Nasional

Yang Berhak Disebut Ulama Menurut KH Afifuddin Muhajir

Kam, 20 September 2018 | 10:30 WIB

Jakarta, NU Online
Guru besar usul fiqih Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo KH Afifuddin Muhajir angkat bicara terkait polemik di masyarakat menyusul penyematan gelar ulama kepada salah satu bakal calon wakil presiden Sandiaga Uno.

Menurutnya, ulama adalah orang yang memadukan antara keilmuan yang mendalam dan ketakwaan yang luar biasa (man jama’a bainal fiqh wal khasyah). Jadi, ada dua hal yang harus dimiliki seseorang agar supaya dia berhak disebut ulama.

“Yang pertama dia memiliki bidang keahlian, pakar di dalam bidang tertentu, dan di sisi yang lain dia memiliki ketakwaan yang luar biasa. Ini artinya, kedalaman ilmu saja tanpa ketakwaan tidak menjadikan seseorang sebagai ulama atau sebaliknya ketakwaan saja tanpa kedalaman ilmu itu bukan ulama,” jelasnya sebagaimana dilansir situs resmi Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.

Terkait dengan semakin dekatnya momen pemilu, Katib Syuriyah PBNU periode 2010-2015 ini berharap ulama tetap sebagai posisinya yaitu sebagai pengawal moral, termasuk moral perpolitikan di negara ini.

“Jangan beranjak dari posisi yang terhormat ini berubah menempati posisi yang lain sebagai alat kekuasaan atau alat kepentingan politik,” imbuh Kiai Afif yang juga Wakil Pengasuh Bidang Pengembangan Keilmuan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo.

Sementara itu Ketua PBNU Robikin Emhas mengatakan, predikat ‘alim atau ulama dilekatkan kepada orang yang menguasai di bidang ilmu agama dan secara sosial layak menjadi panutan masyarakat. Hal itu disebabkan karena orang dimaksud dinilai kredibel dan konsisten dalam mengamalkan ilmu agamanya. 

Hal lain yang tak kalah panting, menurutnya, predikat ‘alim atau ulama dalam sejarahnya tidak lahir dari rekayasa sosial, apalagi dimaksudkan demi kepentingan duniawi berupa pencitraan politik misalnya.

“Predikat ‘alim atau ulama adalah status sosial, bukan jabatan politik atau gelar akademik. Sebab predikat ‘alim atau ulama secara alamiah lahir dari rahim sosial. Bukan dilahirkan atas dasar kesepatakan bersama dalam suatu forum permusyawaratan,” ujarnya. (Mahbib)