Opini

Idul Fitri Pijakan Strategis Persatuan Internasional

NU Online  ·  Jumat, 15 Juni 2018 | 11:00 WIB

Oleh Nasrulloh Afandi

Idul Fitri telah tiba. Takbir, Tahlil, dan Tahmid, berkumandang di seluruh penjuru dunia. Kalimat-kalimat suci tersebut meluncur ke singgasana Ilahi Rabbi, ekspresi para hamba beriman mengharap ridha-Nya.

Karena itu, Idul Fitri harus menjadi motivasi bagi setiap orang beriman untuk mampu menjadi nakhoda, minimal bagi diri sendiri, untuk memperbaiki diri.

Idul Fitri juga merupakan momentum istimewa untuk mempersatukan umat Islam di seluruh dunia. Setiap Muslim hendaknya berperan aktif mengestafetkan persatuan di pentas global.

Apalagi, pasca-Ramadhan, setiap Muslim yang benar-benar berpuasa dengan ikhlas menjadi suci sehingga unggul secara rohani.


Melacak Eksklusivis Idul Fitri

Eksklusivisme Idul Fitri, umat Islam bersemangat merayakan hari kemenangan. Saat momen ini berlangsung, tidak ada fanatisme mazhab maupun golongan. Hanya satu kalimat, yakni mengumandangkan syiar Islam dengan Takbir.

Umat Islam seluruh dunia yang menganut Mazhab Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafi’I, atau penganut mazhab kecil, seperti Ibadiyah -sempalan dari Khawarij -yang resmi menjadi mazhab pemerintah di Kesultanan Oman, bersatu merayakan kemenangan.

Dalam kegembiraan itu, bila ada pihak yang mengusik atau mengganggu perayaan Idul Fitri, bisa dipastikan umat Islam seluruh dunia akan bereaksi dan memprotes. Dalam kondisi ini tentu reaksi umat Islam tidak dilatarbelakangi fanatisme mazhab atau golongan, tetapi atas dasar Islam.

Sungguh luar biasa keagungan Idul Fitri, hingga mampu menghilangkan fanatisme mazhab dan golongan. Suhbannallah, kita patut mensyukuri karunia kebersamaan berskala internasional ini.


Signifikansi Reorientasi Pasca-Idul Fitri

Berawal dari momentum Idul Fitri, dengan hilangnya fanatisme mazhab atau golongan, umat Islam harus kembali meningkatkan persatuan serta bahu-membahu menerapkan suasana baru yang lebih berkualitas. Membangun persatuan di dunia Islam, dimulai dari level terkecil, untuk turut berperan di kancah internasional atau global.

Untuk mewujudkan hal itu, harus diawali dengan kesadaran masing-masing tanpa membedakan status organisasi keagamaan, status sosial, tingkat ekonomi, dan budaya. Bila kesadaran dan kedewasaan dalam menyikapi perbedaan dari masing-masing individual terbentuk, maka akan melahirkan persatuan nasional.

Jika itu terwujud, otomatis setiap Muslim telah menerapkan semangat Idul Fitri dan berperan dalam menyatukan umat Islam. Dengan itu, umat Islam akan mampu menjadi pelopor perdamaian dunia.

Menyingkap Toleransi Lintas Mazhab

Subhanallah, betapa Allah Maha Pengasih dan Adil kepada hamba-Nya. Di hari yang fitri, posisi semua manusia sama di sisi Allah SWT, kaya, miskin, pejabat, rakyat, karyawan, pimpinan. Karenanya, setiap menjelang Idul Fitri juga dianjurkan berbagi rezeki kepada fakir miskin agar mereka turut merasakan kebahagiaan.

Perspektif maqasid syariah (tujuan syariat) dianugerahkannya Idul Fitri, di antara tujuan utamanya adalah untuk menghibur orang-orang beriman, merayakan kebahagiaan bersama keluarga, saudara, kerabat, dan tetangga. Selain itu, disunnahkan untuk memberi pakaian baru dan hadiah lainnya kepada anak-anak yang kurang beruntung demi menyenangkan mereka.

Indonesia sebagai negara mayoritas berpenduduk Muslim sangat kental dengan toleransi. Jika dihayati, implementasi dari toleransi beragama di Indonesia adalah diperbolehkannya mengikuti salah satu dari empat mazhab besar. “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 92).

Secara implisit, mayoritas ulama merekomendasikan agar saat Idul Fitri meminggirkan fanatisme mazhab tertentu, sebaliknya bergotong royong menyiarkan Islam.


Mengetuk Nurani Elite Ormas Islam

Melalui tulisan ini, saya tidak akan menyodorkan konsep atau kajian Ilmiah, tetapi sebagai umat Islam warga Indonesia, saya mengetuk hati dan nurani para elite ormas keagamaan agar tidak mendahulukan kepentingan organisasi atau golongan. Cukup sampai di sini ada 'konflik'. Sudah sejak lama di Indonesia (sering) Terjadi perbedaan antar ormas dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan.

Nurani saya terpanggil, karena substansi untuk penetapan awal dan akhir Ramadhan sudah jelas dalam Islam. Berbagai teori dan kajian Ilmiah pun telah diajukan oleh para ahli dan pakar Islam modern maupun kalangan tradisional untuk menetapkan awal Ramadhan dan Syawal. 

Tidakkah di hari yang mulia dan suci ini mengedepankan ukhuwah Islamiyah lebih baik. Sehingga, setiap tahun, tidak ada lagi perbedaan dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan antar ormas Islam.

Tanpa memandang perbedaan, kita diperintahkan Allah SWT dan Rasulullah SAW untuk bersatu padu. Perintah untuk bersatu ditegaskan dalam firman-Nya, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (QS Ali Imran:103)

Idul Fitri Awal Kebangkitan

Puasa Ramadhan, dalam aspek maqasid syariah, berbeda dengan ibadah lainnya. Puasa Ramadan adalah satu-satunya ibadah multiguna. Puasa berguna membentuk ruhani dan jasmani.

Secara global, puasa Ramadhan bertujuan memberikan pencerahan hati dan pikiran, pembentukan jiwa sosial, menjaga kesehatan, dan berbagai fungsi lainnya. Singkatnya, puasa adalah modal untuk memperbaiki hubungan vertikal (Allah SWT) dan horizontal (interaksi sosial).

Dengan bekal kesucian hati dan pikiran, merupakan momen strategis untuk mereorientasi diri. Setiap orang beriman harus proaktif meningkatkan kualitas (diri) dan secara kolektif.

Penulis adalah Doktor Maqasid Syariah alumnus Universitas Al Qurawiyin Maroko, Pimpinan Pesantren Asy-Syafi’iyyah Kedungwungu Krangkeng Indramayu, Pengajar Senior Pesantren Balekambang Jepara.