Opini

Eksklusivisme Pemikiran sebagai Benih Ekstremisme

Ahad, 24 November 2019 | 14:30 WIB

Eksklusivisme Pemikiran sebagai Benih Ekstremisme

(Ilustrasi: via LinkedIn)

Oleh Muhammad Syamsudin

 

Sejauh ini, para pakar terorisme memahami bahwa akar dari radikalisme adalah pemahaman tertutup (eksklusivisme) terhadap beberapa teks-teks keagamaan. Ciri dari kelompok ini biasanya adalah ketidakmauan untuk mendengar pendapat orang lain yang mungkin memiliki pemahaman berbeda.

 

Sejak lama, Imam al-Ghazali mengingatkan akan bahaya dari model pemahaman ini. Beliau menyampaikan bahwa paham tertutup muncul akibat kekaguman seorang individu dengan pendapatnya sendiri yang sebenarnya salah (al-ujb bi al-ra’yi al-khatha). Model pemahaman seperti ini pula yang menyebabkan umat-umat terdahulu terpecah-pecah menjadi beberapa golongan. Allah SWT di dalam Surat Al-Kahfi [18] ayat 104 secara tersirat menggambarkannya:

 

اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا

 

Artinya, “(Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al-Kahfi [18] : 104)

 

Tidak ada solusi lain untuk mengatasi model pemahaman keagamaan seperti ini, melainkan dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, disertai mengadopsi pendapat ulama terdahulu dan secara rutin menghadiri majelis-majelis kajian yang diampu oleh para ahli ilmu yang kompeten.

 

Terkadang pemahaman tertutup lahir juga akibat dari pola pandang, bahwa jika tidak berdasarkan Al-Qur’an dan al-Hadist, maka tidak diterima. Padahal, para ulama hadir dan menuliskan karya mereka adalah juga berangkat dari cantolan hukum berupa Al-Qur’an dan al-Hadits. Aktivitas ulama ini disebut dengan istilah istinbath, yaitu suatu proses pengambilan hukum dengan berangkat dari dalil asal berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hasil dari istinbath ini kemudian hadir dalam bentuk produk ijtihad, yang kemudian kita kenal sebagai ilmu fiqih. Sesuai dengan namanya yaitu fiqih, maka hukum yang muncul adalah hasil dari pemahaman, dan bukan semata berupa tulisan lepas atau perkataan semata yang tidak berdasar. Al-Syathibi membagi pola istinbath para ulama ini menjadi tiga, yaitu:

 

  1. Takhrijul al-ashli mina al-ashl, yaitu mengeluarkan dalil asal dari sumber pokok (Al-Qur’an dan al-Hadits). Sebuah contoh misalnya adalah hukum asal semua mu’amalah adalah boleh kecuali ada dalil yang menunjukkan larangannya. Itulah sebabnya, maka riba hukumnya adalah haram disebabkan karena dalil Al-Qur’an menyebut secara jelas akan poin larangan tersebut.

 

  1. Takhriju al-furu’ mina al-ashli, yaitu proses mengeluarkan hukum cabang dengan berpedoman pada dalil asal. Misalnya, bunga bank. Bunga bank adalah masalah furu’, disebabkan karena ia adalah masalah baru dan tidak pernah ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, jika ingin mengetahui hukumnya secara detail, maka dibutuhkan penelitian terhadap konsepsi bunga itu seperti apa, kemudian disesuaikan dengan qaidah yang sudah disepakati tentang riba. Jika benar menunjukkan ciri sebagaimana riba, maka bunga bank diputus sebagai riba. Namun, jika tidak menunjukkan ciri sebagai riba, maka tidak boleh memaksakan diri menghukumi bunga bank sebagai riba. Ini adalah kunci memahami teks.

 

  1. Takhriju al-furu’ mina al-furu’, yaitu proses menghadirkan hukum cabang, dengan berbekal pemahaman terhadap dalil cabang yang sudah disepakati oleh ulama terdahulu dan terbukukan dengan lengkap. Terbukukan ini juga merupakan kunci, karena jika tidak, maka semua pendapat mengenai hukum terbaru hanya akan berbekal qila wa qala (debat tidak ada ujungnya dan tidak ada standart yang dipergunakan). Istilah qila wa qala ini merupakan bagian yang dilarang oleh Nabi shallahu ‘alaihi wasallam. Praktik dari penggalian hukum semacam ini adalah kita perlu membuka kitab-kitab fiqih yang sudah dikodifikasikan (tadwin) oleh para ulama.

 

Tanpa melalui ketiga proses sebagaimana di atas, yang muncul ke permukaan adalah lahirnya generasi yang hanya bermodalkan semangat yang menggebu-gebu dalam beragama, namun tidak terdidik oleh pemahaman ulama sebelumnya yang sudah terkodifikasi. Akibatnya mereka menjadi sosok yang tekstualis dalam memahami nash. Yang bahaya kemudian adalah mengarahkan nash mengikuti seruan kepentingan dan hawa nafsu. Kita ambil contoh misalnya pemahaman Sayyid Quthub, yang berpendapat :

 

إن وجود هذا الدين هو وجود حاكمية الله . فإذا انتفى هذا الأصل انتفى وجود هذا الدين

 

Artinya, "Sesungguhnya eksistensi agama ini bergantung pada adanya hâkimiyyah (tegaknya konstitusi Islam secara formal). Ketika asal ini hilang, maka hilang pula eksistensi agama." (Sayyid Quthb, Fi Zhilāl al-Qur'an, (Kairo: Dãr al-Syurüq, 1412 H), jilid 3, halaman 12)

 

Secara tidak langsung, berdasarkan teks ini, Sayyid Quthub sudah menetapkan bahwa hakimiyyah adalah Islam itu sendiri. Ini adalah sebuah kesalahan yang fatal dalam konteks ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Inti dari hakimiyyah itu sendiri sebagaimana yang disampaikan dia dalam kitab tafsirnya Fi Dzilali Al-Qur’an sebagai berikut:

 

إنما المؤمنون الذين إذا ذكر اللّه وجلت قلوبهم فأدوا فرائضه . وإذا تليت عليهم آياته زادتهم إيماناً يقول:زادتهم تصديقاً ، وعلى ربهم يتوكلون يقول:لا يرجون غيره وسنرى من طبيعة هذه الصفات أنه لا يمكن أن يقوم بدونها الإيمان أصلاً ؛ وأن الأمر فيها ليس أمر كمال الإيمان أو نقصه ؛ إنما هو أمر وجود الإيمان أو عدمه

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah kaum yang ketika disebut Allah, maka hatinya tergerak lalu menunaikan kewajiban-kewajibannya. Dan ketika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka imannya semakin bertambah, (bertambah dalam membenarkan), lalu kepada Tuhannya mereka memasrahkan diri (tidak menghendaki yang selainnya). Kami (Sayyid Quthub) akan jelaskan mengenai beberapa watak dari sifat-sifat ini. Karena sesunguhnya keimanan itu tidak akan tegak sama sekali tanpanya. Perintah ini bukan sekadar persoalan sempurna atau tidaknya iman, melainkan persoalan ada atau tidaknya iman.” (Sayyid Quthb, Fi Zhilāl al-Qur'an, [Kairo: Dãr al-Syurüq, 1412 H], jilid 3, halaman 86).

 

Mari cermati pada bait terakhir dari pernyataan Sayyid Quthub ini! Ia memberikan penekanan, bahwa tanpa hakimiyyah, seseorang tidak bisa disebut beriman (yang berarti kafir). Pemahaman semacam inilah yang merupakan akar dari pemahaman radikal. Awalnya adalah melakukan takfir (vonis kafir) sebagaimana yang pernah diperankan oleh kaum Khawarij di awal perpecahan umat Islam terdahulu yang berujung pada mengkafirkan Sayyidina Ali dan Muawiyah ibn Abi Sofyan yang sudah melakukan perjanjian Daumatu al-Jandal. Sayyid Quthub menolak bahwa nash syariah juga memiliki konsep ‘adamu al-haraj (ketiadaan memberatkan), rukhshah (dispensasi), dlarurah, dan lain sebagainya. Penafian terhadap konsep-konsep terakhir adalah cikal bakal dari radikalisme. Sebuah pemahaman yang tertutup dari melihat situasi. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

 

Penulis adalah Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur