghukum kabilah Yahudi yang tersisa (Bani Quraizhah) dengan eksekusi massal terhadap kaum laki-laki, sedang perempuan dan anak-anak diperbudak, dan harta serta tanah-tanah mereka disita. Tapi bahkan permusuhan Islam-Yahudi tidak pernah benar-benar nyata, ketika peradaban Islam mencapai keemasannya di bawah pemerintahan Abbasiyah, pada saat yang sama intelektual-intelektual Yahudi (antara lain diwakili oleh Musa Maimonides) pun mengalami masa keemasannya. Pemikir-pemikir Islam dan Yahudi "bekerja sama" menyelamatkan warisan peradaban Yunani-Kuno, mengolahnya dalam khazanah peradaban Islam, mencegahnya dari kehancuran selama Abad Gelap di Eropa.

Ironisnya kemudian, "Renaisans Islam" ini berakhir setelah filsafat dimusuhi, menguatnya kaum ulama, sebagaimana tercermin dari perdebatan Al-Ghazali melawan Ibnu Rusyd, dalam kitab Tahafut al-Falasifah (Matinya Filsafat), dibalas Ibnu Rusyd dengan kitabnya Tahafut at-Tahafut (Matinya Kitab Tahafut). Perang Salib yang bertubi-tubi, disusul gelombang serangan bangsa Mongol, membuat umat Islam kehabisan energi, dan kaum ulama - yang menjadi kekuatan untuk melegitimasi pemerintahan feodal khilafah-khilafah dinastik - merasa perlu "menguatkan mental" rakyatnya dengan memperkuat peran Negara, dan membatasi wacana publik. Maka terkenallah istilah "ditutupnya pintu ijtihad", sebagai upaya elit ulama memberangus perdebatan skolastik yang dianggap menyita energi umat Islam, di tengah-tengah krisis menghadapi serbuan Mongol. Ibnu Taimiyyah, pemikir yang kemudian menjadi rujukan kaum Muhammad ibn Abdul-Wahhab, bapak fundamentalisme Islam, mengutarakan pemikiran politiknya yang mendukung absolutisme: bahwa kediktatoran masih lebih baik daripada anarkisme walaupun hanya sehari saja. Abbasiyah hancur, perpustakaan Baghdad dibakar, sumber-sumber keilmuan Islam ludes bersama mayat-mayat yang bergelimpangan membusuk dan banjir darah di Sungai Eufrat dan Tigris, dan piramida tengkorak yang didirikan oleh Timur Lenk, persis seperti periode Kamboja semasa kekuasaan "komunis" Khmer Merah.

Hanya segelintir cendekiawan di Islam di wilayah Spanyol dan Maghribi (Afrika Utara) yang selamat dari amukan Mongol, merekalah yang kemudian menyelamatkan sisa-sisa kekayaan intelektual Islam. Transfer ilmu pengetahuan ini bermula dari sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang dibangun oleh kekuasaan Islam di Spanyol (Andalusia). Intelektual-intelektual "murtad" dari kalangan Kristen-Eropa banyak berguru kepada Islam. Ajaran Ibnu Rusyd menjadi teladan mereka, di-Latin-kan menjadi Averroisme. Sementara Islam kemudian tunduk dalam kekuasaan baru bangsa Mongol yang menyerap sisa-sisa kebudayaan Islam, dan mempertahankan ketertutupan pintu ijtihad, bangsa-bangsa Eropa melihat warisan Islam sebagai pintu bagi kebangkitan intelektual mereka, melahirkan Renainans dan Humanisme, sebagai upaya intelektual melawan absolutisme Gereja-Romawi, kekuatan feodal yang mencengkeram