Oleh Ubaidillah Achmad
Sehubungan dengan peristiwa bom bunuh diri di Madinah, telah memunculkan banyak spekulasi penilaian terhadap motif seseorang yang memilih siap mati, namun tidak siap melaksanakan darma kehidupan.
Secara psikis banyak motivasi yang menyebabkan peristiwa ini terjadi. Karenanya, saya ingin turut mencoba memahami alasan dibalik peristiwa bom bunuh diri di Madinah. Secara sederhana, peristiwa ini tidak mungkin karena kegilaan pelaku, karena orang gila tidak bisa menyiapkan perangkat yang super dahsyat ini dan menentukan momentum bagaimana ancaman yang mengundang kekhawatiran umat dunia. Yang saya maksudkan dengan pelaku di sini, adalah pelaku yang bisa saja berupa korban dan juga berupa mereka yang memainkan korban.
Sebagai umat Islam, tidak perlu mengkhawatirkan terhadap peristiwa yang sudah terjadi, namun perlu memikirkan lebih serius bagaimana supaya peristiwa ini tidak terjadi? Dengan demikian, kita tidak hanya bisa mengecam, namun juga memikirkan apa yang harus kita perbuat dengan perbuatan kecil, namun bermanfaat untuk umat manusia. Karenanya, umat Islam perlu memikirkan resolusi konflik personal dan komunal yang bersumber dari nilai-nilai keagamaan, bukan justru menjadikan keyakinan agama sebagai sumber konflik kemanusiaan.
Sebelum saya berkesimpulan terhadap peristiwa naas di Madinah sebelum lebaran Idul Fitri 2016, menurut saya ada lima tesis yang bisa kita baca kemungkinannya sebagai penyebab bom bunuh diri tersebut: tesis pertama, karena adanya bom waktu sistem pemerintahan yang menggunakan sistem kerajaan. Hal ini membuat masyarakat sudah tidak puas dengan sistem kerajaan di tengah perkembangan sistem demokratisasi di dunia. Tesis kedua, karena konspirasi kapitalisme global yang ingin menguasai negara-negara penghasil minyak dunia, seperti kawasan Timur Tengah.
Tesis ketiga, kepentingan imperialisme yang ingin menjajah negara yang menyimpan sumber daya alam yang tinggi dengan model atau cara manajemen konflik. Berbeda dengan zaman Perang Dunia II, penjajahan bisa dilakukan dengan cara penindasan pada harkat dan martabat manusia dengan merampas SDA dan menindas SDM. Namum sekarang para imperialis telah melakukan pencitraan atas nama kemanusiaan, sedangkan di sisi yang lain, secara pelan pelan melakukan penjajahan terselubung melalui perspektif akademik dan ilmiah.
Tesis keempat, karena adanya senjata makan tuan, berupa gerakan wahabi yang telah dibesarkan oleh sistem kerajaan di Arab Saudi, bertujuan untuk mendidik masyarakat agar lebih fokus pada ajaran al-Qur’an dan Hadits. Sementara itu, sistem kerajaan Arab Saudi bersumber penuh pada kehendak kuasa sang raja dari keluarga Ibn Suud. Cita-cita gerakan yang baik melalui slogan kembali pada dua wasiyat Nabi Muhammad ini, telah dipimpin langsung oleh para Ulama Wahabi yang didanai langsung oleh kerajaan. Para Ulama Wahabi di Negera Saudia Arabia ini bersikap mendua, yaitu sebagai corong kerajaan yang banyak mengabaikan teks kewahyuan, namun dalam konteks yang lain bersikap sebagai seorang ulama yang selalu berkampanye kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Yang berkembang kuat dapat mempengruhi hukum kerajaan, adalah kepentingan keluarga kerajaan Ibn Saud. Bukti yang menunjukkan hal ini, tidak ada seorang Ulama Wahabi yang berani dengan tegas menolak kebijakan Raja setegas menolak setiap yang bid'ah dlalalah perspektif Wahabi. Misalnya, kebijakan yang selama ini menjadi ajaran Wahabi anti Barat, namun membiarkan kebijakan raja yang memilih kerjasama dengan Yahudi untuk kepentingan penguasaan minyak. Fenomena ini berjalan lancar tanpa gugatan dari para ulama Wahabi. Yang ironis, dalam konteks kasus di Indoensia, mereka yang Arabis, justru menegaskan, sebagai gerakan anti-Amerika, anti-imperialis dan anti-Barat.
Tesis kelima, adanya gerakan teroris murni yang mengatasnamakan Islam untuk sebuah kepentingan kehendak kuasa dan gerakan pencitraan para teroris di mata aktivis gerakan kelas dunia. Namun karena merupakam gerakan makar, maka gerakan ini tidak mendapatkan dukungan masyarakat dunia. Gerakan teroris ini, telah melakukan pembajakan melaluu gerakan keagamaan yang mengajarkan tentang radikalisme. Hasil pencitraan justru berbalik, telah mendapatkan kecaman masyarakat dunia.
Sehuhungan dengan kelima tesis tersebut di atas, maka dapat dipahami, bahwa ada sistem yang memancing gejala yang bertolak belakang atau kontra produktif terhadap tujuan subjek. Sebaliknya, kelima indikasi yang menguatkan tesis tersebut di atas, telah menjadi kemungkinan terbesar dari dampak sekenario politik kapital. Mengapa kemungkinan ini terjadi, karena hanya negara besar dan super powerlah yang mampu melakukan semua ini.
Pertanyaannya, adalah mengapa kemampuan ini tidak ditunjukkan secara terang terangan? jika secara terang terangan politik imperialis yang merugikan negara sasaran bisa dilakukan kenapa harus dengan cara silend. Karena, sekarang ini telah banyak yang menyadari betapa buruknya dikenal sebagai diktator atau manusia kejam dalam sejarah umat manusia. Beberapa sejarah kelam para penjahat kemanusiaan, tidak ingin mereka ulang dalam sejarah modern. Karenanya, kebijakan politik yang berisiko bagi kemanusiaan telah mereka hindari, sehingga sewaktu hendak memainkan kepentingan ekonomi kapital tidak mendapatkan penolakan dari para calon pelanggan di negara yang mereka katagorikan sebagai negara berkembang. Para kapital, selalu berusaha mencari pelanggan yang baik yang menjaga kepentingan kapital tanpa halangan predikat "sebagai penjahat kemanusiaan".
Meskipun semua tesis tersebut di atas mungkin terjadi pada peristiwa bom di dekat Masjid Madinah, namun dalam perspektif penulis, yang paling mungkin, berupa tesis yang keempat, berupa gerakan pagar makan tanaman. Sudah tidak asing lagi, mengapa di negara arab sering terjadi konflik internal, karena model pembelajaran keberagamaan lebih menekankan pada model fanatisme madzhab dan aliran keberagamaan. Hal yang sama seperti gerakan wahabi di Indonesia yang cenderung lebih mudah membid'ahkan, mengkafirkan, memusyrikkan kepada individu yang berbeda golongan atau kelompok komunal.
Model seperti ini berbeda dengan model keberagamaan di Indonesia yang cenderung lebih mengedepankan kemajmukan atau keragaman. Kondisi keberagamaan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kondisi historis para leluhur masyarakat nusantara sebelum menjadi bangsa Indonesia, yaitu masyarakat yang terdiri dari berbagai keyakinan dan memiliki aneka ragam kebudayaan dan prinsip moralitas. Dari aneka ragam kebudayaan dan prinsip moralitas ini, terdapat etika universal yang masih menjadi pedoman hingga sekarang, yaitu prinsip binika tunggal ika. Prinsip ini yang telah dirangkum menjadi ideologi Pancasila.
Antitesis dari prinsip karagaman kebudayaan dan keyakinan ini, telah direkonstruksi dan dikontekstualisasikan oleh Walisongo melalui model keberagamaan yang disebut dengan istilah pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam Walisongo didasarkan pada model kontekstualisasi pola keberagamaan yang diintegrasikan dengan model kearifan lokal dan prunsip etika Universal.
Jika model keberagamaan walisongo dibandingkan dengan model keberagamaan di timur tengah, maka akan mengalami perbedaan yang signifikan. model keberagamaan di timur tengah terlihat mengabaikan model keragaman sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad, namun justru lebih menekankan pada model yang membedakan peran dan fungsi sosial, antara pendapat sesama umat Islam dan pendapat mereka yang bukan orang Islam.
Oleh karena itu, di Jazirah Arab terjadi banyak konflik yang belum terselesaikan, karena masih banyak umat beragama mejadikan posisinya secara konfrontatif antara dirinya sebagai umat beragama dan pihak lain sebagai kaum yang dzalim, kafir, musyrik, dan munafik. Sementara itu, Walisongo lebih menekankan keberadaannya sebagai sosok yang memiliki kekhasan dan keunikan yang dapat memposisikan diri dalam perbedaan dan keragaman. Strategi Walisongo ini dapat menjadi teori baru dalam resolusi konflik.
Jadi, peran Walisongo di tengah perbedaan bersama pihak yang lain tidak dalam konteks sebagai keberadaan yang konfrontatif, yang harus saling memaksa dan menafikan fungsi muamalah dan fungsi kemanusiaan. Meskipun demikian, Walisongo meyakini relasi suci kosmologis di bawah kekuasaan Allah yang berhak memutuskan penciptaannya.
Sehubungan dengan model keberagamaan Walisongo ini dapat dijadikan sebagai paradigma yang dapat menjadi konstribusi model keberagamaan yang mengembalikan pada model keberagamaan Nabi Muhammad. Model ini, yang sekarang ini justru dilupakan umat Islam dibelahan dunia, khususnya timur tengah.
Karenanya, banyak konflik keberagamaan di belahan dunia dan negara negara Arab, yang bertambah rumit dan runyam, yang seolah justru agama menjadi sumber konflik sosial. Di Timur Tengah kurang menata keragaman di tengah keberagamaan. Misalnya, terjadi pada kasus konflik sunni-syi'i di Timur Tengah. Sebaliknya di Indonesia, meskipun kebanyakan memilih model keberagamaan Sunni, namun tidak menjadi sumber konflik atas nama pemahaman kedua aliran ini. Beberapa kasus konflik justru disebabkan oleh beberapa orang yang lebih memilih model Arabisme.
Jadi, kesadaran keragaman masyarakat Indonesia dalam keberagamaan, selain telah berlangsung melalui proses pribumisasi Islam Walisongo, juga memiliki sumber historis yang telah menjadi model kebhinekatunggalikaan para leluhur atau nenek moyang bangsa Indonesia.
Ubaidillah Achmad, Penulis Buku Islam Geger Kendeng dan Suluk Kiai Cebolek.