Opini

Hikmah Menyambut Ramadhan: Kembalinya Spiritualisme

NU Online  ·  Kamis, 21 September 2006 | 10:06 WIB

Oleh: Dr. KH Sahal Mahfudz

HIDUP pada masa sekarang boleh dikatakan hidup dalam peradaban masyarakat modern. Dalam bahasa global disebut sebagai era modernisme.

Kita boleh berbangga dengan penamaan itu karena peradaban masyarakat modern selalu dicirikan dengan berbagai macam kemajuan, terutama menyangkut penemuan-penemuan akal atas ilmu pengetahuan dan teknologi baru sehingga makin tampak megah kehidupan ini.

<>

Prestasi hebatkah itu? Mungkin. Akan tetapi, jika kita tanyakan cukupkah modernisme itu memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam eksistensinya sebagai manusia yang di samping memiliki unsur jasmani (jumleger) juga terdapat unsur rohani. Jawabnya adalah belum tentu. Bahkan, saya berani katakan bahwa modernisme masih jauh dari cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia itu.

Boleh jadi, modernisme dapat memenuhi semua kebutuhan fisik manusia meskipun hal itu juga masih belum tentu. Berbagai macam penemuan dan fakta membuktikan bahwa di negara-negara modern yang maju sekalipun, selalu ada orang-orang yang mati di jalanan karena kelaparan atau kedinginan serta masih terdapat diskriminasi secara individual ataupun kolegial, legal ataupun ilegal terhadap orang atau kelompok-kelompok tertentu.

Kemajuan modernisme itu akan semakin terasa jauh dari memenuhi kebutuhan manusia manakala kita memperhatikan unsur manusia yang kedua, yaitu rohani. Dalam hal pemenuhan unsur rohani itu, rasanya modernisme belum dapat membangun unsur tersebut, bahkan ada kecenderungan menjadikan unsur itu sebagai unsur manusia yang kering dan tak penting (setidaknya perhatian terhadap rohani kurang). Karena seperti yang kita rasakan selama ini, dunia modern lebih berpijak pada nilai mekanistis sehingga disadari atau tidak modernisme itu pada kenyataannya dirasakan oleh manusia sebagai rangkaian dari proses dehumanisasi.

Lebih jauh lagi, modernisme itu telah melahirkan berbagai penyakit peradaban yang sulit disembuhkan. Pengawasan dhahir dan keuntungan materi saja yang agaknya menjadi satu-satunya pertimbangan manusia dalam berperilaku. Merasa aman dari pengawasan dhahir dan mendatangkan keuntungan materi, banyak orang melakukan korupsi, merampok, membunuh, dan merampas hak-hak orang lain.

Kita sering menganggap diri kita terhebat dari ketentuan hukum Tuhan dengan berbagai cara seolah-olah kita yang berkuasa atas hukum dan Tuhan tidak mampu berbuat apa-apa dengan menganggap hari pembalasan tidak ada apa-apanya.

Yah, kalau boleh saya katakan, selama ini kita terbuai kemegahan modernisme dengan nilai-nilai materialistis dan lupa pada pemenuhan kebutuhan rohani atas nilai-nilai spiritual. Ketika beberapa hari ini kita menunaikan puasa, saya jadi ingat sebuah hadis qudsi ''Kullu amali ibn adam lahu illa as-shiyam, faiinahu li wa ana ajzi bihi. (Setiap amal perbuatan anak Adam adalah bagi mereka sendiri kecuali puasa karena puasa adalah milikku, dan (karena itu) aku yang nanti akan membalasnya).''

Ada nuansa yang berbeda dari ibadah puasa, jika dibandingkan dengan ibadah lain. Puasa tidak sekadar syari'at dalam bentuk ibadah ritual formal dan legal berupa pengendalian diri untuk meninggalkan makan dan minum dari fajar sampai magrib.

Akan tetapi lebih dari itu, puasa memberikan penekanan lebih besar pada aspek rohaniah dalam bentuk spiritualitas. Aspek spiritualitas -dan ini yang terpenting- selalu menuntut kesadaran akan kehadiran Tuhan yang selalu meliputi semua perilaku manusia.

Dalam sebuah ayat, Allah berfirman, ''Dia senantiasa beserta kamu di mana pun kamu berada, yakni di dalam keadaan keadaanmu'' (QS 57:4). Bahkan dalam ayat yang lain, kedekatan Tuhan dengan manusia itu melebihi kedekatan urat lehernya (habl warid).

Jika kita runut, setidaknya ada dua aspek yang tidak bisa ditinggalkan dari puasa. Pertama, aspek mengendalikan diri yang bersifat ritual formal. Kedua, aspek spiritualitas yang bersifat rohaniah. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena pada satu sisi mengendalikan diri akan sulit dilakukan kalau tidak ada satu motivasi yang mendorong jiwa untuk melakukannya.

Dan, yang mampu mendorong ke arah itu adalah aspek spiritualitas yang bermuara pada aspek-aspek transendental. Kalau sekarang kita mau jujur menjaga puasa dengan sebaik-baiknya, itu adalah pilihan. Kita mau tidak puasa tanpa seorang pun tahu, itu juga mudah. Terserah kita untuk menentukannya kecuali jika kita mampu merasakan kehadiran-Nya di setiap ruang dan waktu yang kita tem