Opini

Garis Dakwah Hadratussyekh Hasyim Asy’ari

Kam, 3 Agustus 2017 | 02:00 WIB

Oleh Mahbib Khoiron

Seseorang teman melempar pertanyaan, “Mengapa sebagian kalangan yang begitu semangat berseru kembali ke ajaran murni Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, begitu semangat pula menghujat dan menjatuhkan pihak yang berbeda pandangan dengannya? Apakah keterbukaan atas pluralitas pendapat yang diteladankan para kiai NU dulu mulai luntur? Kenapa menjadi demikian kasar?”

Saya diam sejenak, sembari mengingat-ingat isi kitab Irsyâdus Sâri karya Hadratusyekh Muhammad Hasyim Asy’ari yang pernah saya baca kala nyantri.

Bila kita membuka Muqaddimah al-Qanûn al-Asâsî li Jam‘iyyah Nahdlatil Ulama', akan kita temukan fakta menarik di bagian paling awal tulisannya yang mayoritas berisi kutipan ayat Al-Qur’an itu. Pertama kali Hadratussyekh mengutip Surat al-Ahzab ayat 45-46 yang menegaskan posisi Nabi Muhammad sebagai saksi, penyampai kabar gembira, pemberi peringatan, pendakwah, dan lentera yang menerangi. Ayat berikutnya yang beliau nukil adalah Surat an-Nahl ayat 125. Arti ayat tersebut kira-kira begini: “Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Pilihan ayat pertama dan kedua dalam preambul anggaran dasar NU itu menunjukkan pokok pikiran dan manhaj (cara) Hadratussyekh dalam berjuang. Di satu sisi ia meletakkan Rasulullah sebagai sentra seluruh ajaran Islam yang tak bisa ditawar-tawar. Tentu dengan konsekuensi mengimani Al-Qur’an sebagai wahyu yang Nabi terima serta konsisten mengikuti sunnah-sunnahnya. Namun di sisi lain Hadratussyekh juga mengingatkan tentang jalan dakwah yang bijaksana, berbasis argumentasi, lalu memasrahkan urusan hidayah kepada Allah.

Dakwah berakar kata dari da‘â-yad‘û-da‘watan yang berarti mengajak. Karenanya tidak sama dengan makna memerintah, melarang, apalagi memaksa. Dakwah mengandaikan pendekatan persuasif, memperhatikan psikologi masyarakat, mengakomodasi kearifan lokal (‘urf), dan ikhtiar penyadaran secara bertahap (tadrîjî). Itulah yang dilakukan Hadratussyekh ketika pertama kali merintis pesantren Tebuireng di wilayah Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, pada akhir abad ke-19. Dakwahnya yang bijak sukses menyulap daerah yang semula dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pelacuran, dan mabuk-mabukan itu menjadi kota santri seperti sekarang. Ketokohannya dibangun di atas dasar kepedulian dan empatinya yang amat besar kepada masyarakat. Dalam Muqaddimah al-Qanûn al-Asâsî, Hadratussyekh berujar, “Sungguh bersosialisasi, bergotong royong, bersatu, dan saling berbelas kasih adalah perkara yang tidak satu pun orang mengingkari manfaatnya.”

Hadratussyekh menyadari betul bahwa apa yang ia yakini tak selalu diyakini pula oleh orang lain. Di sinilah, sebagaimana tertuang dalam risalahnya al-Mawâ’idl, ia menyeru para ulama untuk menanggalkan fanatisme terhadap hal-hal yang tidak prinsipil (furû’). Acuannya pada dua jargon: setiap mujtahid adalah betul atau mujtahid yang betul hanya satu tapi mujtahid yang keliru tetap mendapat pahala.

Seruan Hadratussyeikh inilah yang menjadi karakter keberislaman mayoritas kiai NU. Silang pendapat dipahami sebagai kenyataan yang lumrah belaka dan tak harus berujung permusuhan. Mereka biasa adu hujjah habis-habisan dalam Bahtsul Masail namun akan kembali guyon di luar forum diskusi ilmiah itu. Dalam lingkup yang lebih luas, sikap ini melahirkan toleransi (tasamuh) terhadap pemeluk agama lain serta apresiasi terhadap tradisi atau kebudayaan yang berkembang di masyarakat sepanjang tak melanggar syariat.

Teladan tersebut juga kita temukan pada perilaku ulama generasi salaf. Kitab at-Tibyan karya Hadratussyekh mengungkap kisah dramatis Imam Syafi’i ketika berziarah ke makam Imam Abu Hanifah. Di lingkungan kuburan ulama bernama asli Nu’man bin Tsabit itu Imam Syaf’i menginap hingga tujuh hari. Yang aneh, selama di sana tiap kali Imam Syafi’i shalat shubuh, ia tidak membaca qunut. Tentu ini bertolak belakang dengan pendapat fikihnya. Kenapa? Kata Imam Syafi’i, “Karena Imam Abu Hanifah menolak kesunahan membaca qunut dalam shalat subuh. Saya tak membaca qunut sebagai bentuk penghormatan terhadap beliau.”

Dalam al-Mawâ‘idl, Hadratussyekh juga berseru, “Wahai ulama, apabila kalian tidak sepakat terhadap seseorang mengamalkan pendapat tertentu—meskipun lemah—dari salah satu imam madzhab mu’tabar, janganlah kalian berlaku kasar kepada mereka. Luruskanlah mereka dengan santun. Bila mereka tak mau mengikuti, jangan jadikan mereka musuh. Orang yang berbuat demikian (dakwah dengan cara memusuhi) ibarat membangun sebuah istana dengan menghancurkan lebih dahulu sebuah kota. Jangan jadikan perbedaan pendapat sebagai sebab perpecahan, pertentangan, dan pertengkaran. Sebab, itu merupakan pelanggaran hukum agama dan dosa besar yang sanggup meruntuhkan bangunan suatu bangsa, sehingga menutup pintu tiap kebaikan di depannya.” 

Imbauan Hadratussyekh tersebut mengungkapkan sikapnya yang jelas tentang pentingnya persatuan, tenggang rasa, dan cara-cara non-kekerasan dalam mengatasi perbedaan pandangan. Pidato itu disampaikannya saat kongres NU ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1935. Namun ternyata energinya menjalar ke hampir seluruh jantung ormas Islam yang kala itu secara umum dilanda perpecahan dan egoisme golongan. Padahal, bangsa di Tanah Air zaman itu sedang butuh kekuatan untuk melawan kolonialisme. Dari pidato Hadratussyekh, tergeraklah kesadaran untuk mengonsolidasikan diri di internal umat hingga terbentuklah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi dari beberapa ormas Islam, pada tanggal 21 September 1937 di Surabaya.

Dalam konteks ini penting dicatat bahwa Hadratussyekh memang toleran terhadap pluralitas keyakinan dan pendapat, namun bukan berarti lunak terhadap penjajahan. Justru karena didorong oleh semangat perdamaian dan keadilan, ia menentang segala bentuk penindasan. Bukti mencoloknya adalah fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang mewajibkan pria Muslim terlibat dalam “perang suci” melawan penjajah yang hendak mencengkeram kembali Indonesia. Atas dasar agama Hadratussyekh berdakwah secara damai, dan atas dasar agama pula ia berjuang membela kemerdekaan tanah airnya. Karena dalam kemerdekaan itu tersimpan masa depan tidak hanya generasi penerus tapi juga Islam itu sendiri.

Dengan demikian, setidaknya ada dua poin penting terkait penjelasan ini. Pertama, secara pemikiran Hadratusyaikh adalah pemegang teguh Ahlussunnah wal Jama’ah yang meyakini sistem bermadzhab dalam hal bertauhid, berfiqih, dan bertasawuf. Kedua, Hadratussyekh adalah figur pendakwah yang arif, moderat, toleran, yang memandang permusuhan lantaran perbedaan pendapat sebagai sumber kehancuran hidup bermasyarakat.

Lantas, mengapa sebagian kalangan begitu semangat berseru kembali ke ajaran murni Hadratussyekh Hasyim Asy’ari di saat yang sama semangat pula menghujat dan menjatuhkan pihak di luarnya? Jawabannya: mungkin karena ajaran Hadratussyekh terserap secara parsial. Barangkali kalangan tersebut terlalu fokus pada poin pertama, tapi melalaikan poin kedua. Mereka sibuk dengan “garis lurus” pada aspek fikrah (pemikiran) namun melupakan ajaran pada aspek dakwah dan harakah (gerakan). Wallâhu a‘lam bish shawâb.


* Penulis adalah alumni Madrasah Mu’allimin Islamiyah Pondok Pesantren Attanwir Bojonegoro.