Opini

Bukti Kealiman Kiai Afifuddin Muhajir

Sel, 19 Januari 2021 | 12:30 WIB

Bukti Kealiman Kiai Afifuddin Muhajir

Kiai Afif sendiri sangat lihai menyederhanakan persoalan-persoalan yang rumit sehingga menjadi sangat mudah.

Tersohor sebagai kiai yang alim lagi allamah di bidang fiqih dan ushul fiqih, keseharian beliau berbanding terbalik dengan ulama-ulama yang lagi viral di media sosial. Di saat mereka berlomba-lomba unjuk kemampuan dengan menjawab semua pertanyaan sehingga menyedot perhatian jutaan netizen, Kiai Afif malah memilih jalan khumul.


Kiai Afifuddin Muhajir bukanlah tipikal kiai yang mudah memberikan jawaban atas setiap pertanyaan. Tidak semua pertanyaan akan beliau jawab seketika. Jika memungkinkan untuk dijawab langsung, maka beliau langsung memberikan jawaban. Namun jika tidak memungkinkan, beliau tidak segan-segan untuk menangguhkan jawabannya. Ditangguhkan karena persoalan yang ditanyakan kadang tidak cukup dengan jawaban fiqih, tetapi membutuhkan ijtihad dan beliau melakukannya.  


Sebenarnya, bukanlah suatu keharusan bagi orang alim untuk menjawab semua pertanyaan. Tidak langsung memberikan jawaban atas suatu pertanyaan bukanlah suatu kekurangan yang dapat menurunkan kredibilitas kealimannya. Sebaliknya, sikap seperti ini justru memperkuat posisinya sebagai orang alim. 

 

Masih ingat ketika Imam Malik disodori empat puluh pertanyaan? Pendiri Mazhab Malikiyah ini ternyata hanya mampu menjawab dua pertanyaan. Sisanya ditangguhkan. Selain itu, ada Imam Syafi’i yang juga melakukan hal serupa. Pendiri Mazhab Syafi'íyah ini pernah disodori dua pertanyaan, keduanya tidak langsung dijawab, alias “mauquf”. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut ditunda karena sang imam akan melakukan ijtihad. 


Dua fakta inilah yang menjadi dasar mengapa rumusan definisi faqih dalam beberapa literatur klasik adalah orang yang memiliki potensi (al-mutahayyi’) menguasai masail fiqhiyyah. Ini sebagai pengakuan  bahwa tidak mungkin semua masalah fiqih yang tidak terbatas jumlahnya itu dihafal semua oleh seorang faqih. 


Maka dari itu, seorang ahli fiqih bukanlah orang yang hanya memiliki hafalan-hafalan terhadap masail fiqh, tetapi harus memiliki kemampuan untuk melakukan istinbath dan istidlal. Hafalan masail fiqih sangat terbatas. Semantara kemampuan istinbath dan istidlal bisa long time sebagai skill untuk menjawab beragam masail fiqih yang tidak terbatas itu.


والمراد بـالفقيه هنا المتهيئ للفقه، الممارِس له، وليس المراد من يحفظ الفروع الفقهية فقط دون القدرة على الاستنباط والاستدلال 


Artinya, “Faqih adalah (orang) yang berpotensi dan terlatih (mengusai) menjawab masail fiqih, bukan orang yang hanya menghafal masail fiqih tetapi tidak mampu melakukan intinbath dan istidlal.”


Statemen Muhammad Zabidi dalam kitabnya, “Al-Ijtihad fi Manathil Hukmi” meniscayakan bahwa jawaban atas setiap pertanyaan masail fiqh tidak harus dijawab langsung, melainkan bisa di-pending sementara waktu untuk dicari jawaban terbaik. Tentu menjadi musykil ketika ulama diindentikkan pada orang yang cas-cus menjawab setiap pertanyaan secara spontanitas. Tampaknya, Kiai Afif menghindari hal semacam ini sebagaimana semarak di media sosial baru-baru belakangan. 


Saat sedang santai di kantor Mahad Aly, saya sendiri pernah memberanikan diri untuk bertanya tentang hukum bisnis multilevel, namun beliau menjawab, “Saya tidak tahu”. Biar pun demikian, beliau memberikan beberapa sudut pandang agar saya bisa menemukan sendiri jawabannya. Beliau tidak malu untuk mengakui keterbatasannya. Orang yang benar-benar alim seperti beliau memang sepantasnya bersikap demikian karena itu justru menjadi bukti kealimannya. 


Abu Said al-Khadami al-Hanafi menulis dalam kitabnya,


وَدَعْوَى عَدَمِ الْعِلْمِ مِنْ الْعَالِمِ دَلِيلٌ عَلَى قُوَّةِ عِلْمِهِ


Artinya, “Pengakuan orang alim bahwa dia tidak alim merupakan bukti kealimannya.” 


Sebenarnya, beliau bisa saja langsung menjawab semua pertanyaan. Ini sangat mudah bagi orang sekaliber beliau dan jawabannya pasti benar. Penanya tidak mungkin banyak mempersoalkan apapun jawaban Kiai Afif. Tapi itulah hebatnya, naib mudir Mahad Aly Situbondo tersebut benar-benar menjaga objektivitas dan akurasi jawaban yang disampaikan. 


Akurat karena beliau menyadari bahwa fiqih tidak bisa lepas dari teks dan konteks kelahirannya, bahkan lebih luas dari itu. Kehati-hatian lebih diproritaskan dari sekadar kejar tayang. Lebih penting lagi, setiap jawaban harus bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Ingat! malapraktik tidak hanya berlaku untuk dokter, tetapi berlaku juga terhadap ahli hukum. 


Justru selalu menjawab semua pertanyaan dan terlalu cepat memberikan jawaban adalah bukti dari kebodohan seseorang. Kira-kira begitu sindir Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam kalam hikmahnya.


من رأيته مجيباً عن كل ما يسأل، ومعبِّراً عن كل ما شهد، وذاكرًا كلَّ ما عدم، فاستدل بذلك على وجود جهله


Artinya, “Orang yang selalu menjawab setiap apapun yang ditanyakan kepadanya, mengungkapkan segala yang disaksikannya, dan menyebutkan segala yang diketahuinya maka itu adalah bukti dari kebodohannya.”


Terkadang, beliau tidak langsung memberikan jawaban karena ingin memberikan jawaban yang terbaik dan mudah dicerna. “Jawaban yang terbaik dan mudah dicerna” adalah kata kunci yang perlu di-underline. Jawaban yang benar saja belum cukup karena bisa jadi itu tidak baik dalam konteks tertentu. Jawaban yang baik juga belum cukup karena ia butuh penjelasan yang mudah dipahami agar orang tidak gagal paham.


Hemat Kiai Afif, orang alim harus bisa menjelaskan sesuatu yang rumit menjadi sangat mudah. Artinya, sebagus apapaun ide dan gagasan seseorang, belum bisa dikatakan smart bilamana tulisan atau ceramahnya masih sulit dipahami orang lain. Tugas orang alim adalah mempermudah  sesuatu yang sulit. Nasihat ini berulang kali beliau sampaikan kepada saya ketika menjabat pimpinan redaksi majalah Tanwirul Afkar. Waktu itu, beliau sering mengoreksi tulisan saya dan tulisan kawan-kawan. Ternyata, beliau merasa tulisan kami masih sulit dipahami orang awam. “Belum dikatakan Ma’had Aly kalau tulisannya masih sulit dicerna orang awam…” dawuh beliau.                                                                                                                                     

Nyatanya, Kiai Afif sendiri sangat lihai menyederhanakan persoalan-persoalan yang rumit sehingga menjadi sangat mudah. Siapa pun yang pernah mengaji dan menyimak orasinya, pasti merasakan itu semua. Semangat ingin mempermudah inilah yang mendorong beliau untuk menulis Kitab “Fathul Mujibil Qarib” syarah kitab “Fathul Qaribil Mujib.”  


Beliau ingin “Fathul Qarib” lebih mudah dipahami oleh para santri. Namun beliau sendiri mengakui bahwa redaksi-redaksi yang ada di Kitab “Fathul Qarib” sudah sangat mudah jika dibandingkan dengan kitab lain di levelnya. “…Saya agak kesulitan menemukan redaksi yang lebih mudah dari Fathul Qarib”, imbuhnya. 


Menyederhanakan dan mempermudah sesuatu yang rumit tidak mungkin bisa dilakukan kecuali bagi orang yang benar-benar alim. Bukan Kiai Afif namanya jika apa yang beliau sampaikan masih sulit dipahami orang. Di forum-forum bahtsul masail, beliau selalu berhasil melerai perdebatan sengit para musyawirin. Kalau beliau sudah bicara, musyawirin dan para kiai hanya bisa ‘manggut-manggut’ terkesima dengan penjelasan singkat, padat, dan sistematis ala Yai Afif. Masih segar dalam ingatan, ketika penulis menyaksikan sendiri Kiai Said Aqil Siroj dan kiai lainnya, terkesima mendengarkan Kiai Afif menjelaskan nalar ushuly “Islam Nusantara” ketika Munas NU di Lombok.


Berkelindan dengan kealimannya, Kiai penikmat rokok putih ini tidak mudah menyalahkan orang lain lebih-lebih jika berkaitan dengan persoalan furu’iyah. Sikap beliau ini sangat beralasan karena watak dasar masail furu’iyah sangat identik dengan perbedaan pendapat (mukhtalaf ‘alaih). Dari zaman Alif hingga hari kiamat kelak, perbedaan pendapat itu pasti ada. Orang yang sudah banyak menguasai masail furu’iyah ini tentu tidak gampang menyalahkan orang yang berbeda pendapat dengannya. Realitas ini selaras dengan ungkapan Syekh Hasan Yamani sebagaimana dikutip oleh Sayyid Alawi Al-Maliki dalam “Manhajus Salaf fi Fahmin Nushush”:


ان طالب العلم كلما زاد فقهه ونظره فى المذاهب قلّ انكاره على الناس


Artinya, “Pencari ilmu yang pemahaman dan wawasan multimazhabnya luas tidak akan mudah menyalahkan orang lain.”


Kiai Afif tidak hanya menguasai banyak masail furu’iyah secara qauliyah, tetapi juga secara manhaji.


Hal inilah yang membuat beliau bisa melihat satu persoalan hukum dari banyak angel. Dengan kemampuan ini pula, beliau banyak memberikan konstribusi untuk negara dan agama. 


Untuk memahami Islam di era modern saat ini, ada banyak fitur-fitur yang harus diperhatikan. Redaksionalitas ayat dan hadits tetap utuh selama-lamanya. Namun, madlul-nya harus dinamis sehingga teks bisa hidup sepanjang zaman. Itulah mengapa beliau sering mengajak kawan-kawan santri untuk terus menyemarakkan ijtihad bi tahqiqil manath.


Fitur-fitur yang saya maksud adalah bagian dari rukun ijtihad agar ijtihad bi tahqiqil manath bisa terwujud saat ini. Fitur-fitur itu adalah disiplin ilmu sosial, medis, dan lainnya. Fiqih dan ushul fiqih tidak bisa berdiri sendiri dan cukup dengan dirinya sendiri (self sefficiency) tetapi ada keterkaitan dengan lainnya. Meminjam istilah Pak Amin Abdullah, hubungan studi Islam dengan disiplin ilmu lainnya adalah saling terkait dan utuh (intergrated-interconnected).  


Pola ijtihad semacam ini sudah lama Kiai Afif lakukan. Itulah sebabnya, beliau kemudian memasukkan pada dokter sebagai ulama di bidangnya sehingga rekomendasinya perlu jadi pertimbangan dalam fatwa-fatwa hukum Islam seperti fatwa beliau tentang pandemi corona dan vaksin meningitis beberapa tahun silam. Dalam bidang sosial kenegaraan misalnya, guru saya ini mengapresiasi duduk perkara sistem demokrasi dan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Ini adalah buah dari keberhasilan beliau menemukan keterkaitan antara ilmu ushul fiqih dan disiplin ilmu sosial dan budaya. Dengan berbekal banyak fitur inilah warna fatwa hukum Kiai Afif di permukaan muncul sangat rekonsiliatif dan mediatif. 


Warna yang demikian ini membuat ulama level nasional dan internasional angkat topi atas kealimannya. Ciri khas beliau adalah piawai memecahkan persoalan dengan memadukan antara nash dan maqashid. Beliau tidak mengapresiasi maqashid secara berlebihan sehingga ada stigma liberal. Di waktu yang bersamaan beliau juga tidak fanatik dengan teks-teks klasik sehingga menjadi sangat konservatif. Wawasan moderasi beragama mendorong beliau untuk mengapresiasi keduanya sesuai porsinya masing-masing.


Fatwa dan pencerahan keagamaan dari Kiai Afif tersebar seantero dunia. Beginilah cara beliau berkhidmah. Khidmah untuk masyarakat dijalaninya di jalur keilmuan. Hampir seluruh energi tercurahkan untuk mencari jalan keluar atas persoalan keumatan. Khidmah lil ummah semacam inilah yang disebut oleh Sa’di Syirazi sebagai suluk para arif billah wa shufiyah di era modern. Sufi besar asal Persia ini mengatakan:


أَنَّ الْعَارِفَ اَوْ الصُّوفِى هُوَ الَّذِى يَخْدُمُ النَّاسَ, لاَ الَّذِى يَخْتَار الْعُزْلَةَ وَالْاِعْتِكَافَ. وَاَنَّهُ لَا بُدَّ لَهُ اَنْ يَتَزَوَّدَ بِالْعِلْمِ. وَيَطْلُبُ مِنْ كُلِّ النَّاسِ حَتَّى الْحُكَّامِ اَنْ يَتَخَلَّقُوا بِأَخْلاَقِ الدَّرْوِيشِ.


Artinya, “Seorang Arif billah atau sufi adalah orang yang berkhidmah kepada manusia, bukan yang memilih menepi dalam sepi dan berdiam diri (itikaf). Untuk pengabdian itu dia membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan dia meminta manusia dan para pejabat untuk beretika laiknya seorang darwisy.”


Kealimannya adalah buah ketekunan beliau untuk terus belajar dan riyadhah. Sebagai ahli ilmu, beliau tiada pernah mengenal finis dalam belajar. Beliau sangat terbuka dengan beragam pemikiran dan pengetahuan sehingga beliau sangat update perihal semacam ini. Dari sisi lain, santri kesayangan Kiai As’ad ini juga rutin men-akrar (mengulang) beberapa kitab-kitab, walau kitab dasar seperti Matan Jurumiyah, Syarah Izzi Kailani, dan Syarah Waraqat. Tidak hanya itu, beliau juga sering mengajak santrinya untuk diskusi i’rab dan i’lal sebuah kalimat. Ditambah lagi dengan kegemarannya untuk sharing bersama tokoh-tokoh yang terkenal ahli di bidangnya. Beginilah ciri utama ahlul ilmi, selalu upgrade diri, tidak pernah bosan untuk takrar (mengulang) dan gemar berdiskusi. 


Tiga kegiatan inilah yang dimaksud oleh Ibnu Rusyd sebagai simpul kapasitas ahlul ilmi


ومجرد الحفظ وتكرار العلم من غير عمق في الفهم لا يعطي ملكة فيه لا بد من المناقشة والمطارحة وتبادل الرأي فيما يتم تحصيله مع أهل الفن


Artinya, “Kapasitas keilmuan akan diperoleh dengan berdiskusi dan sharing bersama ahlinya, tidak (cukup) hafalan semata dan takrar ilmu saja tanpa penguasaan yang holistik.”


Puncak dari kealimannya, Kiai Afif menjelma menjadi sosok yang tidak hanya rasikh fil ilm, tetapi rasikh fil ‘amal. Perspektif tasawuf, hasil dari pengetahuan dan informasi yang ada dalam individu Kiai Afif kemudian menjembataninya untuk semakin dekat dengan Allah SWT. Kedekatan inilah yang pada akhirnya membuat beliau super-hati-hati dalam bertutur dan bersikap. Sedetik pun, tak terlintas untuk maksiat kepada-Nya. Semakin bertambah ilmunya, semakin bertambah pula chemistry-nya kepada Allah SWT.


Dalam “Lathaiful Ma’arif” Ibnu Rajab mengatakan:


أن من كان علما بالله تعالى وعظمته وكبريائه وجلاله فإنه يهابه ويخشاه فلا يقع منه مع استحضار ذلك عصيانه


Artinya, “Barang siapa yang kenal kepada Allah SWT, keagungan-Nya, dan kemuliaan-Nya maka akan memuliakan dan takut kepada-Nya sehingga tidak akan pernah bisa bermaksiat.”


Jika orang awam berjuang menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan haram, beliau justru ekstra-ketat menjaga diri untuk tidak melakukan perbuatan halal, namun berpotensi mendatangkan kemaksiatan. Untuk menjaga diri dari hal semacam ini, ulama yang keilmuannya disanjung oleh Syekh Wahbah Zuhaili ini tidak ‘gampangan’ menerima pemberian orang. Dua kali penulis menyaksikan kejadian seperti ini. Salah satunya saat beliau menolak suguhan pisang di kantor Mahad Aly Situbondo. Saat itu, beliau dengan sangat detail bertanya tentang asal usul buah pisang yang disuguhkan teman-teman staf kantor Mahad Aly kepadanya. Sampai akhirnya, ibarat kitab juga harus didatangkan untuk memastikan bahwa apa yang disuguhkan benar-benar halal secara fiqih.


Baginya, respons yang demikian itu masih sangat wajar, tidak ada yang berlebihan. Tetapi menurut sebagian orang awam seperti saya, sikap demikian terlalu memberatkan diri. Bisa saja apapun yang disuguhkan akan dimakan, toh jamuan diberikan oleh orang baik-baik yang tidak ada indikasi hasil mencuri dan lain-lain. Bersikap demikian sah-sah saja secara fiqih.  


Akan tetapi Kiai Afif tidak sama dengan orang pada umumnya. Level wara’ beliau sudah peringkat tiga. Wara’ level ini adalah wara’ yang hanya dimiliki oleh orang-orang muttaqin, satu tingkat di bawah wara’-nya para nabi sebagai pemegang level tertinggi, yakni level empat.


Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ghazali, orang-orang yang bertakwa tidak akan rela untuk mengosumsi apapun yang dikhawatirkan akan membuka jalan untuk melakukan maksiat meskipun hal tersebut halal secara fiqih dan tidak termasuk barang syubhat. Sikap seperti ini oleh Imam Ghazali dimasukan kepada wara’ level tiga. Dalilnya adalah hadis nabi:


لا يبلغ العبد درجة المتقين حتى يدع مالا بأس به مخافة ما به بأس
 

Artinya, “Derajat takwa akan diperoleh mana kala seorang hamba bisa meninggalkan sesuatu yang diperbolehkan (lantaran) khawatir terjerumus kepada yang dilarang.”


Selain itu, perangai takwa dalam diri kiai Afif membuatnya selalu dirundung oleh rasa khawatir yang serius tentang masa depan abadi di akhirat. Beliau sudah cukup lama mengidap penyakit syaraf. Namun alhamdulillah, penyakit ini lambat laun terus membaik dan semoga selalu sehat, amin. Penyakit ini salah satunya disebabkan oleh beban pikiran beliau yang terlalu berat. 


Apa yang beliau pikirkan? Beliau tidak henti-hentinya memikirkan masa depannya yang belum pasti, apakah nantinya masuk neraka ataukah surga? Dokter dan teman-teman sejawatnya berulang kali memberi saran agar tidak terbebani oleh apapun.  “Abek kabeter, paghik masok neraka napa soargeh (saya khawatir, nanti akan masuk neraka apa akhirat)” jawab beliau. Sebuah redaksi jawaban yang sudah mutawatir terdengar oleh banyak kalangan.


Ala kulli hal, sangat pantas kiranya menyebut beliau sebagai ulama akhirat. Predikat yang sangat ngepas. Dalam sosoknya terpadu sempurna antara keilmuan yang mendalam dan ketakwaan yang luar biasa. Semoga kami bisa menapak jejakmu, guru.


Doni Ekasaputra, abdi Kantor Mahad Aly Salafiyah Syafiiyah Situbondo dan owner Adeeva Group