Opini

Batu Akik Syaikhona Kholil dan Pesan Muktamar NU

Sab, 25 Juli 2015 | 05:00 WIB

Oleh Abdullah Hamid
Syaikhona Kholil Bangkalan Madura lahir Tahun 1820 M atau 1235 H merupakan guru ulama besar di pulau Jawa. Ulama besar yang digelar oleh para kiai sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena kebanyakan kiai-kiai dan penggasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau.<>

Di antara santrinya yang menjadi ulama besar adalah Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, Mbah Ma’shoem Lasem dll. Mereka juga dikenal sebagai pendiri NU. Berdirinya NU tahun 1926 M tidak lepas dari doa dan restu Syaikhona Khalil gurunya yang disampaikan melalui utusannya, KH As’ad Syamsul Arifin.

Syaikhona Kholil berasal dari keluarga walisongo. Ayahnya, KH Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kiai Hamim, anak dari Kiai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kiai Muharram bin Kiai Asror Bujuk Langgundih Desa Kramat keturunan dari Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman Mojoagung. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati.

Istri Syaikhona Kholil memiliki keponakan bernama Amna, sejak kecil dirawat dan diambil anak hingga dewasa olehnya bersama suaminya, Syaikhona Kholil. Perhatian dan kasih sayangnya sangat besar, seperti dengan anaknya sendiri yang bernama Nyai Asma.

Contoh kecil perhatiannya, Syaikhona memberikan cincin yang begitu indah kepada Amna. Berupa batu akik atau batu mulia Kecubung Kalimantan dengan ring cincin berukir keemasan yang indah pula. Cincin tersebut masih ada tersimpan, bernilai cagar budaya. Seperti yang kita lihat di fotonya, tampak kemilau bagai gugusan awan tebal.

Nyai Amna menikah dua kali, suami pertama meninggal tanpa anak kemudian menikah kedua kalinya dengan Hadji Ismail Desa Ujung Piring yang juga kehilangan istrinya yang wafat yaitu Nyai Musyrifah masih family Syaikhona Kholil. Hadji Ismail membawa 4 anak, salah satunya Abdul Hamid masih berusia 6 tahun (H.A.Hamid Ismail ayah penulis). Karena dirawat sejak kecil hubungan keduanya paling dekat. 

Semasa hidup Hajjah Amna, kakak penulis HM. Baihaqi semasih remaja pernah meminta 3 kali cincin pemberian Syaikhona tersebut, dijawab beliau bahasa Madura arti Indonesianya begini: ”Cucuku aku ingin memakai sendiri selagi aku masih hidup, cincin ini pemberian Abah Kholil kepadaku”. Sampai akhirnya Nyai Amna wafat, dikubur di Komplek Syaikhona Kholil seperti juga Hadji Ismail.

Dari peristiwa yang sederhana itu kita ingin mengambil hikmah dan barakah sebanyak-banyaknya dari Syaikhona Kholil, kira-kira apa pesan yang bisa ditarik untuk Muktamar NU? Sebagaimana kita baca tadi perhatian Syaikhona terhadap anak perempuan sangat besar, memberi isyarat pentingnya Muktamar NU 2015 di Jombang mengangkat derajat pendidikan perempuan dan akhlakul karimah di tengah pertaruhan ideologi global abad ini.

Salah satu contoh kecil agar Pemerintah Indonesia memberi peluang perempuan-perempuan desa pendidikan tinggi tanpa harus meninggalkan lingkungannya yang Islami di pesantren salaf. Salah satu caranya dengan membuka perkuliahan di Universitas Terbuka dengan sistem pendidikan jarak jauh, masalahnya hingga kini UT belum membuka prodi agama Islam.

Maka Muktamar NU perlu merekomendasikan pembukaan prodi tersebut kepada pemerintah terkait. Sekaligus menindaklanjuti Keputusan Musykerwil NU Jatim No: /MKW-NU/II/2014. Pengesahan Hasil Sidang Rekomendasi tertanggal 27 Feb 2014 sebagai berikut: Pendidikan a. Secara formal-yuridis. UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah mengakui keberadaan pondok pesantren sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional.

Sayangnya, selama satu dekade, pengakuan tersebut tampak masih belum diterapkan sepenuh hati. Pasalnya, masih masih banyak aspek teknis dalam kebijakan pendidikan nasional yang terasa diskriminatif terhadap kalangan pondok pesantren.

Dalam kaitan itu, Forum Muskerwil NU Jatim mendesak pemerintah (c.q.Kementerian dan Kebudayaan RI) untuk memfasilitasi akses pendidikan tinggi bagi santri di lingkungan pondok pesantren salaf dengan membuka Fakultas atau Program Studi Agama Islam di Universitas Terbuka. Dengan demikian, peran sosial kemasyarakatan lulusan pondok pesantren salaf dalam hal memberdayakan masyarakat dan meyukseskan program pembangunan diharapkan akan berjalan secara optimal

Lasem, 25 Juli 2015

Abdullah Hamid, Padepokan Sambua Lasem

 

Foto: Cincin Peninggalan Syaikhona Kholil