Oleh: Muhammad Muhibbuddin*
Tanpa kita sadari, tahun baru 2008 kini hadir di tengah kehidupan kita. Waktu memang bergulir begitu cepat. Pada taraf tertentu, benar kata filsuf klasik Heraklitos bahwa segalanya memang berubah. Termasuk perjalanan waktu yang tiap detik, menit, jam bahkan tahun dan abad yang selalu berubah. Dalam kehidupan yang selalu berubah ini, sebagai manusia kita tentu tidak ingin hanyut begitu saja dalam perubahan itu sendiri, sehingga menjadikan hidup kita tanpa makna (meaningless). Lebih jauh, dibalik perubahan itu kita mengidealkan sebuah kehidupan baru yang lebih baik dan lebih maju dari sebelumnya.
Sebab, kalau kita sepakat bahwa perjalanan hidup yang pendek ini harus penuh makna (meaning full) maka sungguh kerugian besar apabila prestasi hidup kita dalam keadaan statis. Apalagi kalau kualitasnya justru menurun maka tentu sebuah kerugian besar bagi kita. Idealnya setiap pergantian dan perubahan masa atau tahun, kita selalu menorehkan progresifitas yang jauh lebih bagus dari kemarin.
Potret kondisi bangsa dan negara kita
Idealisme progresifitas di atas, dalam kehidupan kebangsaan kita nampaknya masih belum menjadi kanyataan. Bahkan setiap pergantian tahun atau orde tatanan kehidupan kita semakin mengalami degradasi. Orde reformasi saja, yang kita jadikan sebagai peluang emas untuk memperbaiki sistem bangsa kita, hingga sekarang belum bisa melahirkan perubahan sistem yag kita harapakan. Bahkan reformasi, seperti kata Riswanda Himawan (2000) justru membuka masalah-masalah sosial-politik baru yang datang susul-menyusul.
Oleh karena itu, tahun 2008 ini merupakan sebuah tantangan besar bagi bangsa kita. Pertanyaan yang mendasar di dalam tahun baru ini adalah prestasi apa yang akan kita torehkan pada tahun baru ini? Bisakah kita sebagai komunitas bangsa ini mampu mengisi tahun baru ini dengan sejumlah prestasi yang gemilang di segala sektor kehidupan? Menjawab pertanyaan semacam ini tentu tidak mudah. Sebab realitasnya berbagai masalah yang menumpuk mulai masalah sosial, ekonomi, politik, hukum dan sejenisnya banyak yang belum terselesaikan dengan memuaskan. Dari tahun ke tahun masalah –masalah nasional tersebut bukannya berkurang, tapi justru menggunung.
Secara struktural, menumpuknya beragam permasalahan nasional sekarang ini lebih disebabkan oleh pemerintah yang tidak bekerja dengan semestinya. Apa yang dilakukan oleh pemerintah SBY-Kalla dari tahun ke tahun masih jauh dari harapan rakyat. Kebijakan-kebijakan yang dibuatnya masih banyak yang belum menyentuh problem riil masarakat kecil (pro poor). Maka Faisal Basri (Kompas, 22/12/2007), menilai bahwa pemimpin Indonesia sekarang telah gagal mengatasi krisis. Pendekatan pembangunan yang dilakukan para pemimpin tidak pernah berubah sehingga rakyat menjadi korban.
Seperti program pemerintah dalam menangani kemiskinan yang masih mengecewakan. Terbukti, angka kemiskinan di negara kita masih tinggi. Dalam sepuluh tahun terakhir, angka kemiskinan di Indonesia belum membaik. Hingga juni 2007 angka kemiskinan masih berada pada angka 37, 17 juta jiwa atau 17, 75 % dari jumlah penduduk Indonesia (Kompas, 10/12/2007).
Problematika bangsa lainnya yang masih belum jelas penanganannya adalah kasus korupsi. Hingga detik ini KPK sebagai tulang punggung pemberantasan korupsi belum menunjukkan hasil kerja yang memuaskan. Bahkan publik semakin pesimistis dengan program pembrantasan korupsi ini. Hal ini terkait dengan hadirnya Antasari Azhar, ketua KPK yang baru, yang track recordnya masih diragukan. Banyak kasus-kasus mega korupsi yang melibatkan para elit politik yang belum tersentuh hukum. Taruhlah misalnya sekandal BLBI senilai 600 triliun rupiah, kemudian sekandal dugaan korupsi pengadaan surat segel suara pemilu 2004. Karena masalah ini, konon BPK pernah menyatakan bahwa negara dirugikan hingga 179 miliar dan masih banyak lagi sekandal mega korupsi lainnya.
Itu baru soal kemiskinan dan korupsi. Sementara masih banyak masalah-masalah nasional lain yang belum terselesaikan. Menumpuknya masalah nasional ini tentu saja menampar muka pemerintah SBY-Kalla. Ini berarti bahwa SBY-Kalla tidak bisa memenuhi harapan rakyat. Dengan fenomena tersebut, pemerintah justru menjadi penambah masalah.
Pragmatisme 2009
Melihat masalah nasional yang menumpuk tersebut, di tahun baru 2008 ini pemerintah SBY-Kalla seharusnya semakin intensif dan konkrit dalam menyelesaikan problematika nasional di atas. Ini merupakan bentuk tanggung jawab (responsibelity) moral dan struktural pemerintah saat ini. Namun pertanyaannya, semudah itukah kita berharap pada pemerintah kita ini. Kita tahu, pemilu 2009 sudah hampir di ambang pintu. Ini tentu akan menjadikan kinerja pemerintah SBY –Kalla mudah bergeser atau berubah orientasi.
Momen pemilu 2009 yang semakin mendekat ini sudah tentu membuat pemerintahan SBY-Kalla tidak concern lagi untuk memikirkan dan menyelesaikan problematika bangsa di atas. Sebab, hadirnya 2008 ini akan semakin menggoda pemerintah SBY-Kalla sekarang untuk mulai bersiap-siap pasang strategi untuk menghadapi pemilu 2009. Dengan godaan ini, perhatian SBY-Kalla bukan lagi kepada bagaimana menuntaskan problem nasional yang melilit seperti sekarang ini, melainkan bagaimana untuk bisa memenangkan pemilu 2009 supaya bisa berkuasa lagi. Hal ini karena baik SBY maupun Kalla dan sejumlah elit politk lainnya yang pro status quo masih sangat berambisi untuk memperpanjang.
Kalau prediksi di atas benar maka tahun 2008 ini akan menjadi momen pertaruhan perpolitikan nasional yang terrepresentasikan dalam pemerintahan SBY-Kalla. Bisa jadi tahun 2008 ini adalah puncak kecuekan pemerintah SBY-Kalla dalam menangani problematika bangsa yang komplek tersebut.
Atas dasar di atas maka tahun 2008 ini nampaknya, kita sebagai rakyat Indonesia, sangat minim menaruh harapan pada pemerintah SBY-Kalla untuk memperjuangkan nasib bangsa yang terus dilindas beragam persoalan. Tentu saja prediksi ini masih bersifat a priori. Artinya apakah pada momen yang sangat pendek ini, pemerintah SBY-Kalla memilih untuk konsisten memperjuangkan nasib rakyatnya, dengan secepatnya melakukan gebrakan-gebrakan solusi baru yang kongkrit ataukah lebih memilih menjadi pecundang hati nurani rakyat dengan melupakan nasib rakyatnya untuk kampanye pemilu 2009, sepenuhnya adalah pilihan pemerintah SBY-Kalla.
Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab tentu lebih memilih memperjuangkan nasib rakyatnya daripada menuruti nafsu kerakusan dengan berpikir berkuasa lagi. Pemimpin yang baik seharusnya pandai mengukur diri: kalau pada periode awal saja sudah mengecewakan banyak pihak, maka sayogyanya, untuk periode berikutnya, tidak berambisi tampil lagi. Namun apakah pikiran semacam ini terlintas dalam hati nurani pemerintah SBY-Kalla? Jawabnya: Wallhua’lam.
*Muhammad Muhibbuddin adalah aktifis sosial dan pegiat forum diskusi filsafat "Linkaran 06" Yogyakarta.
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
5
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua