Opini

Fenomena First Travel; Cermin Hilangnya Sikap Zuhud

Sab, 19 Agustus 2017 | 12:31 WIB

Oleh : Farid Farhan 

Islam menjadi agama yang mayoritas dianut oleh warga negara Indonesia. Hari ini, umat Islam dihadapkan pada sebuah adagium "Karena warga negara Indonesia mayoritas beragama Islam, maka terpidana korupsi pun paling banyak orang Islam". Sebagian kalangan, mungkin saja tertawa dengan adagium semacam ini. Saya sendiri lebih memilih menulis artikel ini sesudah mendengar candaan itu di sebuah warung kopi. 

Menjadi mayoritas memang seringkali melahirkan beban berat, selain harus menjadi teladan, tingkah polah kita selalu menjadi sorotan. Terakhir, fenomena penggelapan dana umrah calon jemaah oleh biro perjalanan First Travel seolah menampar kita selaku umat. Spirit keikhlasan para calon jemaah dinodai oleh pemilik biro perjalanan itu, yang konon dananya diinvestasikan dalam bentuk lain. Namun kabar lain yang santer terdengar, dana itu malah digunakan untuk berfoya-foya. 

Saya kira, dalam konteks ini, kita harus arif sejak dalam berpikir. Keafiran ini terlambang dari cara pandang kita, mari pisahkan antara syari'at dan keharusan agama yang lain dengan perilaku oknum umat beragama. Sebab kedua hal ini jelas memiliki perbedaan yang kentara. 

Secara ajaran misalnya, dalam Islam terhadap sebuah sikap mental yang sudah seharusnya dilaksanakan oleh seluruh umat bernama zuhud. Menurut Imam Ghazali dalam kitab Ihya 'Ulumuddin jilid IV : 211 (Penerbit : Karya Toha Putra, Semarang). Zuhud memiliki makna "ibaaratun 'an inshirafir raghbah 'anisy syai ilaa maa huwa khairun minhu" (sebuah kondisi tersingkirnya keinginan terhadap sesuatu, kepada sesuatu yang lain, yang lebih baik dari sesuatu yang diinginkan itu). 

Definisi yang dihadirkan oleh Imam Ghazali ini sebenarnya memberikan pembeda kepada kita selaku umat, tentang sesuatu yang menjadi kebutuhan dan sesuatu yang menjadi keinginan. Hal yang terakhir ini, jika terus menerus hati dan seluruh anggota badan kita tertunduk, taat kepadanya, maka pada saat yang sama, keinginan menjadi tuhan baru yang mengatur seluruh gerak perilaku kita sendiri. 

Adapun tempat bertumbuhnya keinginan itu adalah sesuatu bernama hawa nafsu. Secara terminologi, hawa memiliki makna sesuatu yang kosong. Sementara nafsu sejalan dengan napas, sesuatu yang tidak terlihat, tetapi dapat dirasakan. Karena hakikatnya kosong, maka, tidak pernah akan sampai pada derajat berisi, apalagi penuh. Karena ia tidak terlihat, maka, dikejar sampai kematian menjelang pun tidak akan pernah terkejar. 

Inilah hakikat kehidupan duniawi yang diwanti-wanti oleh para ulama sufi agar jangan terlalu diberikan prioritas. 

Namun tentu saja, bukan berarti Islam mengajarkan kepada umatnya agar hidup dalam keadaan miskin. Karena dalam Islam diwajibkan untuk berhaji, sunah seumur hidup sekali untuk umrah, berzakat, bersedekah, berinfaq yang seluruhnya membutuhkan bekal materi. Kondisi yang dilarang ,ada dalam hati umat Islam yakni keterikatan hati oleh materi tersebut sehingga mencegah amal-amal yang tadi disebutkan. Inilah zuhud itu sendiri. 

Kehilangan sikap zuhud akan menjadikan manusia selalu berada dalam perasaan serba kekurangan di tengah aneka kelebihan yang dia miliki. Akibatnya, ia selalu ingin menambah jumlah materi, lagi dan lagi tanpa memikirkan kembali sumber materi tersebut diperoleh dengan cara halal atau haram. Korupsi, hanya salah satu akibat dari kehilangan sikap zuhud ini. 

Padahal, sahabat Rasulullah SAW, Salman al-Farisi dalam sebuah riwayat yang dikutip oleh Imam Ghazali dalam kitab Minhaajul 'Aabidiin jilid I : 193 mengatakan "Innal 'abda idzaa zahida fid dunya istanaara qalbuhu bil hikmah, wa ta'awanat a'dhaahu fil 'ibaadah" (sesungguhnya, ketika seorang hamba bersikap zuhud dalam dunia, maka hatinya akan tersinari oleh hikmah dan seluruh anggota tubuhnya akan ditolong dalam melakukan ibadah). 

Penjelasan terhadap ucapan Salman al-Farisi ini kemudian disampaikan oleh Syaikh Ihsan al Kediri. Salah satu ulama Nusantara ini menyebutkan bahwa berbekal sikap zuhud, seseorang akan mendapat hikmah berupa ilmu yang bermanfaat, pengetahuan yang melahirkan amal dan rasa mawas diri terhadap hukum-hukum Allah. Tentu saja, diantaranya adalah keharaman mencuri (baca : korupsi). 

Bahkan, penjelasan yang ia sampaikan dalam kitab Siraajuth Thalibin jilid I, syarah terhadap kitab Minhaajul 'Aabidiin karya Imam Ghazali diatas itu menyebutkan tidak akan pernah "kaya" seorang ahli ibadah dan seorang yang bahkan 'aarif billah (mengenal Allah), jika sikap mentalnya tidak dihiasi dengan zuhud. 

Penjelasan ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa, terjatuhnya siapapun dalam dosa (ketiadaan sikap zuhud) tidaklah pandang bulu. Orang arif sekalipun dimungkinkan untuk terjerembab. Hemat saya, ini karena ketiadaan sifat ma'shum (terpelihara dari dosa) atas individu selain Nabi dan Rasul. 

Maka, tidak perlu merasa aneh dan melakukan hujatan saat kita menemukan fenomena seperti kasus First Travel, korupsi pengadaan mushaf Al-Qur'an, Korupsi Dana Haji yang tempo hari mengemuka, bahkan soal chat mesum via layanan pesan singkat, yang pelakunya diduga adalah mereka yang kita anggap paham tentang syariat agama.

Lantas pantaskah berlindung dibalik garis ma'shum dan tidak ma'shum itu? Tentu saja tidak. Sebab sebagai mukallaf (pribadi yang terikat oleh syariat) melalui kriteria yang sudah disampaikan oleh para ulama ushuludin yakni "kullu baalighin 'aaqilin balaghathu da'wah (setiap orang yang sudah baligh dan berakal dan telah sampai padanya seruan Islam), tidak boleh lagi seorang muslim berlindung dibalik takdir Tuhan saat melakukan sebuah kesalahan (dosa). 

Kepada para mukallaf itu sudah berlaku atas mereka hukum wajib, haram, sunnah, makruh, mubah, fasid dan shahih. Juga, kepada para mukallaf ini pula berlaku atasnya hukum negara. Wallahu muwwafiq !!!!.