Opini

Hukum Waris pada Tukang Bully yang Berakibat Kematian

Sab, 29 Desember 2018 | 11:30 WIB

Oleh Muhammad Syamsudin

Dalam suatu kesempatan kajian bersama dengan para mahasiswa peserta Kajian Fikih Kewanitaan dan Gender Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, penulis mengajukan sebuah pertanyaan guna menggugah kembali pemikiran para kader muda mahasiswa agar berpikir tentang perkembangan hukum Islam secara metodologis dan sistematis dan mengaitkannya dengan realitas yang terjadi di masyarakat. Masalah yang penulis lemparkan ke peserta tersebut adalah relasi antara pem-bully dengan yang di-bully serta hubungannya dengan hukum waris. 

Mencermati fakta media sosial, ada kejadian bahwa orang yang di-bully di media sosial mengambil tindakan nekad bunuh diri. Seperti beberapa kasus yang terjadi di Amerika dan terjadi pada remaja usia sekolah dasar dan menengah. Di Indonesia sendiri, realitas ini masih dinilai kecil, namun tidak bisa dipungkiri bahwa hal tersebut adalah ada. Kita bisa berselancar di internet untuk mengetahui fakta ini. 

Masalah sederhananya adalah bisakah orang yang mem-bully tersebut dikategorikan sebagai pihak yang melakukan pembunuhan secara tidak disengaja? Atau, bahkan apakah pihak pem-bully bisa dianggap sebagai telah melakukan tindakan pembunuhan secara sengaja atau sekadar pembunuhan semi-sengaja? 

Perlu diketahui bahwa ada tiga jenis pembunuhan di dalam Islam. Pertama, adalah pembunuhan disengaja (qatlu al-‘amdi). Pembunuhan jenis ini dilakukan dengan niat yang bisa membunuh dan menggunakan alat yang benar-benar bisa membunuh. Ada seseorang niat membunuh saudaranya dengan membawa kapak, lalu disabetkan ke yang dibunuh. Akhirnya, korban benar-benar terbunuh. Pembunuhan semacam ini disebut pembunuhan disengaja (qatlu al-amdi).

Kedua, adalah pembunuhan semi sengaja (qatlu syibhi al-amdi). Pembunuhan jenis ini umumnya dilakukan dengan niatan lafdhy (hanya bentuk ucapan) hendak membunuh. Namun, ternyata si korban benar-benar terbunuh, padahal alat yang dipergunakan masuk kategori tidak bisa digunakan untuk membunuh. Misalnya: ada dua orang yang tengah gurauan dengan temannya. Salah satunya bilang bahwa dia akan bunuh temannya. Dia mengacung-acungkan kertas ke arahnya, lalu mengibaskannya. Sang teman kaget, lalu akhirnya bablas meninggal. Pembunuhan semacam ini masuk kategori qatlu syibhi al-amdi, yaitu pembunuhan semi disengaja. 

Ketiga, adalah pembunuhan tidak disengaja (qatlu ghairi al-amdi) atau biasa disebut juga sebagai pembunuhan tersalah (qatlu al-khatha’). Seseorang berniat hendak melempar ayam yang mengais jemuran padi, tahu-tahu mengenai saudaranya yang ada di sekitar jemuran tersebut. Adapun alat melemparnya dengan menggunakan alat yang bisa membunuh. Saudara yang terkena lemparan meninggal akibat ulah itu. Pembunuhan semacam ini disebut pembunuhan tersalah atau pembunuhan tidak disengaja. 

Yang menarik adalah bahwa semua kategori pembunuhan di atas memiliki konsekuensi yang sama di dalam jurisprudensi hukum Islam, yaitu: pembunuh tidak bisa mewaris kepada yang dibunuh, khususnya apabila di antara keduanya memiliki relasi hubungan waris mewaris. Topik menariknya adalah bagaimana apabila pembunuhan tersebut dilakukan tidak menggunakan semacam alat fisik, melainkan alat verbal?

Suatu misal ada orang tua memarahi sang anak di depan umum. Si anak sudah merasa dewasa lalu terjadilah emosi. Si anak lari ke arah jalan raya. Tanpa disadari tiba-tiba ada mobil yang sedang lewat dengan kecepatan tinggi. Karena efek dimarahi sehingga ia tidak bisa konsentrasi dan kehilangan kesadarannya, apakah bahasa verbal yang pedas dari orang tua itu bisa dikategorikan sebagai pembunuhan terhadap anaknya? 

Sekarang mari bandingkan dengan fakta media sosial! Ada dua orang saudara yang memiliki hubungan waris-mewaris secara Islam, namun saling bully di media. Yang di-bully sedang melakukan perjalanan dengan berkendara. Karena sibuk merespons bullying dari saudaranya, akhirnya ia kehilangan kendali atas laju kendaraan, lalu berakibat fatal berupa kecelakaan. Apakah saudara yang menjadi lawan interaksi di media sosial tersebut bisa dikategorikan sebagai telah melakukan pembunuhan? 

Dua kasus terakhir menunjukkan kesamaan dalam illat (alasan) hukum, yaitu mengganggu kesadaran korban sehingga berakibat kecelakaan yang mengundang maut. Apabila kita qiyaskan dengan jenis dan macam-macam pembunuhan, maka seolah kasus ini menunjukkan kesamaan illat dengan pembunuhan semi di sengaja (qatlu syibhi al-‘amdi). Perbedaannya adalah dhahir alat yang mana di dalam relasi langsung antara korban dan pembunuhnya, keberadaan alat ini bisa ditemui unsur fisiknya, meskipun bukan termasuk alat yang umumnya bisa digunakan untuk membunuh. Namun, beberapa waktu ini, dalam UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik), ada fakta bahwa bahasa tulis dan gambar ternyata bisa dijadikan sebagai alat bukti fisik. Jika demikian halnya, maka tidak diragukan lagi bahwa bahasa tulis yang bisa mengganggu kesadaran orang lain sehingga berujung pada kematian lawan bicara adalah masuk unsur alat pembunuhan. 

Ada kemungkinan juga bahwa kasus interaksi media sosial, bisa masuk unsur pembunuhan tersalah. Sebuah ilustrasi adalah suatu interaksi dimaksudkan untuk gurauan, namun gambar meme yang digunakan memakai gambar saudaranya dengan maksud lucu-lucuan. Tidak disangka pemilik gambar tersinggung dan malu karena gambarnya dipergunakan, sehingga berbuah kenekadan mengambil jalan pintas yang di luar ekspektasi (harapan), yaitu mengakhiri hidupnya. Wa ‘iyâdzu billâhi min dzâlik. Bahasa teks semacam, dengan menimbang unsur UU ITE seharusnya bisa dipergunakan sebagai alat bukti terjadinya pembunuhan tersebut. Efek besarnya adalah pihak yang menyebarkan gambar, meskipun pada hakikatnya dia bisa ikut mewaris harta saudaranya, menjadi tidak bisa mewaris lagi disebabkan akibat kesalahan fatal yang tidak disengaja tersebut. 

Persoalannya kemudian adalah, apakah masyarakat siap apabila hal ini diterapkan dan diberlakukan di negara kita? Apabila siap, wah betapa penjara di Indonesia akan penuh dengan orang yang bisa dipidanakan karena efek transaksi sosial. Apalagi bila kita menyimak fenomena saling bully yang tengah marak di internet. Tidak ada yang mau mengalah dan dikalahkan. Semuanya mencari benarnya sendiri dan untuk kepentingannya sendiri yang bersifat semu dan sesaat. 

Ada sebuah perkataan ulama, yang pernah penulis dengar: “apabila hukum pembunuhan tidak sepenuhnya bisa dilakukan di dunia ini, maka tetap bahwa setiap orang yang melakukan kesalahan bullying sehingga berujung korban lewat lisan dan tulisannya sebagaimana dimaksud di atas, kelak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat.” Semoga kita semua diringankan hisab kita dan diselamatkan dari hal yang tidak sengaja kita lakukan! Amîn yâ rabba ‘âlamîn.


Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim