Opini ANA SABHANA AZMY

Gus Dur, Keadilan Gender, dan Buruh Migran

Ahad, 5 Januari 2014 | 12:00 WIB

Ketika menyebut nama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang tercipta di benak saya adalah cendekiawan Muslim sangat arif, bijaksana, humoris, dan juga toleran. Siapa tak kenal dia? Mantan Presiden Indonesia keempat ini begitu dikagumi, sekaligus dihujat karena berbagai pemikiran menuai pro dan kontra di masyarakat.
<>
“Perjumpaan” saya dengan Gus Dur pun terbilang sangat singkat, yaitu sejak tahun 2009, ketika saya menimba ilmu politik di kampus Universitas Indonesia. Meski belum berkesempatan untuk berdialog langsung dengan beliau hingga akhir hayatnya, namun pemikiran-pemikiran-nya tentang perlindungan buruh migran Indonesia, yang menjadi konsentrasi saya dalam ranah ilmu politik, amat saya kagumi.

Gender dan Politik

Berbicara tentang gender, maka berbicara pula tentang keadilan. Karenanya, seringkali kita mendengar kata “adil gender”. Gender, sebagaimana yang disebutkan oleh Judith Squires dalam bukunya Gender in Political Theory, mengurai bahwa ketika kita menyebut gender, maka identik dengan suatu bentuk secara kultur/budaya yang mendefinisikan sebuah karakteristik yang dikonstruksi secara sosial, kemudian dialamatkan pada salah satu pihak, dan dalam hal ini adalah perempuan.

Akhirnya, kita akan mendengar penamaan feminine dan maskulin. Feminine merujuk pada perempuan, bahwa perempuan itu lembut, lemah, berkutat pada ranah domestik, sensitif dan sebagainya. Sedangkan maskulin merujuk pada laki-laki, bahwa mereka tangguh, kuat, berkutat pada ranah publik, dan tidak sensitif. Pada akhirnya, secara umum kita akan mengenal kata gender sebagai pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab dan hal lainnya antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat yang dikonstruksi secara sosial, budaya atau penafsiran nilai agama yang salah.

Kehadiran konstruksi sosial, budaya dan bahkan penafsiran nilai agama yang salah  tersebut, menyebabkan kurangnya kehadiran perempuan dalam konteks pembangunan sosial. Ini pula yang disadari oleh Gus Dur, dengan berpikir bagaimana Negara menempatkan perempuan dalam pembangunan. Meminjam tulisan yang diurai dalam sebuah artikel di situs Fahmina pada bahasan “Gus Dur Sang Presiden Feminis”, bahwa Gus Dur kemudian mengubah Menteri Urusan Peranan Wanita, menjadi Menteri Urusan Pemberdayaan Perempuan.

Bagi saya, sikap Gus Dur tersebut merefleksikan pemikiran dan keberpihakannya terhadap kondisi perempuan Indonesia, yang terkena budaya patriarkhi dan menempatkan perempuan sebagai warga Negara kelas kedua/second sex. Pemikiran beliau tentang adil gender, juga diaplikasikan pada sejumlah produk kebijakan ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden Indonesia periode 1999-2001. Ia memperkenalkan kata gender dalam GBHN 1999-2004, dijabarkan dalam UU No.25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004. UU  tersebut juga sebagai salah satu upaya merespon Konferensi Beijing.

Tidak hanya itu, pada tahun 2000, Gus Dur juga menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PuG/Gender Mainstreaming). Dimana Inpres tersebut menjadi cikal bakal masuknya nafas kesetaraan dan keadilan gender dalam tiap kebijakan dan program pembangunan nasional yang ada di Indonesia. Pada masa beliau menjabat, program KB juga tidak hanya diarahkan kepada perempuan, tetapi mulai diarahkan juga pada laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah “mitra sejajar”, dapat saling bermusyawarah dan tidak mensubordinat antara satu dengan lainnya.

Membela Buruh Migran Indonesia

Pemikiran dan gagasan Gus Dur terhadap konsep adil gender, rupanya beliau terapkan juga dalam bidang migrasi ketenagakerjaan. Menyadari bahwa banyak sekali warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri demi mencari penghidupan yang layak, menjadikan Gus Dur sangat memahami perlindungan yang wajib di dapatkan oleh TKI/TKW Indonesia.

Ketika beliau menjabat, arus migrasi meningkat tajam, khususnya jumlah buruh migran perempuan Indonesia. Berdasarkan data Kemnakertrans RI 2011, saat itu terdapat 302.791 buruh perempuan dan 124.828 buruh laki-laki (1999), 297.273 buruh perempuan dan 137.949 buruh laki-laki (2000) dan 239.942 buruh perempuan dan 55.206 buruh laki-laki (2001).

Hal ini sungguh menghadirkan dilema, karena pada satu sisi membuat perempuan mampu meningkatkan taraf hidupnya, namun di sisi lain kekerasan terjadi pada buruh migran perempuan yang mayoritas bekerja di sektor domestik. Tentu kita masih ingat kasus kekerasan terhadap Nirmala Bonat (2004), Ceriyati (2007), Winfaidah, Siti Hajar (2009), Sumiati, Ruyati dan Wilfrida Soik, di mana mereka bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Negara tujuan pengiriman terbesar, yaitu Malaysia dan Arab Saudi.

Menghadapi kekerasan yang banyak terjadi, maka Gus Dur saat itu mengupayakan langkah soft diplomacy dan berbicara dengan Raja Arab Saudi untuk sama-sama berkomitmen melindungi dan juga memberikan ampunan pada buruh migran Indonesia yang terkena ancaman hukuman mati.

Tidak hanya itu, tercatat bahwa selama periode kepemimpinannya, ia mempertegas komitmen Kementerian Luar Negeri untuk memberi perlindungan yang optimal, dengan dikeluarkannya Keppres No.109 tahun 2001, yang melahirkan terbentuknya Direktorat baru di Kemlu, yaitu Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI).

Hingga kini, Direktorat ini menjadi satu-satunya Direktorat yang mempunyai peranan penting dalam tubuh Kemlu, guna mengupayakan perlindungan terhadap TKI/TKW, selain KBRI di Negara setempat. Juga, menjadi Direktorat yang menjalin kerjasama dengan sejumlah LSM yang memperjuangkan perlindungan buruh migran Indonesia, seperti Migrant CARE.

Bahkan, atas segala dedikasinya dalam memperjuangkan perlindungan terhadap buruh migran Indonesia, LSM Migrant CARE pun “memanggil” beliau sebagai Presiden Buruh Migran Indonesia. LSM ini mencatat bahwa pada tahun 1999, Gus Dur melakukan diplomasi untuk menyelamatkan Zaenab dari hukuman mati. Tahun 2005, Gus Dur menampung 81 orang buruh migran Indonesia (BMI/TKI) di asrama Pesantren Ciganjur dan melakukan upaya penyelesaian kasus buruh migran ilegal tersebut dengan mendatangi Perdana Mentri Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak.

“Perjumpaan” saya yang singkat tersebut dengan Gus Dur, membuat saya memahami betapa pemikiran Gus Dur melangkah jauh ke depan. Ia berpikir di luar kebiasaan, di saat tidak banyak orang terpikir untuk melakukan langkah-langkah yang bisa ditempuh, khususnya dalam hal kepemimpinan.

Sungguh, saya sangat mengagumi pemikiran beliau tentang keberadaan dan partisipasi perempuan, yang sejatinya harus menjadi mitra sejajar bagi laki-laki dalam dunia publik, bukan sekedar “pelengkap”.

Ada tiga hal konkret yang beliau lakukan dalam kaitan memberikan perlindungan dalam bidang ketenagakerjaan. Pertama, mendirikan SBSI (Serikat Buruh Seluruh Indonesia), serikat independen era ORBA, sebagai langkahnya dalam pembelaan terhadap aktifis buruh. Kedua, beliau mencabut UU No.25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang eksploitatif, anti serikat dan tidak ada proteksi terhadap tenaga kerja Indonesia. Ketiga, Gus Dur juga membuat Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.150 Tahun 2000 tentang pesangon untuk antisipasi dampak pemberhentian kerja pada buruh.

Ketiganya adalah bukti keberpihakan beliau pada perlindungan bidang ketenagakerjaan di Indonesia. Bukti, bahwa semua warga Negara Indonesia berhak mendapatkan perlakuan yang sama, tanpa tindakan diskriminatif. Semoga kita semua dapat mencontoh dan meneruskan perjuangan Gus Dur dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Lahu Al-Fatihah.

ANA SABHANA AZMY, Ketua IV Bidang Hubungan Luar Negeri Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama periode 2012-2015.