Opini M ULINNUHA HUSNAN*

Fatin dan Gaya Baru Islam Indonesia

Kam, 30 Mei 2013 | 06:01 WIB

Kemenangan Fatin Shidqia diajang X-Factor Indonesia I membuka mata dunia. Selain suaranya yang merdu dan –meminjam istilah Syahrini- “cetar membahana”, performa dan penampilan Fatin juga menjadi faktor penentu kemenangannya. Ia mempertahankan jilbabnya di tengah kompetisi tarik suara yang menampilkan kultur pop Barat tanpa kehilangan jati dirinya sebagai muslimah.
<>Inilah yang disebut oleh Bambang Pranowo sebagai ekspresi inklusivitas kultural Islam, sehingga melalui Fatin, Islam mampu menembus sekat-sekat yang memisahkan budaya Islam dan Barat.

Karenanya, umat Islam harus selalu optimistis dengan dinamika kultural yang terus berubah. Jika saat ini panggung peradaban sedang dikuasai Barat, kata Kuntowijoyo, percayalah pada masa depan panggung itu akan kembali dikuasai Timur. Yang dimaksud Timur oleh Kunto adalah Indonesia dengan kultur Islamnya yang unik yang merupakan blend dari berbagai kultur di dunia, dari Timur Tengah, Eropa, Hindustan, China, Jawa, dan kultur-kultur lokal lainnya. Itulah ”X-Islam Factor Indonesia”, Islam masa depan, yang dianggit Bambang Pranowo.

Masih menurut Bambang, Fatin sudah memulai langkah pertamanya. Gadis berjilbab itu berhasil menyanyikan lagu "Grenade"nya Bruno Mars dengan apik, juga lagu "Stay" milik Rihanna dengan gaya yang unik. Fatin sangat unik karena dia memakai busana religius yang tak pernah dipakai penyanyi mana pun di ajang kompetisi dunia selevel X Factor. Fenomena Fatin adalah bukti kecil betapa agama, termasuk Islam, tidak dapat hanya dipahami dari sisi teks semata tapi, meminjam istilah Nasr Hamid Abu Zaid, agama adalah hasil dari jadaliyat al-nash wa al-wâqi’ wa al-insân (dialektika antara teks, konteks dan manusia). Tanpa tiga variable ini agama tidak akan pernah eksis di dunia.

Dialektika ini akan terus berkelindan sehingga memunculkan ekspresi keberagamaan yang unik dan khas. Maka muncullah “model” keberagamaan Arab Saudi, Mesir, Iran, India, Pakistan, Indonesia dan lainnya. Karena agama tidak dapat dipisahkan dari teks, konteks (budaya) dan manusia, maka tak berlebihan bila Nasr misalnya, menyimpulkan bahwa agama di satu sisi adalah muntaj tsaqâfî (produk budaya) tapi di sisi lain ia adalah muntij tsaqâfî (produsen budaya).

Kemenangan Fatin dalam ajang X-Factor kemaren membuka mata dunia betapa Islam Indonesia (Nusantara) adalah Islam yang sangat unik. Ia mampu mendialogkan teks dan budaya modernitas secara arif. Dialog itu terjadi misalnya, ketika Fatin menyanyikan lagu "Stay"-nya Rihanna dengan gaya yang khas. Jika Rihanna menyanyikannya dengan gaya pop plus busana minimnya yang seksi dan sensual, maka Fatin menyanyikannya dengan gaya pop plus busana muslimahnya yang anggun dan elegan. Barangkali itulah yang menyebabkan George Levendis -sahabat Simon Cowell, pendiri ajang X-Factor- melalui akun Facebook dan Twitter-nya menulis: “Fatin making an impact in XF Indonesia!”.

Jauh sebelum Fatin, Wali Songo juga mampu menampilkan Islam yang khas di Jawa. Sunan Bonang misalnya menciptakan tembang “Ilir-Ilir” dan “Tombo Ati” yang sangat etnik. Kedua tembang ini sejak dulu menjadi “lagu wajib” untuk menunggu kedatangan imam salat waktu maghrib, isya’, dan subuh. Tak heran bila Islamisasi Jawa cukup sulit dipahami ilmuan Barat, semisal Clifford Geertz dengan “Religion of Java”-nya, atau Mark R Woodward dengan “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Jogyakarta”-nya. Bahkan ilmuan Indonesia sendiri, sekaliber Azumardi Azra misalnya, juga belum mampu memotret Islamisasi Jawa secara tepat. Lihat tulisan “Islamisasi Jawa”-nya Azra yang dimuat Harian Republika (25/10/2012 & 1/11/2012).

Fenomena Fatin inilah yang penulis sebut dengan Gaya Baru Islam Indonesia; Islam yang arif, dialogis, dialektik dan menghargai modernitas tanpa harus tercerabut dari jati dirinya. Fenomena Fatin itu juga bukti bahwa generasi baru Islam Indonesia tidak tunduk pada batasan-batasan kultural yang oleh Samuel P Huntington diramalkan akan mengalami benturan (clash civilization). Generasi baru Islam itu akan mampu menembus tembok kultural yang dianggitnya dengan tetap berpegang pada prinsip dan jati diri Islam yang khas Nusantara.

 

* Dosen; Asdir PPM Islam Nusantara STAINU Jakarta