Oleh Nanang Qosim
Sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Abdul-Matin dalam Greendeen: What Islam Teaches about Protecting the Planet (terjemahan, Zaman, 2012), Islam adalah agama komprehensif (kaffah) yang sangat mendetail dalam menggambarkan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan. Bagi Ibrahim, seorang Muslim sejati harusnya seorang Muslim hijau yang mengamalkan Agama Hijau. Yaitu, penganut agama Islam yang sangat peduli atas isu-isu lingkungan seraya mengintegrasikan keimanannya dengan upaya penjagaan bumi ini.
Seturut hal demikian, Islam kemudian menggariskan enam prinsip utama sikap teologis terhadap perawatan lingkungan. Pertama, prinsip memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya alias tauhid. Prinsip Agama Hijau ini menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Konsekuensinya, manusia dan alam pada hakikatnya adalah satu dan tidak terpisahkan.
Kedua, melihat tanda-tanda kebesaran Tuhan (ayat) di mana saja. Singkat kata, prinsip alam sebagai tanda (ayat). Maknanya, alam ini tersedia bagi manusia untuk dijadikan pelajaran dan bahan renungan alih-alih sekadar obyek untuk dieksploitasi. Mempelajari alam adalah sarana bagi kita untuk mensyukuri keindahan anugerah Tuhan.
Ketiga, prinsip menjadi penjaga (khalifah) di bumi. Ketimbang sebagai penguasa alam semesta, manusia sebenarnya hanyalah wakil Allah (khalifatullah) yang sekadar mendapatkan mandat untuk memanfaatkan lingkungan dengan cara bijaksana.
Keempat, amanah atau kepercayaan untuk memegang hak perwalian (trust). Terkait erat dengan prinsip khalifah, konsep amanah meniscayakan manusia untuk memanfaatkan kepercayaan Tuhan dengan cara menjaga planet ini sebaik-baiknya.
Merujuk lebih jauh pada pendapat Ziauddin Sardar dalam Reading the Qur‘an (2012) yang mengaitkan prinsip ayat dan khalifah di atas, maka khalifa sebagai pemegang hak perwalian tidak memiliki hak eksklusif atas apa pun. Sebaliknya, fungsi pemegang hak perwalian hanyalah melaksanakan tanggung jawab mereka secara benar dan memastikan aset perwalian bertahan dan berkembang.
Jadi, sebagai pemegang hak perwalian atas bumi dari Tuhan, manusia memiliki tanggung jawab individual dan kolektif untuk mempertahankan keseimbangan alam, melestarikan lingkungan lengkap dengan segala flora-faunanya, dan memperlakukan ciptaan Tuhan dengan rasa hormat yang pantas.
Kelima, prinsip memperjuangkan keadilan (‘adl). Berpijak pada asas ini, manusia selayaknya memperlakukan alam dengan cara yang adil. Yakni, menerima peran manusia sebagai pelindung planet ini dari berbagai tindakan merusak dan merugikan. Juga, dari tindakan eksploitatif semata yang hanya ingin memuaskan nafsu ekonomi dan laba manusia.
Keenam, prinsip keseimbangan (mizan). Maksudnya, manusia harus memanfaatkan alam yang hak perwaliannya sudah diamanatkan Tuhan kepada mereka itu secara rasional. Manusia tidak boleh mengeduk habis alam semaunya tanpa proses pembaruan kembali (renewable). Tidak menghiraukan prinsip keseimbangan ini sama dengan mengundang kerusakan alam yang bisa berbahaya bagi manusia.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas yang seyogianya dipatuhi oleh umat muslim hijau di mana pun, kita bisa melihat betapa segala kerusakan lingkungan--termasuk di Indonesia--berpangkal pada satu hal: nafsu liar manusia mengeksploitasi bumi tanpa melakukan tindakan timbal-balik patut bagi alam untuk memulihkan dirinya.
Lebih lugas lagi, aspek hulu dari masalah lingkungan adalah penerapan kapitalisme neoliberal yang sangat memberhalakan laba dan mencaplok segala sektor--termasuk sektor publik seperti: pertambangan, air, energi dan sebagainya--demi memanjakan kepentingan segelintir elit pemilik modal (kapital).
Juga, bentuk kapitalisme yang mendewakan rasionalitas manusia sehingga manusia memiliki posisi berjarak dengan alam. Yaitu, manusia menjadi penguasa bumi (subyek) yang bisa merudapaksa alam (obyek) secara sewenang-wenang. Singkat kata, kapitalisme neoliberal adalah penyimpangan telak dari tauhid sebagai prinsip utama teologi hijau.
Ini jelas berlaku di Indonesia. Buktinya, penurunan kualitas lingkungan di Indonesia terjadi karena kian menggilanya eksploitasi sumber daya alam di era otonomi daerah. Sebab, pemerintah daerah atas nama peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kerap membabibuta mengeluarkan izin pengelolaan sumber daya alam secara mudah bagi kaum pengusaha tanpa mempertimbangkan secara cermat dampak lingkungan. Belum lagi jika oknum para pejabat daerah berkongkalikongdengan oknum pengusaha hitam demi mengangkangi sumber daya alam daerah untuk kepuasan duniawi mereka sendiri.
Maka, guna memperbaiki tanah air tempat kita tinggal, bangsa Indonesia seyogianya mengamalkan kembali prinsip-prinsip teologi hijau. Apalagi, keenam prinsip itu sebenarnya sudah termaktub dalam pasal 33 ayat 4 UUD 1945 kita yang berbunyi: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Penulis adalah kolumnis dan peneliti, pengurus Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU Semarang