Opini

Catatan untuk Tim Perumus Program Full-Day School

NU Online  ·  Selasa, 11 Juli 2017 | 14:01 WIB

Oleh Fatkhu Yasik
Sampai saat ini, menjelang tahun ajaran baru dilaksanakaan, persoalan full day school (FDS) belum menemukan titik temu. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi terlihat ngotot akan melaksanakan FDS di tahun ajaran baru ini. Padahal di sisi seberang, masih banyak pihak yang menyampaikan keberatan penerapan FDS dengan menyajikan berbagai fakta yang mendukung penolakan mereka.

Dari sisi regulasi, masyarakat menilai banyak regulasi yang dilanggar jika FDS ini diterapkan. Di antaranya adalah UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, UU Pemerintahan Daerah, serta UU HAM. Di samping itu, kelompok yang konsen menjalankan penyelenggaraan pendidikan keagamaan di tengah-tengah masyarakat juga menyesalkan kebijakan sekolah sehari penuh ini.

Menurut mereka, FDS ini akan menabrak waktu belajar di madrasah diniyah yang dilaksanakan sore hari sehingga akan mengancam proses pendidikan keagamaan yang selama ini berlangsung di madrasah diniyah.

Terlepas dari persoalan di atas, sebagai sebuah program, FDS dapat kita evaluasi menggunakan pendekatan evaluasi program untuk mengetahui apakah program FDS ini memang sudah direncanakan dengan baik dan matang. Sebagaimana yang disampaikan Peter H Rossi dan E Freemen (1985), untuk memperoleh informasi tentang kualitas program, kita dapat menilai (assessment) dan mengukur (measurement) desain dan pelaksanaan (implementasi) serta manfaat suatu program (Wirawan, 2011).

Dengan demikian, evaluasi program dapat membantu kita untuk mengetahui apakah program FDS sudah direncanakan dengan baik dan benar? Apakah pelaksanaan program FDS sudah sesuai dengan yang direncanakan? Terakhir, apakah program FDS mampu mencapai tujuan yang diharapkan sebagaimana dirumuskan dalam tahap perencanaan?

Kaitannya dengan FDS, tulisan ini baru dapat mengkritisi tahap perencanaan saja, sedangkan tahap proses dan dampak program belum dapat dievaluasi sebab FDS belum dilaksanakan.

Pada kesempatan ini kita dapat meminjam model evaluasi program yang dikembangkan Daniel L Stufflebeam (1967). Dalam menilai kualitas suatu program, Stafflebeam menekankan ada empat aspek yang harus dievaluasi, yaitu aspek context, aspek input, aspek process, dan aspek product, yang kemudian dikenal dengan Model CIPP.

Pada tahap perencanaan, perumus program harus mampu mendefinisikan secara operasional masing-masing aspek di atas sekaligus sebelum program dilaksanakan. Lalu bagaimana dengan FDS ini, apakah memang sudah direncanakan dengan matang? Mari kita evaluasi menggunakan model evaluasi CIPP.

Pertama, aspek context, yaitu latar belakang program FDS ini dilaksanakan. Pada aspek ini perumus program harus dapat menggambarkan kondisi atau peristiwa utama apa yang menjadi dasar dibutuhkannya program FDS. Sayangnya, di banyak kesempatan Mendikbud sering tidak jejeg ketika menjelaskan latar belakang atau signifikansi program FDS.

Saya mencatat dua alasan yang secara bergantian sering digunakan Mendikbud saat ditanya latar belakang penerapan FDS, yaitu memenuhi tuntutan hari dan jam kerja PNS sebagaimana tertuang dalam UU ASN atau untuk penguatan pendidikan karakter peserta didik.

Mengenai alasan pertama tentang jam kerja PNS, sebenarnya sudah terjawab dengan UU Guru dan Dosen yang secara eksplisit mengatur jam kerja guru (yang PNS). Ditambah lagi di Indonesia ini tidak semua guru adalah PNS. Guru swasta bagaimana? Fakta-fakta ini menyiratkan perumus program FDS melewatkan banyak hal.

Sedangkan alasan kedua tentang penguatan pendidikan karakter, hemat saya ini juga kurang tepat. Saya menilai kalimat penguatan pendidikan karakter ini adalah deskripsi tentang hasil (product) atau kondisi yang ingin kita capai, ingin diciptakan melalui FDS, sehingga harus diletakkan pada rumusan kriteria product atau hasil program. Jadi bukan pada tempatnya jika dijadikan sebagai komponen yang menggambarkan latar belakang program.

Harusnya perumus FDS ini menyajikan data tentang peristiwa apa saja yang menggambarkan bahwa sedang terjadi kemerosotan karakter religiusitas, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan gotong royong peserta didik kita. Yang namanya data, tentu harus valid dan kredibel, bukan dikira-kira. Sayangnya, sepanjang pengamatan saya, penjelasan aspek context ini belum disajikan dengan baik oleh tim perumus FDS.

Kedua, aspek input. Menurut Stufflebeam, pada aspek ini perumus program harus mampu menentukan kriteria sumberdaya yang digunakan serta rencana dan strategi apa saja yang digunakan untuk mencapai tujuan program. Jika pada aspek ini perumus program tidak secara terukur mengurai dua komponen di atas, maka akan didapati banyak kendala dalam tahap pelaksanaan (aspek process) program.

Sepanjang pengamatan saya, sejauh ini perumus FDS belum pernah menjelaskan tentang sumberdaya yang dibutuhkan untuk mendukung FDS. Bahkan Mendikbud terkesan menghindari perdebatan tentang ketidakmerataan resourcess yang ada di sekolah. Belum lagi berbicara tentang kebutuhan guru, apakah guru yang ada sekarang sudah mendukung kebutuhan program FDS. Sebagai informasi, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilaksanakan mengkonfirmasi bahwa kompetensi guru yang kita miliki masih di bawah standar. Artinya, aspek input ini pun rasanya belum mampu dirumuskan dengan baik oleh perumus FDS.

Ketiga, aspek process. Pada aspek ini, perumus program FDS harus sudah memiliki desain pelaksanaan (process) FDS secara utuh. Hemat saya, ini juga belum dijelaskan dengan detail integrasi antara kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler yang menjadi tulang punggung program FDS. Ditambah lagi, berulangkali Mendikbud menyampaikan FDS tetap menggunakan Kurikulum 2013 dengan memodifikasi beberapa hal. Modifikasinya di sisi mana, publik juga belum pernah mendapat penjelasan tentang ini.

Terakhir, keempat, aspek product, yaitu rumusan tentang hasil yang diharapkan jika FDS ini terlaksana. Nah, di sinilah pada tempatnya jika Mendikbud menjelaskan bahwa pelaksanaan FDS adalah untuk melakukan penguatan pendidikan karakter peserta didik. Jika tidak salah menyimak, ada lima karakter yang diimpikan Mendikbud dapat ditumbuhkan jika FDS terlaksana, yaitu religiusitas, nasionalisme, integritas, kemandirian, dan gotong royong. Aspek ini memang belum dapat kita evaluasi saat ini, karena FDS belum terlaksana. Tapi setidaknya sebagai sebuah program, indikator yang menjadi parameter masing-masing karakter juga harus sudah terumus secara operasional (measurable).

Atas dasar pertimbangan di atas, saya pribadi mengusulkan kepada Mendikbud untuk membatalkan penerapan FDS, baik yang tertera dalam Permendikbud No. 23/2017 maupun yang tertera dalam Rancangan Perpres tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang baru saja saya baca.


*) Pengajar UNUsia Jakarta, Wakil Sekretaris LP Maárif NU Pusat