Opini

Hoaks dan Kesehatan Mental Politisi

NU Online  ·  Jumat, 25 Januari 2019 | 01:45 WIB

Oleh Ahmad Kholas Syihab

Politik pada hakekatnya adalah siasat atau arena perebutan kekuasaan untuk membangun bangsa yang berperadaban tinggi, bukan hanya sekedar siasat dan perebutan pacar yang bisa dilakukan sembarangan. Politik juga bukan seperti ajang pencarian bakat yang muncul sesaat dalam sebuah lomba atau pertandingan. Menang menjadi juara, terkenal lalu hilang ditelan ganasnya zaman.

Fenomena perpolitikan kita, tampak tidak bernilai kebangsaan, karena kita sudah terlanjur enjoy menikmati lelucon dalam perlombaan tersebut. Peserta lomba politik, dengan membawa supporter bayaran dengan gaya jagoan, mereka bersorak, mengejek lawan politik dengan ujaran kebencian dan tidak segan-segan menyebarkan hoaks.

Bahkan dengan dalih menghalalkan segala cara, rela menggadaikan agama sebagai bahan untuk mempecundangi lawannya agar jatuh tersungkur. Hal yang semestinya haram bisa dihalalkan, demi kemenangan. Inilah yang terjadi dalam perpolitikan kebangsaan kita. Padahal, politik itu sejatinya suci dan sakral, untuk membangun kenegaraan yang bermartabat.

Menurut Aristoteles manusia adalah makhluk politik (zoon politicon) artinya makhluk berpolitik untuk mencapai kesempurnaan dalam masyarakat atau negara. Politik dalam arti yang sebenarnya adalah seni untuk menguasai dan memaksa siapapun untuk mengikuti. Harusnya, proses ini dinikmati sebagai sebuah kompetisi yang mendewasakan diri dan mengandung edukasi, bukan malah sebagai ajang adu gengsi dengan janji-janji bahkan provokasi.

Politisi dan Hoaks

Gelanggang politik semestinya adalah adu aspirasi, yang muncul sebagai bentuk implementasi dari ideologi dalam kehidupan berdemokrasi. Kecenderungan ke arah itu, telah hilang dari kancah permainan politik di negeri Indonesia ini. Yang kita temukan hanya perebutan kursi tanpa mengindahkan komepetensi diri dan tanpa mempedulikan konstitusi yang hakiki tentang keindonesiaan.

Menurut KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), partai politik (parpol) di Indonesia sendiri, ungkapnya, juga jarang yang memiliki politisi yang bermartabat dan berkeindonesiaan. Gus Mus menyebut politisi-politisi yang duduk di legislatif jarang ada yang benar-benar berpikir tentang Indonesia. Mereka hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya masing-masing (Harian Suara Merdeka, 21/11/2018)

Daam pencalonan legislatif atau  pemain-pemain politik yang tidak mempunyai kompetensi kenegaraan ikut berlaga, untuk memperoleh pendukung mereka rela menebar informasi melalui berbagai aplikasi yang dikemas berita-berita bohong (hoaks) lewat media sosial (medsos), melalui Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter, dan sejenisnya. 

Celakanya, orang-orang yang menjadi pendudkung atau pihak yang menerima informasi itu menyebarkan lagi tanpa mengecek kebenaran yang pasti, padahal informasi itu hoaks. Orang-orang (pendukung politisi) yang terlibat penyebaran hoaks, terbagi dalam dua tipe.

Pertama, bangga sebagai orang pertama yang ikut menyebarkan informasi baru. Kedua, merasakan informasi yang dia terima sesuai dengan isi hatinya, atau harapannnya. Orang-orang yang terlibat penyebaran hoaks tersebut bisa membahayakan kehidupan. Dalam bahasa psikologi orang tersebut termasuk bisa dikategorikan mengidap sakit jiwa.

Sakit jiwa yang dimaksud adalah mengidap penyakit mythomania dimana seseorang akan mempercayai kebohongan yang dibuatnya seolah nyata dan tidak sadar bahwa sebenarnya seseorang tersebut telah berbohong dan menceritakan khayalannya yang ada dalam kepalanya.

Mythomania bisa dijabarkan sebagai kondisi dimana seseorang ingin sekali mendapatkan perhatian besar dari orang lain, namun, karena keinginan yang sangat kuat ini, anda pun rela untuk menceritakan sebuah cerita bohong agar dipercaya dan diperhatikan oleh orang lain. Umumnya orang yang mengalami mythomania cenderung kehidupannya didominasi oleh banyak faktor kegagalan. Misalnya kegagalan dalam berkeluarga. Juga kegagalan dalam berteman, percintaan dan pendidikan. 

Persoalan pekerjaan juga bisa memicu seseorang mencoba mengelak dari berbagai masalah ini, sehingga menjadi pembohong sebagai bentuk pelarian diri dari apa yang ia alami selama ini. Dengan membuat orang lain percaya dengan kebohongannya, Ia merasa lebih mudah untuk lari dari semua masalah.

Mengobati penderita mythomania tentu harus menyadari diri-sendiri bahwa kebohongan-kebohongan yang dilakukan adalah sesuatu yang buruk karena justru bisa membuat masalah yang lebih besar ke depannya, misalnya terjerat masalah hukum. Untuk itu, harus disadari bahwa kebohongan yang dilakukan itu adalah sebuah penyakit jiwa.

Seperti kita ketahui atau bahkan mengalami sendiri, pengguna medsos cenderung berinteraksi dengan orang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan diri sendiri. Dikaji dari studi kelas sosial, gelembung medsos tersebut mencerminkan gelembung offline sehari-hari.

Kelompok masyarakat seperti yang disebutkan Simeon Yates tersebut kembali ke model lama, juga bertumpu pada opini pemimpin mereka yang memiliki pengaruh di jejaring sosial. Kabar bohong yang beredar di medsos, menjadi besar ketika diambil oleh situs atau pihak terkemuka yang memiliki banyak pengikut.

Kecepatan dan sifat medsos yang mudah dibagikan (shareability), berperan dalam penyebaran berita. Sebagaimana ditekankan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, menjadi sulit membedakan mana yang palsu dari fakta, dan sudah banyak bukti serta butuh perjuangan untuk menghadapi ini.

Saat ini informasi hoaks dijadikan alat untuk menyerang lawan politik, dengan tujuan untuk mencapai kekuasaan. Hal itu tentu saja menjadi tidak sehat, karena ingin mencapai kekuasaan dengan berbohong.

  
Penulis adalah Wakil Sekretaris PC GP Ansor Kabupaten Jepara dan Mahasiswa Magister Psikologi Profesi UII Yogyakarta