Nasional

Warga NU Jangan Diam Saja, Bertarunglah dengan Gagasan

Rab, 9 Oktober 2019 | 03:00 WIB

Warga NU Jangan Diam Saja, Bertarunglah dengan Gagasan

Gusdurian Bekasi Raya temui Gus Ulil di rumahnya Bekasi (Foto: NU Online/Aru Elgete)

Bekasi, NU Online
Intelektual Nahdlatul Ulama (NU) Gus Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa saat ini orang-orang NU sedang melakukan 'serangan balik' ke kelompok yang selama ini anti-NU. 
 
"Serangan itu lebih kepada nyinyir atau umpatan yang jenisnya hampir sama dengan serangan kelompok lain. Saya jadi merindukan sosok Gus Dur," kata Ulil Abshar Abdalla.
 
Hal itu disampaikan saat menerima kedatangan Gusdurian Bekasi Raya, di rumahnya Perumahan Jatiagung I, Jatibening, Pondokgede, Kota Bekasi, pada Senin (7/10) malam.
 
Menurut Gus Ulil, orang-orang atau pengurus NU itu harus mampu bertarung secara gagasan terhadap kelompok yang berbeda, bukan menyerang balik serangan dengan serangan juga. 
 
Dikatakan, seharusnya orang-orang NU itu bisa lebih lembut menghadapi serangan kelompok-kelompok itu. Caranya dengan masuk ke wilayah mereka, melakukan dialog atau komunikasi. 
 
"Jadi, kita tidak perlu menolak organisasi, kelompok, atau komunitasnya selama mereka masih berkutat pada ruang-ruang pemikiran. Kalau ternyata mereka melakukan perbuatan yang melanggar hukum, itu biar jadi urusan dari aparat penegak hukum," jelas Gus Ulil.
 
Menurutnya, kita boleh menolak pemikiran mereka tapi jangan sampai melarang mereka untuk berpikir. Budaya dialog memaparkan argumentasi untuk mengemukakan pemikiran harus terus dilestarikan.
 
"Saya akan salut sekali jika ada tokoh-tokoh NU yang mampu melakukan hal ini. Dan sekarang-sekarang ini, tokoh yang seperti itu di NU saat ini sangat sulit ditemukan," pungkasnya.
 
Dikatakan, dirinya sangat bangga menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama. Pasalnya, di dalam NU tidak ada keterikatakan 'fatwa' dari para kiai atau ulama untuk kemudian menjadi perkara wajib yang harus ditaati oleh pengikutnya.
 
"Kita berbeda dengan, misalnya Katolik, Ahmadiyah, dan Syiah yang para pemimpin agamanya punya otoritas tunggal atas kebenaran. Sementara NU tidak demikian, NU punya keunikan tersendiri," katanya.
 
Kalau bagi NU, lanjut Gus Ulil, otoritas tunggal itu hanya didapat ketika di pondok pesantren. Selesai dari pondok pesantren yang ditempuh selama kurang lebih dari enam tahun itu, orang NU bisa bebas dari keterikatan dan punya kemerdekaannya sendiri.
 
"NU secara organisasi memang punya koridornya tersendiri yang mesti dipatuhi oleh para pengurusnya. Tapi itu tidak mengikat. Para petinggi atau kiai NU tidak sampai mengurusi hal-hal yang bersifat privasi bagi pengurus atau jamaahnya," kata mantan Ketua Lakpesdam PBNU ini.
 
Ia memberikan contoh soal perbedaan pandangan politik santri PP Al-Anwar, Sarang terhadap Almaghfurlah KH Maimoen Zubair. Secara keagamaan, para santri di sana memang menaruh hormat dan takzim kepada sosok Mbah Moen. Namun secara politik, banyak juga santri yang berseberangan dengannya.
 
"Saya takdzim kepada sosok Mbah Moen, tapi soal politik, saya dan Mbah Moen punya pandangan berbeda. Dan yang demikian itu tidak menjadi soal," kata Gus Ulil menirukan ucapan santri Sarang yang pernah berdialog dengannya.
 
Artinya, menantu Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri ini menegaskan bahwa di dalam tubuh NU, setiap individu diberi kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri. 
 
"Jadi bagi saya, NU ini adalah kelompok keagamaan yang paling cocok untuk masyarakat muslim di Indonesia. Khususnya untuk saya sendiri yang menyukai tradisi kebebasan berpikir," pungkasnya.
 
Kontributor: Aru Elgete
Editor: Abdul Muiz