Nasional

Teladan Saling Menghargai lewat Bedug dan Kentongan

Jum, 22 Januari 2021 | 04:00 WIB

Teladan Saling Menghargai lewat Bedug dan Kentongan

Argumen tentang boleh menggunakan kentongan dan bedug atas dasar sudah menjadi kebudayaan sebagai tanda-tanda masuknya waktu shalat. (Foto: NU Online Jatim)

Cirebon, NU Online
Kiai-kiai Nusantara sejak dahulu mendididik santri-santrinya untuk saling menghargai perbedaan. Sudah seharusnya santri era milenial terus melanjutkan teladan para Kiai. Perbedaan adalah Rahmat. Seperti dawuh (wejangan) dari KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang dilarang itu perpecahan bukan perbedaan.

 

KH Zamzami Amin dari Babakan Ciwaringin Cirebon, menceritakan salah satu bentuk perbedaan adalah pada fenomena kentongan dan bedug. Kentongan dan bedug sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah masa ke masa di Nusantara. Dahulu hampir di semua masjid maupun mushala di Indonesia memiliki sebuah bedug ataupun kentongan.

 

Kiai Zamzami meneruskan, menurut KH Faqih Maskumambang bahwa menggunakan kentongan dan bedug itu boleh. Namun, menurut KH Hasyim Asy’ari tidak boleh karena kentongan dan bedug bukan merupakan ajaran agama.

 

"Argumen tentang boleh menggunakan kentongan dan bedug atas dasar sudah menjadi kebudayaan sebagai tanda-tanda masuknya waktu shalat. Walaupun kedua kiai tersebut berbeda pendapat, tapi mereka tetap saling menghargai perbedaan," kata Kiai Zamzami beberapa waktu yang lalu.

 

Jika KH Hasyim Asy’ari silaturahmi ke Gresik, lanjut Kiai Zamzami, KH Faqih Maskumambang mengambil kentongan dan bedug dari mushalanya. Juga ketika KH Faqih Maskumambang silaturahmi ke Jombang maka KH Hasyim Asy’ari mendadak memasang kentongan dan bedug di mushalanya.


"Itulah hebatnya kiai dahulu dalam menghargai perbedaan. Ini harus ditanamkan generasi muda untuk saling menghargai perbedaan," ujar Kiai Zamzami.

 

Satu ketika, KH Hasyim Asy’ari dan KH Faqih Maskumambang silaturahim kepada KH Jauhar Arifin di Balerante, Cirebon untuk mendiskusikan hukum menggunakan kentongan dan bedug. Ketiga kiai tersebut saling mengenal karena sama-sama merupakan santri dari KH Mahfudz At-Turmusy.

 

"Menurut KH. Jauhar Arifin tentang hukum menggunakan kentongan dan bedug adalah boleh. Karena alasannya bukan pertanda memanggil shalat, tapi untuk memberhentikan orang-orang bekerja. Sebagai peringatan memasuki waktu shalat, bukan memanggil sholat. Dari sinilah KH Hasyim Asy’ari dan KH Faqih Maskumambang terdiam serta membenarkan pendapat KH Jauhar Arifin," cerita Kiai Zamzami.

 

Ia menjelaskan, terdapat perbedaan antara memasuki waktu shalat dan memanggil shalat. Kentongan dan bedug pun memang bukan perintah agama. Maka, pendapat KH Jauhar Arifin ini mampu sebagai penengah dari perbedaan pendapat tersebut. "Ini disebut ikhtilafi ummati rahmah. Artinya, perbedaan itu rahmah," pungkas Kiai Zamzami.

 

Kontributor: Halimatussa’diyah
Editor: Kendi Setiawan