Oleh Nur Khalik Ridwan
Dalam cerita ke-5 saya menceritakan kisah Kiai Gunung di bagian timur Pulau Jawa. Pada cerita ke-6 kali ini saya bercerita tentang mereka yang mengalami ro’yu filmanâm, dari luar Jawa. Cerita dari luar Jawa dari cerita-cerita yang saya tulis tentang mereka yang mengalami ro’yu filmanâm ini, adalah cerita kedua, setelah yang pertama soal Gus Dur dan Dzikir surat al-Fatihah, yang berasal dari pulau luar Jawa bagian barat. Dan, kini dari luar Jawa, yang bagian wilayah baratnya pernah dikoyak oleh kekerasan etnis.
Saya mengenalnya waktu mahasiswa, sebagai seorang yang selalu ikut bersama para demonstran; dan ikut bersama kampanye PKB pertama di Bantul, dengan knalpot motor blombongannya, bersama laskarnya Cak Kowi. Cintanya kepada Gus Dur, dimulai bersama sahabat-sahabat yang ikut pergerakan; dan kemudian membeli buku-buku dan mengoleksi tulisan-tulisan Gus Dur, dan berdiskusi; kemudian di daerahnya ikut mengembangkan pemikiran Gus Dur dan berkhidmah di NU. Bahkan, kami satu angkatan dalam pengkaderan, dan bersama-sama di Parangtiritis pernah mengalami linglung dengan parade puisi kepada ombak-ombak yang berdebur tak berkesudahan.
Lama sekali tidak bertemu, 10-an tahun lebih. Dan, upaya untuk menemuinya, harus melewati pulau dengan pesawat, mobil, dan akhirnya speedboat. Itu pertemuan pertama, setelah 10-an tahun tidak bertemu, terdapat keharuan, diikat oleh satu kesamaan perjuangan hubbul waton minal iman, dan berkhidmah di lingkungan Nahdlatul Ulama. Dan, ketika pertemuan itu terjadi, sahabat kami ini, sudah duduk di jajaran Kiai Syuriyah di Jam'iyah NU wilayah; dan saya waktu itu masih di PP RMI NU.
Pada pertemuan pertama ini, kami mendiskusikan banyak hal tentang penetrasi gerakan Islam takfiri, lalu ketika sudah larut, mulai bercerita tentang Gus Dur. Kami bertukar pengalaman masing-masing, dan saya banyak mendengarkan. Kiai Syuriyah ini, sampailah pada kondisi menceritakan mimpinya tentang Gus Dur, dari sederet kerinduannya kepada Gus Dur. Mimpi ini sampai empat kali.
Mimpi pertama diceritakan begini:
“Ada seorang budayawan nasional terkenal yang tergopoh-gopoh menemuiku. Lalu serentetan intruksi dikucurkan bertubi-tubi tanpa sedetikpun kesempatan bagiku untuk sekedar bertanya. Komunikasinya monolog dan instruktif, seolah-olah kami telah saling kenal akrab satu sama lain selama ini. Anehnya, aku sendiri dalam mimpi itu tidak mempersoalkan itu. Jauh dalam sanubariku sudah ada sejenis pemahaman bahwa hal ini memang akan terjadi. Entah kenapa.”
Aku pun bertanya, setelah itu, budayawan itu kenapa, dan Kiai Syuriyah itu menjawab, bahwa Budayawan itu menginstruksikan begini dalam mimpinya:
“Sebentar lagi Gus Dur datang dengan rombongannya. Ndak usah repot-repot, yang penting ada nyamilan dan teles-telesan. Sembarang, kopi atau wedang jahe yang penting hangat-hangat panas…”
Setelah ada instruksi dari seorang budayawan nasional terkenal itu, katanya: “Aku ndomblong sebentar dan sesaat kemudian langsung ngacir sipat kuping menuju dapur. Semua penghuni rumah aku komando untuk cancut taliwondo mempersiapkan ubo rampe dan segala sesuatu yang diperlukan. Otomatis seisi rumah riuh dan mendadak kami telah menjadi panitia tiban, atas rawuhya Gus Dur, yang konon katanya tidak lama lagi.”
Kiai Suriyah meneruskan ceritanya begini: “Beberapa tokoh dan kyai kampung aku hubungi, jaringan anak muda, Pak Camat dan Pak Kades dengan seluruh perangkatnya tidak ketinggalan aku kabari, hingga beberapa waktu kemudian semuanya berjubel tidak rapi di dalam dan di luar rumahku. Saat itu aku merasa tidak dalam kapasitas untuk menyusun atau mengatur siapa yang boleh di dalam dan siapa yang harus di luar. Kesadaran diri menuntunku ke dapur, ikut sibuk mengurus jamuan bagi para tamu.”
“Ketika aku di dapur, sekonyong-konyong suasana berubah. Ada riuh gremengan seperti suara lebah kemudian menjadi lantunan shalawat yang nyendal jantungku. “Itu pasti Gus Dur,” gumamku. Semua pekerjaanku di dapur terhenti secara reflek. Nampan yang berisi minuman aku telantarkan begitu saja dan langsung lari ke depan. “Allohumma sholli 'alâ Sayyidinâ Muhammad”, aku teriak sekeras-kerasnya di tengah-tengah jubelan orang banyak. Tapi tak satupun suara keluar dari bibirku.”
“Di gawangan pintu pemisah antara ruang dalam dan ruang tamu aku terhenti. Sosok Gus Dur tampak jelas memasuki pelataran rumahku. Lututku menggigil, air mataku mengalir, seolah-olah belahan matahari baru saja dicelupkan ke dalam aliran darahku. Ada 9 orang yang menyertai Gus Dur. Satu di antaranya aku kenal betul sebagai budayawan nasional yang pernah aku baca puisi-puisinya. Tiga yang lain berbusana Kyai. Aku tidak mengenalnya, tapi hatiku merasa tidak asing dengan beliau bertiga. Selebihnya aku sama sekali tidak kenal, hanya saja 2 di antaranya berperawakan khas ala timur tengah.”
Karena ceritanya panjang, saya hanya mendengarkan, sementara tangan mengarahkan rokok ke mulutnya, lalu berkata lagi:
“Dikelilingi para tokoh lokal dan dipandu seorang budayawan nasional terkenal, para hadirin membentuk melodi obrolan yang sakral sekaligus gayeng. Aku tidak sepenuhnya mendengar apa yang mereka bicarakan kecuali tentang kode-kode tertentu yang lamat-lamat sempat aku curi dengar. Berkali-kali bapakku, memberi isyarat melalui mata dan tangannya agar aku terus melayani mereka. Tak ayal, aku harus mondar mandir ke depan ke belakang demi kelancaran suguhan, tanpa sempat menikmati dinamika komunikasi yang tengah berlangsung. Sesekali, sebagai cantrik aku menyempatkan diri mencucup tangan-tangan mereka pada saat menyuguhkan minuman. Ada kedamaian tersendiri yang menyusup ke dalam jantung. Pancuran-pancuran terbuka, sungai-sungai mengalir dan kesadaranku seperti dipenuhi nuansa laut yang tremendous dan agung.”
Kiai Syuriyah ini, mengakhiri ceritanya: “Aku masih meneteskan airmata ketika tiba-tiba majelis itu selesai. Semua orang berebut untuk salaman. Aku sendiri terjepit di antara banyak ketiak manusia dan kehilangan peluang bersalaman. Menyadari pagar betis manusia yang tidak mungkin aku tembus, maka jalur alternatif melalui pintu samping menjadi sasaranku berikutnya. Dan, Alhamdulillah, di pelataran rumahku akhirnya aku bisa menyalami Gus Dur, mencium tangan dan memeluk dengkulnya.”
Gus Dur berkata: “Ini siapa?” Beliau bertanya dan seketika lidahku tercekat. Aku tak mampu menyebutkan namaku sendiri.
Kiai Syuriyah menjawab: “Kulo santri Njenengan, Gus..”, dengan lirih.
Gus Dur terkekeh dengan tawanya yang khas dan berkata: “Hehehehehe… Ya seperti inilah orang Indonesia yang membumi…,” sambil semua orang yang hadir tersenyum dan memandangku utuh-utuh.”
Mimpi itu katanya terjadi menjelang shubuh. Dan ketika Gus Dur terkekeh dan bilang begitu, Kiai Syuriyah ini masih termangu mengiringi kepergian Gus Dur. Sejurus kemudian sayup-sayup adzan shubuh menyusup dalam kesadarannya.
Kata Kiai Syuriyah ini: “Seketika aku terbangun dan langsung sujud syukur. Seluruh emosi dan rindu berkumpul dalam lelehan airmata yang menggenang di lantai kamarku, hingga sawal-bantal yang basah kuyup tak sempat lagi aku rapikan.” Kyai Syuriyah ini pun merintih-rintih mengingat Gus Dur yang baru saja pergi.
Kiai yang masih terpaku dengan mimpinya itu, dikagetkan oleh pelukan halus sang istri dari belakang dan menepuk pundaknya, sambil berkata: “Ada apa ini, Abah?”
"Aku diam tak mampu menjawab, dan tak kuasa untuk bercerita. Hanya napas dan airmataku saja yang bicara. Istriku mengurut-urut punggungku hingga akhirnya aku mampu duduk dan bercerita.”
Lalu, kiai syuriyah pun berkata kepada istrinya: “Gus Dur barusan dari sini…”
Istri Sang Kyai menjawab: “Haa... milo? Kapan? Allôhumma sholli 'alâ Sayyidinâ Muhammad…” Istri Sang Kiai terperanjat, tak bisa menutupi kekagetannya.
“Barusan, dalam mimpiku…” Kemudian dengan terbata-bata Kyai Syuriyah menceritakan kronologinya. Istrinya khusyu’ mendengar sambil sesekali mengusap airmata. Jari-jarinya tak henti mengurut tanganku.
Istri Sang Kiai kemudian berucap: “Alhamdulillah.. mugo-mugo barokah, Abah...” Sang Istri Ialu memeluknya merasakan ombak yang masih berdebur di tepi laut dalam jantung Sang Kyai.
Lalu berkata lagi: “Ya sudah, sekarang kita sholat shubuh dulu, terus nanti kita kirim Fâtihah untuk Gus Dur…”
Aku kemudian menyela Kiai Syuriyah, di tengah malam yang terus larut itu: “Mimpi selanjutnya bagaimana kiai?”
Kiai Syuriyah menyadari keadaan malam yang larut, akhirnya merangkum mimpi-mimpi selanjutnya, katanya: “Mimpi yang kedua Gus Dur datang dan aku diberi wirid disuruh membaca Bismillah dan Surat al-Fatihah. Mimpi ketiga, bertemu Gus Dur dalam ruang Sholawatan bersama. Dan yang keempat, diperlihatkan/diajari untuk ikut merawat Nusantara dengan Gus Dur sebagai sumber inspirasi, dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat…”
Aku kemudian bertanya: “Wirid Fatihahnya berapa kali?”
Kiai Syuriyah menjawab: “Wirid ini kemudian saya konsultasikan kepada tokoh JATMAN, dan dipertegas agar membaca, 41 surat al-Fatihah, Bismillah 333 x; dan sholawat sebanyak-banyaknya, dengan tanpa melupakan istighfar.
Mimpi Kiai Syuriyah ini memberikan pelajaran, bahwa dalam rangka ikut merawat peradaban Nusantara ini, sebagaimana yang diajarkan Gus Dur melalui mimpi kepada Kiai Syuriyah ini, para santri harus membekali diri dengan wirid-wirid yang diistiqomahi; mengirim Fatihah kepada para guru; menghidupkan sholawatan dan terlibat dalam kegiatan sholawatan; dan tanpa melupakan terus menerus melakukan aktivitas keseharian untuk memberikan manfaat kepada orang lain, dan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mempertinggi mutu martabat agama dan manusia di Nusantara ini.
Wirid-wirid itu akan berbuah dua arah: untuk menempa diri agar matang secara pribadi, sehingga artikulasi-artikulasi publik yang dilakukan sebagai bagian dari pengabdian seseorang, tidak didasarkan pada keserakahan nafsu: akan membuahkan keikhlasan. Peradaban Nusantara ini memperlukan paku-paku kultural santri di lokal masing-masing daerah dari para mukhlisin; pada saat yang sama mengetahui teori-teori sosial dan kitab kuning sekaligus.
Aspek kedua, peradaban itu juga mengandung di dalamnya aspek batin, di mana wirid-wirid dan doa-doa itu akan ikut memperkuat jalinan peradaban Nusantara yang bermartabat dari sudut batin peradaban Nusantara dan mereka yang diamanahi oleh Alloh untuk menjaganya di alam batin.
Hal ini, mengingatkan pada pelajaran tasawuf bahwa Nusantara ini, tanah dengan segala bentuk percampuran unsurnya; air dengan segala bentuk unsur dan coraknya; pohon dengan segala jenisnya; hewan dengan segala bentuknya; dan angin dengan segala bentukanya di Nusantara ini, terdiri dari yang fisik dan batin; demikian juga penghuni-penghuninya.
Dengan demikian, tatanan peradaban Nusantara itu juga akan bermartabat manakala juga disentuh dari sudut tatanan batin ini. Maka, kalau seseorang santri istiqomah dzikir yang berguna untuk tazkiyatun nafs bagi dirinya, juga ada baiknya memasukkan dalam dzikirnya itu doa-doa, untuk bangsa Nusantara dan penghuninya ini agar dirahmati Allah, dengan berbagai bentuk bahasa masing-masing: jangan sampai ditinggal misalnya “Allôhumaslih lana umurona, wa umûrol muslimîn, wa Indonesianâ”; dan kalau dia seorang NU ditambah “wa jam'iyatana, wa warhamna jami'ân”.
Jadi, kesadaran bagi mereka yang ingin ikut merawat dan terlibat dalam membangun peradaban Nusantara agar menjadi lebih bermartabat, bagi seorang santri, juga harus diimbangi dengan kesadaran adanya level batin Nusantara. Ditambah dengan kesadaran dalam doa-doa mereka untuk kebaikan negeri ini. Wallahu a’lam.
Penulis adalah penggubah buku "Suluk Gus Dur: Bilik-bilik Spiritual sang Guru Bangsa" (Ar-Ruzz Media, 2013).