Opini

FDS dan Bungkus Penguatan Pendidikan Karakter

NU Online  ·  Selasa, 4 Juli 2017 | 06:00 WIB

Oleh Ruchman Basori

Polemik Full Day School (FDS) melalui kebijakan Lima Hari Sekolah (5HS) terus berlanjut. Masyarakat semakin kecewa dengan ngototnya Mendikbud Muhadjir Effendy atas kebijakannya itu. Sepintar-pintar Mendikbud Muhadjir Effendy membungkus 5HS atau FDS, masyarakat akan dengan jeli melihatnya hanya sebuah kedok untuk memperkuat pendidikan karakter. Bahkan lebih dari itu merupakan upaya sekularisasi pendidikan di Indonesia.

Fakta bahwa pendidikan karakter hanya sebagai alasan atau layaknya bungkus, dapat dibaca kenekatan kalangan Kemdikbud yang tetap akan menjalankan kebijakan 5HS pada tahun ajaran baru yang dimulai pada tanggal 17 Juli 2017 mendatang. Alih-alih membatalkan kebijakan 5HS yang tertuang dalam Permendikbud 23 Tahun 2017 tersebut malah akan ditingkatkan lagi menjadi Peraturan Presiden.

Di berbagai tempat dan kesempatan, Menteri Muhadjir mengatakan bahwa kebijakan 5HS yang didasarkan pada Permendikbud 23/2017 adalah untuk penguatan pendidikan karakter anak bangsa. Padahal hasil penulusuran penulis, dari 11 pasal dalam Permen itu tidak ada yang secara spesifik membahas tentang pendidkan karakter. Pasal demi pasal membahas tentang pemenuhan beban kerja guru. Tapi anehnya Permendikbud itu yang selalu dijadikan argumen untuk penguatan pendidikan karakter.

Pertanyaannya, apakah produk Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT), Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) dan Pondok Pesantren yang selama ini menjadi gawang pendidikan karakter bangsa ini kurang hebat dengan pendidikan karakter yang ada di sekolah? Bukankah masyarakat Islam itu sudah dengan legowo menyempurnakan pendidikan agama dan karakter yang selama ini sangat kurang pada sekolah yang hanya dua jam seminggu? 

Sekularisasi pendidikan

Secara substantif kebijakan 5HS atau FDS yang ditolak oleh masyarakat tidak mencerminkan ikhtiar serius Kemdikbud untuk penguatan pendidikan karakter. Malah sebaliknya peran masyarakat yang telah berpartisipasi ikut memperkuat karakter, moral dan akhlak selama ini malah dinihilkan.

Melalui MDT, TPQ dan Pondok Pesantren, masyarakat selama ini telah menanamkan saham yang tak ternilai harganya untuk tumbuh dan berkembangnya masyarakat yang religius, berkarakter serta loyal terhadap bangsa dan negaranya. Negara nyaris tidak mengeluarkan dana yang sebanding dengan output yang dihasilkan lembaga pendidikan keagamaan Islam itu. Karena mereka lahir, tumbuh dari oleh dan untuk masyarakat secara mandiri.

Kementerian Agama dengan keterbatasan anggaran yang ada telah memfasilitasi bagi pengembangan pendidikan keagamaan Islam dan diikuti dengan sejumlah regulasi. Terutama saat ini ketika dipimpin oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.

Kalau demikian agaknya ada agenda terselubung dari orang-orang tertentu di balik kebijakan FDS. Lebih tepatnya ingin memisahkan antara pendidikan nasional dengan agama. Peserta didik lambat laun tidak akan dikenalkan agama dengan baik tergantikan dengan pendidikan karakter yang belum jelas wujudnya. Dengan kata lain akan terjadi sekularisasi pendidikan di negara kita. 

Adalah Peter L. Berger mendefinisikan sekularisasi adalah sebuah proses di mana sektor-sektor dalam masyarakat dan kebudayaan dipisahkan dari dominasi institusi dan simbol-simbol religius. Berger menegaskan sekularisasi merupakan fenomena global masyarakat modern.

Pada waktu itu akibat dominasi gereja maka di belahan bumi Eropa terhadap pandangan ingin memisahkan antara agama di satu sisi dengan urusan dunia di sisi lainnya. Namun penulis kira beda dengan di Indonesia. Di mana agama telah menjadi dasar fundamental, sumber nilai dan inspirasi untuk berpikir, bersikap dan berperilaku dalam hampir di semua sektor pendidikan. 

Amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan produk-produk turunannya sudah sangat jelas mengatakan bahwa pendidikan nasional sangat religius. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 misalnya dengan jelas menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Memisahkan pendidikan nasional dengan dasar religius, tidak saja akan mengkhianati cita-cita para pendiri bangsa (founding fathers) ini, tetapi juga pengkhianatan terhadap amanat undang-undang. Selain dari itu pengabaian atas hak-hak kemanusiaan sebagai bangsa yang beragama. Jangan semua urusan hajat bangsa ini akan ditangani oleh pemerintah, namun harus mampu berbagi dengan baik dengan rakyat sebagai model pembangunan yang berbasis partisipatif.

Bukan sentimen organisasi, tapi kepentingan anak bangsa

Penolakan atau bahasa halusnya peninjauan kembali atas kebijakan lima hari sekolah (5HS) atau FDS akan terus digelorakan oleh kalangan masyarakat terutama yang terkena dampak langsung yaitu MDT, TPQ dan Pondok Pesantren. Ini bukan masalah konflik Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sebagai dua organisasi besar yang selama ini menjadi rujukan penting pendidikan Islam. Tapi ini masalah fundamental dasar-dasar pendidikan bangsa ini.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan harus jujur, kalau ikhtiarnya memperkuat pendidikan karakter, tidak harus dengan kebijakan Lima Hari Sekolah. Namun dengan mengoptimalkan pendidikan nasional yang berbasis karakter dan kecakapan hidup sebagaimana inti dari Kurikulum 2013 (K13).

Kenapa misalkan tidak dengan cara menambah jam pelajaran Pendidikan Agama yang hanya dua jam seminggu. Itu jauh lebih realistis dan pasti akan didukung oleh masyarakat. Tuntutan agar pemerintah menambah jam pelajaran agama sudah lama disuarakan, namun pemerintah tetap kekeh sampai hari ini. Dengan tambahan jam pelajaran agama, tidak saja akan menambah porsi yang cukup bagi pengembangan karakter peserta didik, namun juga pendidikan agama akan semakin mendapat porsi yang semestinya. Masyarakat mulai lega dengan penambahan jam pendidikan Agama di K13 namun Dikbud pada masa Anis Baswedan malah meninjau ulang pemberlakuannya dan berlanjut sampai hari ini. 

Masalah moral, karakter dan akhlak erat kaitannya dengan keteladanan (uswah hasanah). Mestinya pemerintah melalui Kemdikbud, Kemenag dan Ristek Dikti mampu mencetak guru dan calon guru yang mampu menjadi tauladan bagi peserta didiknya, tidak saja di sekolah namun juga di masyarakat. Tak kalah pentingnya adalah profil para pemimpin dan tokoh negeri ini harus menjadi contoh (modelling) bagi anak-anak bangsa yang kini sedang tumbuh besar menyambut Indonesia yang lebih baik.

Hal lainnya yang tak kalah penting adalah revitalisasi kurikulum pendidikan nasional. Seluruh mata pelajaran harus diarahkan pada penciptaan peserta didik yang mempunyai keluhuran budi dan kemualiaan akhlak. Belajar Bahasa, Matematika dan Teknologi tidak melulu pemindahan pengetahuan dan ketrampilan (transfer of knowledge) namun juga pemindahan nilai (transfer of value). Agaknya cita-cita ini sejalan dengan konsep K13 sebagai kurikulum yang terintegrasi (integrated curriculum).

Terakhir agar pendidikan karakter tidak sekadar 5HS maka penciptaan suasana dan kultur sekolah perlu diciptakan. Guru yang menjadi teladan, peserta didik yang mempunyai semangat belajar, perpustakaan yang mendukung, kepemimpinan sekolah yang berpihak pada perubahan serta masyarakat yang mencintai sekolah dapat terejawantahkan dengan baik.

Sekali lagi pendidikan karakter bukan Lima Hari Sekolah tetapi ikhtiar serius membenahi pendidikan nasional. Tujuan berdimensi jauh ke depan menciptakan para pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya. Mengerti masalah dan tahu bagaimana mengatasinya. Rakyat kita makin cerdas maka susunlah kebijakan yang cerdas pula dan berpihak kepada masyarakat bukan malah mengebiri kepentingan-kepentingannya. Wallahu a'lam bisshowab.

Penulis adalah Ketua Bidang Organisasi Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah dan Ketua Bidang Kaderisasi Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor.