Harlah Ke-53 PMII: Upaya Mencapai Kebaikan Kolektif
NU Online · Senin, 22 April 2013 | 03:03 WIB
Pada 17 April 2013, PMII menapaki tahun ke-53. Para founding fathers-nya, mungkin tidak pernah menyangka organisasi yang semula hanya berperan sebagai underbouw Nahdlatul Ulama (NU) dapat bertahan dan menggeliat melintasi kerasnya perubahan.
<>Dipaksa oleh keadaan politik, banyak organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan yang berdiri sebelum maupun pada masa Orde Lama (Orla) bertumbangan.
Dalam ingatan penulis, kecermatan mengambil keputusan yang dilakukan oleh leader PMII menjadi penyebab organisasi ini dapat bertahan. Ada dua contoh menarik yang belum tercatat di buku atau beberapa tulisan yang terkait dengan sejarah PMII yang layak diceritakan pada tulisan ini.
Pertama, pada saat Soekarno hendak membubarkan HMI karena dianggap sebagai bagian dari Masyumi yang terlibat pemberontakan PRRI/Permesta, Mahbub Djunaidi ngotot meminta kepada Soekarno di Istana Bogor agar HMI tidak dibubarkan. Padahal, ketika itu HMI adalah organisasi yang kerap berselisih dengan PMII dalam berbagai diskursus kenegaraan maupun dalam perebutan rekrutmen kader dan jabatan struktural di berbagai kampus. Dalam berbagai literatur hanya disampaikan alasan normatif dan moralis terhadap pembelaan PMII terhadap HMI. Terutama karena kesamaan sebagai sama-sama organisasi mahasiswa Islam.
Dalam sebuah forum diskusi alumni-alumni tua yang dihadiri oleh penulis beberapa waktu lalu di Jakarta, Chalid Mawardi, salah seorang pendiri PMII, menyampaikan alasan lain yang penulis anggap sebagai langkah cerdik-terukur. Menurutnya, pembelaan PMII adalah strategi supaya HMI tetap menjadi ‘sasaran pukul’ CGMI dan organisasi pemuda lainnya yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kalau HMI dibubarkan maka ‘sasaran pukul’ berikutnya adalah PMII. Keberadaan HMI akan membuat fokus serangan tidak berubah dan membuat perkembangan PMII tidak mengalami gangguan besar.
Kedua, lahirnya Deklarasi Munarjati di mana PMII memutuskan independen dari Partai NU. Saat itu, rezim Soeharto (Orde Baru) berupaya mengkonsolidasi kekuasaannya melalui seperangkat regulasi politik yang memungkinkan rezim untuk membubarkan suatu partai politik jika memilih menjadi oposisi dan berkonfrontasi terus-menerus. Sebagai langkah antisipasi dalam menghadapi kemungkinan terburuk yang mungkin saja akan menimpa Partai NU, sebagaimana yang pernah dialami PKI beserta CGMI di penghujung awal Orba berdiri, maka PMII memutuskan independen.
Langkah cerdik-terukur di atas merefleksikan kapasitas leader yang mumpuni pada masanya.
Memilih Tidak Sekedar Bertahan
Sebagaimana kita tahu, PMII berdiri dalam situasi perang politik aliran di masa Orla. Meski tergolong muda di bandingkan HMI, GMNI, CGMI, GEMSOS, SEMMI, dan KMI, PMII menjadi organisasi yang berkembang cukup cepat di tahun-tahun awal berdirinya. Keberadaan NU, sebagai partai politik nomor tiga terbesar hasil Pemilu 1955, berkontribusi bagi inisiasi dan pembentukan PMII di banyak cabang. Hanya dalam waktu enam tahun, PMII di bawah Zamroni, tampil menjadi leader di antara organisasi sejenis dalam melakukan protes sosial. Setelahnya, Orde Baru dengan cepat melakukan cengkraman. Kecuali, organisasi ‘hijau-hitam’ yang diistimewakan oleh rezim.
Efek dari the end of ideology dan tumbangnya rezim-rezim otoritarian di akhir 80-an dan awal 90-an memberi spirit yang cukup besar bagi penggiat sosial dan akademik di Indonesia. Pada saat yang hampir bersamaan, diskursus liberation theology menggeliat di negara-negara Selatan. Kemauan PMII membuka diri dengan gagasan-gagasan progresif berimbas pada terjadinya radikalisasi kader dalam skala massif. Atas nama sebagai kelompok yang terus-menerus dirugikan (wronged population), Soeharto sebagai existing holder of power ditumbangkan.
PMII telah menunjukkan tidak hanya sekedar ‘eksis’ tetapi juga berperan besar dalam kiprahnya menolak ketidakadilan sosial, melawan otoritarianisme, dan menuntut akuntabilitas praktek politik demokratis.
Mendorong Tidak Hanya ‘Asal Gerak’
Sebagai entitas organisasi gerakan sosial, PMII membutuhkan adanya contender (pesaing). Contender di dalam kampus berperan untuk membangun militansi, meningkatkan loyalitas dan solidaritas, melatih kedisiplinan berorganisasi, dan menginternalisasi values organisasi. Pada masa Orla, baik di dalam dan di luar kampus, contender PMII adalah komunisme, kapitalisme, dan modernisme Islam yang termanifestasi di dalam berbagai partai politik. Herbert Feith dan Lance Castles (1988) menyebut fenomena politik itu sebagai era ‘politik aliran’.
Di masa Orde Baru, tentara beserta organisasi massa pendukung yang tetap menginginkan sistem politik otoritarianisme adalah contender-nya. Demokrasi dan counter-hegemoni menjadi antitesa yang diperjuangkan PMII melalui tindakan kolektif konfliktual (conflictual collective action). Jaman berganti. Reformasi yang menghadirkan keterbukaan membuat contender PMII memiliki kesempatan yang sama. Yang sangat berbeda, umumnya hanya terkanalisasi di kelompok neo-liberal dan neo-Islam politik. Dari sisi pemanfaatan resource, dua kelompok tersebut tidak hanya terwadahi di dalam organisasi gerakan sosial melainkan juga merasuk di dalam struktur politik dan ekonomi.
Membaca gejala itu, gerakan sosial yang dilakukan PMII hendaknya tidak hanya sekedar berhenti pada ‘seeking meaning’. Dalam pendekatan multi-institutional politics, masyarakat dan kekuasaan didominasi oleh negara, institusi lain, dan budaya. Ketiganya menjadi arena perebutan dan target dari perubahan gerakan sosial. Kader-kader PMII bergerak menjadi challenger (penantang) sesuai dengan kemampuan dan batasan geraknya. Keluasan dan keluwesan geraknya terjadi secara individual ketika kader sudah post-PMII. Bagian inilah yang tidak kalah krusial.
Secara sadar, PMII merupakan kawah candradimuka kader-kader bangsa sebagaimana yang termaktub di dalam tujuannya. Menciptakan resources yang memiliki karakteristik bertakwa, berbudi luhur, cakap dan bertanggungjawab mengamalkan ilmunya, dan berkomitmen terhadap cita-cita kemerdekaan. Dalam relasinya dengan kehidupan bernegara maka komitmen terhadap cita-cita kemerdekaan yang tercantum di dalam preambule UUD 45 menjadi prioritas. Komitmen mengacu pada tindakan aktif: turut membentuk tata kehidupan baru di Indonesia yang selaras dengan cita-cita kemerdekaan di mana core actors-nya adalah kader-kader PMII. Novus ordo seclorum.
Konsekuensinya, perlu sinergisitas antar alumni untuk saling mendukung dalam perebutan ruang-ruang ‘kuasa’. Mengurangi dendam konflik politik-internal organisasi saat berada di internal-movement front di masa lalu dan berpikir strategis secara kolektif dalam konteks global front dan local front.
Kenapa itu penting? Dengan melakukan infiltrasi ke dalam kekuasaan maka kader-kader PMII yang terkategori sebagai alumni dapat melakukan internalisasi nilai ke dalam perangkat dan sistem kekuasaan. Bekerja dalam menjaga keutuhan NKRI, mentoleransi kebhinekaan, dan menjalankan prinsip, etika, dan filosofi Pancasila, dan berupaya mematerialkan cita-cita kemerdekaan sebagai common will bangsa. Modal sosial PMII sebagai kaum intelektual dan nahdliyin sangat memungkinkan.
The last, PMII berperan sebagai sarana reproduksi kader potensial-berkapasitas dan alumni melakukan distribusi serta upaya perebutan. Kemampuan leadership yang tangguh dan kedisiplinan menjalankan perencanaan strategis baik institusi PMII dan institusi alumni PMII menjadi syarat mutlak memainkan skema tadi. Bukan?
*Penulis adalah Ketua Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menggali Hikmah Ibadah Haji dan Kurban
2
Khutbah Jumat: Menggapai Pahala Haji Meskipun Belum Berkesempatan ke Tanah Suci
3
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
4
Pengrajin Asal Cianjur Sulap Tenda Mina Jadi Pondok Teduh dan Hijau
5
Khutbah Jumat: Persahabatan Sejati, Jalan Keselamatan Dunia dan Akhirat
6
Prabowo Serukan Solusi Dua Negara agar Konflik Israel-Palestina Reda
Terkini
Lihat Semua