Opini

Governing The Nahdlatul Ulama (2)

Kamis, 21 November 2019 | 00:00 WIB

Governing The Nahdlatul Ulama (2)

Ilustras: Logo Nahdlatul Ulama

Oleh KH Yahya CHolil Staquf
 
Kewargaan dan Kuasa Kepemimpinan
Telah lama menjadi obsesi para aktivis dan pemeduli NU, bagaimana agar jamaah (komunitas) yang sedemikian kokoh eksistensinya dapat sungguh-sungguh ditransformasikan menjadi jam’iyyah (organisasi). “Menjam’iyyahkan jama’ah” adalah slogan yang digaungkan berpuluh-puluh tahun tapi tak kunjung menjadi kenyataan. Ketidakteraturan dan berseraknya kepingan-kepingan komunitas seolah merupakan watak bawaan sehingga segala gairah untuk mengatasinya senantiasa berujung keputusasaan.

Sebagian orang menuding langkanya keterampilan administrasi sebagai masalah dasar. Sebagian lain bahkan munuduh watak kultural pesantren sebagai biangnya. Tak seorang pun sampai pada jawaban tentang jalan keluar yang nyata, yang bisa dilaksanakan dan sungguh membawa ke arah tujuan. Ikhtiar bukannya sama sekali tak ada. Tapi sebagian besar bersifat coba-coba dan segera patah ketika menyadari, betapa hasil yang diharapkan begitu jauh dari gapaian.

Yang absen dari wacana pembangunan jam’iyyah justru dua asumsi yang paling mendasar, yaitu asumsi tentang seluk-beluk kewargaan dan asumsi tentang tujuan. Ketika orang mengangankan suatu organisasi NU yang mampu mengerahkan seluruh warganya untuk bergerak bersama, apakah seluk-beluk kewargaan NU memungkinkan bagi angan-angan itu untuk menjadi kenyataan? Lebih jauh, bergerak bersama untuk tujuan apa?

Telah dimaklumi bahwa NU tidak memiliki keanggotaan yang terdaftar. Bahkan, walau pun diwarnai dengan “rasa budaya” yang seragam, persepsi orang per orang tentang dasar kewargaan masing-masing bisa berbeda-beda. Dengan kata lain, kalau ditanyakan kepada setiap warga, atas dasar apa ia merasa menjadi warga NU, jawabannya pasti amat beragam. Ada yang karena keturunan, pertemanan, atau sekadar suatu momentum perjalanan hidup yang terjadi kebetulan.

Singkat kata, kewargaan NU adalah kesertaan yang teramat longgar. Orang dapat merasa menjadi warga tanpa harus punya urusan dengan pengurusnya. Bukan kebetulan bahwa, walau pun yang tertulis dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga adalah “anggota”, istilah “warga” justru lebih populer. Maka, idealisasi organisasi NU yang kepemimpinannya memunyai kuasa untuk mengendalikan setiap anggotanya hany-alah mimpi kosong belaka. Kuasa kepemimpian NU hanya sampai batas: mengarahkan.

Mengikuti rumus politik, kuasa itu seperti iman. Bisa bertambah bisa berkurang. Untuk mempertahankan efektivitasnya, diperlukan pemeliharaan yang berkesinambungan. Dalam hal ini, pemeliharaan itu diwujudkan dalam keterlibatan kepemimpinan sebagai subyek kuasa dalam vokasi dan advokasi kepentingan-kepentingan warga sebagai obyek. Dalam bahasa pesantren, ini adalah fungsi “ri’ayah”. Semakin intens keterlibatan kepemimpinan NU dalam dinamika kepentingan-kepentingan warga, akan semakin besar dukungan warga dan semakin kuat pengaruh kepemimpinan dalam mengarahkan warga.

Dengan struktur berlingkup nasional dan anggaran pengaruh berluasan nasional, koherensi (kepaduan) kepemimpinan adalah kunci. Sikap, arah, dan langkah dari keseluruhan struktur kepemimpinan, segenap tingkatan dan sektor, tak boleh berselisih. Dengan kata lain: kompak. Wujud kepemimpinan di setiap tingkatan tidak hanya mencerminkan aspirasi basis, tapi juga soliditas instrumen organisasi. Maka, kepentingan pengendalian oleh tingkat kepemimpinan yang lebih tinggi harus mendapat ruang dalam pembentukan formasi kepemimpinan di bawahnya.

Tentu saja, rumus macam itu belum cukup. Untuk membangun koherensi kepemimpinan yang optimal dibutuhkan strategi tersendiri pula.
 

Kepentingan dan Agenda
Ditanya tentang kegemaran beliau akan ziarah kubur, Gus Dur menjawab, “Karena ahli kubur tak lagi punya kepentingan”.

Itu sebabnya mereka, ahli kubur, tidak lagi berbuat apa-apa, tidak bergerak, tidak berikhtiar, dan tidak berorganisasi. Tapi segala sesuatu sebelum kubur adalah kepentingan. Tak terkecuali NU. Maka, pengertian hadapan (mafhum mukhalafah) dari penyataan di atas adalah bahwa, jika ada organ NU yang tidak bergerak, berarti ia berkepentingan untuk tidak bergerak atau tidak memahami kepentingannya.

Padahal, kepentingan adalah dasar utama dalam percaturan masyarakat. Kerjasama atau kompetisi, semua bergantung kepentingan. Ingat adagium yang terkenal sekali: “Tidak ada kawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan”.

Kepentingan terbit dari dua sumber, yaitu nilai-nilai dan kehendak untuk mendapatkan sumber-sumber daya. Jelas bahwa NU terikat pada ajaran Islam ala Ahlis Sunnah wal Jamaah. Itu adalah salah satu sumber kepentingannya. Di sisi lain, sebagai aktor percaturan duniawi, NU pun berkepentingan untuk memperoleh sumberdaya-sumberdaya, baik untuk dirinya sendiri atau pihak mana pun yang ia wakili.

Di bagian awal serial ini telah dibahas keharusan menyeimbangkan kepedulian (baca: kepentingan) yang menyangkut mazhab keagamaan dengan kepentingan (duniawi) kemasyarakatan. Dibahas pula keniscayaan untuk memperluas basis kepentingan keluar batas-batas kelompok sendiri. Banyak rumusan keputusan organisasi, termasuk AD/ART dan program hasil Muktamar, sebenarnya telah mencerminkan hal-hal tersebut. Masalahnya, pertama, rumusan-rumusan tersebut lebih banyak terserak dan tidak terkonsolidasikan dalam satu perspektif yang utuh. Kedua, belum ada penjabaran yang lebih rinci ke dalam langkah-langkah operasional. Ketiga, belum ada wawasan untuk memobilisasikan keseluruhan instrumen organisasi, termasuk jaringan kepengurusan hingga ke tingkat ranting, dalam strategi yang terkonsolidasi.

Masalah-masalah di atas menjadikan gestur NU tidak berkembang dari posisinya terkait masalah keagamaan saja. Semua orang cenderung melihat NU hanya relevan sebagai “kelompok toleran”, “penjaga NKRI”, “penghadang radikalisme”, dan sejenisnya. Berbagai pihak lantas merasa hanya perlu bekerja sama atau mendukung NU atas dasar kepentingan tersebut. Para donatur memberi sumbangan kepada NU dengan motivasi yang sama seperti orang menyumbang kelompok siskamling.

NU harus meningkatkan kapasitas khidmah (pengabdian) dengan mengembangkan wawasan tentang haluan organisasi yang mencakup masalah-masalah kemasyarakatan yang luas, seperti masalah sosial-ekonomi, budaya politik, lingkungan hidup, dan sebagainya, hingga keterlibatan yang lebih substansial dalam percaturan internasional. Dengan itu NU menetapkan kedudukannya dalam konstelasi kepentingan-kepentingan.

Selanjutnya, dikembangkan strategi yang terkonsolidasi, yakni langkah-langkah sistematis berupa rangkaian kegiatan atau agenda organisasi. Barang siapa memiliki kepentingan yang selaras dengan kepentingan NU dalam bidang-bidang yang relevan, dapat ikut serta dalam kerja sama pelaksanaan agenda-agenda tersebut.

Dengan demikian, pola hubungan antara NU dan berbagai pihak dapat dibangun di atas landasan yang lebih bermartabat. Bukan lagi antara penyokong yang murah hati dan penerima sumbangan yang penuh syukur, tapi antara pihak-pihak yang setara berdasarkan kepentingan yang sama menuju tujuan bersama. (bersambung…)
 
 
Penulis adalah Katib Aam PBNU 2015-2020.