Opini HARDIKNAS

Guru Bukan Pedagang

Sel, 2 Mei 2017 | 11:24 WIB

A Muchlishon Rochmat

Setiap tanggal 2 Mei, sebagian besar guru bangsa Indonesia selalu merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hari dan tanggal peringatan tersebut disematkan dengan hari lahir salah seorang pahlawan Indonesia yang gigih dalam memperjuangkan pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara atau Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Dengan mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922 ia menghendaki pendidikan bagi seluruh rakyat jelata Indonesia, yang mana pada waktu itu pendidikan masih menjadi ‘milik’ Belanda. Hardiknas ditetapkan sesuai dengan Keppres Nomor 316 tahun 1959.

Perjuangan tanpa pamrih Ki Hadjar Dewanatara yang gigih dalam pendidikan tersebut haruslah menjadi suri tauladan bagi para guru-guru. Semangat yang dikorbankan adalah “Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso dan Tut wuri handayani”. Gagasan pikiran Ki Hadjar Dewantara tersebut menjadi semboyan pendidikan Indonesia. Ia menekankan bahwa tugas seorang guru bukan hanya di depan kelas saja, namun seorang guru juga harus memperhatikan kehidupan siswanya di setiap sisi kehidupannya.

Menjadi guru adalah sebuah pengabdian. Ada sebuah semboyan kalau “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”. Namun semboyan tersebut banyak dipertanyakan keabsahannya, karena tidak sedikit guru yang menjadi guru ‘hanya’ untuk mengais rezeki semata. Mereka memilih profesi guru karena dipandang lebih terhormat di masyarakat plus ingin mendapatkan keuntungan materi seperti tunjangan dari pemerintah. Memang, hal tersebut sah-sah saja karena sudah ada Undang-undang yang menjadikan guru sebagai sebuah profesi.

Kalau seorang pedagang menjual barang dagangannya untuk mendapatkan keuntungan, sementara guru ‘menjual’ ilmunya. Kalau pedagang menjajakan barang dagangannya kepada orang yang butuh, sementara guru menjajakan ‘barang dagangannya’ kepada siswanya. Ironis, citra “guru sama saja dengan pedagang” bukan hanya dari pihak luar yang memberinya label, namun juga dikukuhkan dengan tingkah laku guru itu sendiri.

Di dalam buku Pemikiran Kebijakan Pendidikan Kontemporer, Mudjia Rahardja, menyatakan bahwa seorang guru tidaklah sama dengan pedagang. Kalau di dalam dunia perdagangan pembeli adalah raja, maka hal tersebut tidak berlaku di dunia pendidikan. Kalau di dunia perdagangan concern-nya adalah profit oriented, maka di dunia pendidikan adalah membangun manusia cerdas dan bermartabat.

Juga seorang guru tidak hanya bertanggung jawab secara ilmu pengetahuan (kognitif) siswanya saja, tapi juga sikap (afektif) dan emosi (psikomotorik) peserta didiknya. Itu yang semestinya ditekankan kepada guru-guru agar tidak terjebak di dalam rimba kerancuan tersebut. Seorang guru harus memiliki sifat ikhlas sehingga materi dan nasihat yang diajarkan akan sampai pada sanubari peserta didiknya. Dan dewas ini sangat sulit mencari guru yang memiliki sifat keikhlasan yang tinggi, karena kebanyakan mengejarmaterial-oriented. Apalagi guru-guru di kota besar, meski itu tidak semua.

Menjadi guru harus berani tidak mendapatkan keuntungan materi, karena keuntungan terbesar seorang guru adalah ketika peserta didiknya mampu menjadi orang hebat, bahkan mengalahkan dirinya sendiri. Dan sifat ikhlas komponen terbesar untuk membentuk peserta didik yang hebat dan mantap. Kalau masuk ke dunia guru untuk berdagang, maka sampai seterusnya ia hanya mencari keuntungan diri. namun apabila masuk ke dunia guru dengan niatan pengabdian, maka akan lahir lah generasi-generasi yang hebat. Sekali lagi, guru bukan lah pedagang, yang menjajakan ilmunya kepada peserta didiknya.

Selamat Hari Pendidikan Nasional.

Penulis adalah Ketua Keluarga Mathali’ul Falah (KMF) Jakarta dan Sekitarnya