Opini

Idul Fitri sebagai Momen Menuju Kemenangan Abadi

NU Online  ·  Sabtu, 16 Juni 2018 | 13:00 WIB

Oleh Syakir NF

Ramadhan telah berlalu. Semua muslim bersedih karena kepergiannya, sekaligus bahagia menyambut idul fitri, suatu kemenangan bagi mereka yang berhasil melalui puasanya dengan baik. Pertanyaan yang muncul dari sini, akankah kemenangan itu hanya pada idul fitri saja, ataukah terus berlanjut? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh kita sendiri sebagai muslim yang telah melalui Ramadhan.
 
KH Muhammad Abbas Billy Yachsyi pada satu ceramahnya di Jakarta Islamic Center beberapa tahun lalu menyebutkan bahwa Ramadhan merupakan madrasah. Kehebatan santri bukan hanya dilihat saat dia tinggal di pesantren, justru kiprahnya setelah lulus lebih diperhitungkan. Pun dengan Ramadhan. Sebab, Kang Babas, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa yang dikehendaki oleh Allah melalui Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 183 adalah proses menuju takwa yang tidak berhenti.
 
La'alla, mengutip Ibnu Hisyam, jika disandingkan dengan fiil mudlari akan memunculkan arti proses terus menerus. La'allakum tattaqun, kata putra KH Fuad Hasyim Buntet Pesantren itu, berarti supaya kalian bertakwa secara terus menerus.

Tidak cukup demikian, Kang Babas juga menerangkan bahwa Allah memilih kata kerja, tattaqun, pada ayat tersebut. Artinya, proses tersebut harus dikerjakan secara aktif. Maknanya tentu berbeda, katanya, jika lafal tersebut, misalnya, diganti litakunu minal muttaqin, supaya kalian menjadi orang yang bertakwa.

Maka, untuk menuju hal itu, kita juga patut bersama-sama bertafakkur, merenungi pertanyaan yang diajukan Cak Nun dalam tulisannya, Seandainya Allah Pun "Berlebaran", yang terdapat dalam bukunya Tuhan Pun Berpuasa, seberapa jauh kita –sebagai pribadi-pribadi- telah sungguh-sungguh mengupayakan conditioning peridulfitrian dalam kehidupan kita masing-masing.

Pertanyaan tersebut memancing kita untuk mengevaluasi laku diri kita selama ini. Sebelum kita beranjak pada permohonan maaf dari dan untuk orang lain kita terima dan ajukan, kita sudah harus punya rencana kebaikan di masa yang akan datang. Evaluasi tentu bukan sekadar mengoreksi kesalahan yang telah kita perbuat, melainkan juga merencakana perbaikan atasnya dan meneruskan kebaikan kita selanjutnya.
 
Selanjutnya, kita juga punya tanggungan untuk meminta maaf kepada orang lain. Refleksi diri itu bekal kita untuk mengajukan proposal permohonan maaf kepada sanak, rekan, handai taulan, guru, dan semua orang yang kita kenal. Mengutip KH Ahmad Mustofa Bisri dalam tulisannya yang berjudul Idul Fitri "Atawa" Lebaran yang pernah dimuat di harian Kompas pada 21 Oktober 2006, dosa kepada sesama gawat dan sulit. Sebabnya, kata Gus Mus dalam tulisannya yang termuat ulang dalam bukunya Membuka Pintu Langit, Momentum Mengevaluasi Perilaku, manusia berbuat salah sedikit saja marah. Bahkan untuk sekadar kekhilafan yang tidak sengaja ia lakukan pun sulit dimaafkan. Sehingga, lebaran menjadi momen saling memaafkan.
 
Dengan begitu, kita akan benar-benar menjadi pribadi yang fitrah, lepas dari salah terhadap pribadi, orang lain, dan Allah SWT yang telah berjanji menghapuskan dosa kita sebagaimana bayi yang baru lahir.
 
Bahkan, lebih dari sekadar saling memaafkan, terhadap sesama mestinya juga kita bisa menyukai sesuatu untuk orang lain seperti ia menyukainya untuk pribadi. Hal itu sebagai penyempurna iman kita, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Sahabat Anas ibn Malik ra yang dikutip oleh Gus Mus dalam tulisannya Syukuran Idul Fitri yang pernah terbit di harian Kompas edisi 12 Oktober 2007, "Laa yu'minu ahadukum hattaa yuhibba liakhiihi maa yuhibbu linafsihi" (Tidak benar-benar beriman seseorang di antara kamu sampai dia mampu menyukai sesuatu untuk saudaranya, sebagaimana dia menyukai sesuatu untuk diri sendiri).

Jika kesalahan terhadap diri akan terus diperbaiki, kebaikannya diteruskan lagi, maaf dari sesama telah diberi, Allah pun sudah mengampuni, maka kemenangan akan terus berada di sisi.
 
Selamat Idul Fitri.


Penulis adalah Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) dan Kontributor NU Online