Opini

Islam Moderat dan Penanganan Konflik Thailand Selatan

NU Online  ·  Sabtu, 16 September 2006 | 08:36 WIB

Oleh: H A Hasyim Muzadi

Dalam dua tahun ini ketegangan dan konflik bernuansa agama menjadi persoalan yang krusial di Thailand. Saya bersama tim Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) diundang pemerintah  Thailand pertama kali, pada Maret-April tahun 2005. Misi NU waktu itu adalah memberi masukan pemerintah Thailand untuk menyelesaikan konflik di tiga provinsi di Thailand Selatan, yaitu Yala, Pattani, dan Narathiwat.yang mayoritas penduduknya muslim. Pasca-penyerangan militer Thailand terhadap Masjid Krue Se di Pattani dan terbunuhnya 84 demonstran muslim di Tak Bai, Narathiwat (Oktober 2004). Dua peristiwa berdarah ini, telah mengundang keprihatinan Raja Thailand Bhumibol Adulyadej dan PM Thaksin Shinawatra. Dus, dengan demikian mencoreng pemerintahan Thaksin.

Sejak terjadinya serentetan kekerasan di Thailand Selatan, sebenarnya sudah banyak upaya dilakukan guna memperbaiki hubungan dengan masyarakat Islam di Selatan itu. Program ini juga menjadi prioritas Thaksin dalam periode kedua masa pemerintahannya yang dilantik kembali menjadi perdana menteri pada 11 Maret 2005. Undangan terhadap PBNU merupakan bagian dari program ini dan Thailand menganggap NU sebagai kelompok Islam yang moderat dan ormas Islam terbesar di Indonesia. Sepanjang sejarah Indonesia merdeka, NU  tak pernah menempuh jalan kekerasan untuk memperjuangkan aspirasinya. Selain itu, kultur masyarakat NU dinilai sama dengan budaya masyarakat Islam di Thailand Selatan. Karena itu, NU sangat dikenal masyarakat muslim Thailand Selatan.

<>

Kehadiran saya dan Tim PBNU yang kedua ke Bangkok pada Senin-Selasa (11-12 September 2006) adalah dalam rangka memenuhi undang perayaan 60 tahun bertahtanya Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej. Kesempatan itu pun, kami pergunakan untuk mengevaluasi kerjasama yang sudah kami jalin sejak tahun lalu itu. Karena, ada kecenderungan mulai bergeraknya lagi ketegangan dan konflik antara pemerintah pusat dan umat Islam Thailand Selatan ini. Mengapa semua ini masih terjadi  berikut catatan kami yang juga sudah dikemukakan ke koran-koran di Bangkok.

Resolusi Konflik Jalan di Tempat

Konflik Thailand Selatan, sejak saya datang setahun lalu dengan keadaan sekarang
hampir tidak ada perbaikan, atau boleh dikatakan proses penanganan konflik antara warga Thailand Selatan yang mayoritas muslim dengan pusat pemerintahan Thailand jalan di tempat. Jadi apa yang saya omongkan kepada PM Thaksin, kepada Raja Bhumibol, kepada putra mahkota, dan kepada Jenderal Sirichai Tunyasiri, komandan Pemulihan Keamanan dan Perdamaian Thailand Selatan belum ada realisasi.

Harapan saya agar segera terwujud resolusi konflik di Thailand Selatan, karena itu ketika di Bangkok kemarin saya kembali tekankan kepada berbagai pihak di sana. Pertama saya menekankan agar konflik di Thailand ini harus dianggap sebagai konflik nasional, jangan sampai masuk unasir internasionalisasi, karena kalau ada internasionalisasinya penyelesaiannya akan semakin rumit.

Kedua, pemeritahan Thailand harus menciptakan situasi Thai Muslem jangan diorientasikan ke Malay Muslem (Muslim Melayu), dan karena itu pemerintah harus melindungi semua warga muslim Thailand Selatan, minus teroris. Khusus mengenai teroris, pendekatannya bisa melalui pendekatan militer, tetapi penyelesaiannya harus lewat pengadilan. Karena dengan penyelesaian di pengadilan akan segera diketahui anatomi dari teroris ini: apakah dari domestik warga Thailand Selatan atau karena provokasi dari luar negeri. Kalau dari luar negeri dari unsur mana? Dari garis ekstrim kiri atau ekstrim kanan? Selanjutnya saya usulkan pendekatan militer dan security harus seimbanag dengan pendidikan, kesejahteraan dan keadilan.

Selanjutnya saya meminta kepada pemerintah Thailand agar mempunyai advisor yang mengerti agama Islam sehingga dia tidak salah melangkah. Seperti tentara masuk masjid pakai sepatu, hal itu menunjukkan bahwa dia tidak tahu bahwa perilaku seperti itu sangat menyinggung perasaan orang Islam. Bukti paling recently (terkini), saya diundang ke sana kemarin ini untuk bertemu Putra Mahkota, waktunya tepat solat maghrib. Saya karena musafir, saya boleh solat jama' dengan solat Isya’. Tetapi, ulama atau tokoh Islam yang di situ kan merasa tidak dihargai keyakinannya. Jadi ini semua menunjukkan bahwa pemerintah Thailand tidak paham Islam.

Kemudian saya juga mengingatkan kepada pemerintah Thailand agar waspada terhadap infilterasi, seperti mereka yang biasa melakukan bisnis bencana, orang yang memanfaatkan konflik untuk ajang jual beli senjata. Karena sekarang ini di sana orang kampung dipegangi senjata, sementara pemerintah takut pemberontakan. Ini kan terbalik. Dan supaya invisible hand diperhatikan, karena setiap konflik itu mesti ada sesuatu di bawah permukaan. Saya belum melihat hal-hal ini belum ada perubahan di sana.

Orang-orang lulusan Timur Tengah, yang dari Mekkah dan Madinah, jangan membawa negara Islam, yang tidak memungkinkan untuk mendirikan negara Islam di Thailand. Mengapa tidak mengambil guru-guru yang dari pesantren NU saja? NU mencoba menawarkan alternatif rekrutmen tenaga guru agama dan da’i.  Karena sebenarnya, orang NU paling paham cara berkomunikasi dengan orang-orang Hindu dan Budha. Nah ini saya omongkan ke wartawan di Bangkok, besoknya heboh Bangkok, bahkan di harian Bangkok Post, omongan saya ini menjadi head line di koran tersebut.

Islam Moderat

Kami dari NU tidak hanya dis