Nasional

Soal Gerakan 30 September, Peneliti: Negara Harus Kawal Rekonsiliasi

Kam, 1 Oktober 2020 | 10:15 WIB

Soal Gerakan 30 September, Peneliti: Negara Harus Kawal Rekonsiliasi

Ilustrasi PKI. (NU Online)

Jakarta, NU Online

Setiap tahun di akhir September, bangsa Indonesia selalu diingatkan oleh peristiwa sejarah kelam kemanusiaan, yakni Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).


Namun agar tidak terlalu larut dalam perdebatan soal memori sejarah yang beragam versi, Peneliti Sejarah 1965 Grace Leksana mengungkapkan berbagai kemungkinan upaya untuk bisa melakukan rekonsiliasi. Hal ini agar bangsa Indonesia tetap mampu menatap masa depan, sehingga tidak melulu terjebak di dalam pergolakan sejarah kelam itu.


“Untuk melakukan rekonsiliasi sebenarnya tidak perlu muluk-muluk. Minimal, negara membiarkan diskursus mengenai Gerakan 30 September 1965 menjadi terbuka. Ini hal paling dasar,” ungkap Grace, dalam Dialog Sejarah, di Kanal Youtube Historia.ID, pada Selasa (29/9) pagi.


Doktor Sejarah Alumnus Universitas Leiden Belanda ini berharap agar negara dapat memiliki peran untuk bisa melakukan rekonsiliasi. Setidaknya, lanjut Grace, negara mendukung agar riset dan penelitian tentang peristiwa 1965 itu dilakukan.


“Dalam hal itu, misalnya, pembukaan-pembukaan dokumen arsip. Peran negara yang seperti ini saya rasa bisa menjadi modal awal untuk kita melakukan rekonsiliasi agar lebih terbuka,” tegasnya.


Selain itu, Grace berharap agar terdapat perlindungan terhadap masyarakat Indonesia yang ingin melakukan diskusi buku-buku sejarah secara informal dan kultural tentang Gerakan 30 September 1965 itu. “Di situlah peran-peran negara yang lebih konkret,” tuturnya.


Meningkatkan Nilai Kemanusiaan


Pemimpin Redaksi Historia Bonnie Triyana, dalam Dialog Sejarah itu, mengungkapkan bahwa untuk menciptakan rekonsiliasi, penting dilakukan untuk meningkatkan nilai dan rasa kemanusiaan.


“Kita bisa berdebat dan berselisih pendapat soal sejarah. Tapi apabila kita dan negara (pemerintah) merujuk kepada nilai kemanusiaan, saya pikir itu kunci jawaban untuk melihat persoalan ini,” kata Bonnie.


Artinya, lanjut Bonnie, kemanusiaan tidak bisa membatasi sekat ideologi, agama, dan etnisitas. Tetapi nilai kemanusiaanlah yang menjadikan bangsa Indonesia memiliki sudut pandang yang lebih luas dalam melihat peristiwa sejarah berdarah itu. 


“Sampai sekarang, kita masih selalu dibayang-bayangi oleh peristiwa itu sebagai sebuah beban. Jadi, bagaimana kita memandang masa depan Indonesia? Saya pikir, kita harus berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan bersama-sama,” ungkap Sejarawan lulusan Universitas Diponegoro, Semarang ini.


Rekonsiliasi dengan Mendidik Publik


Pemimpin Redaksi NU Online Achmad Mukafi Niam, dalam Risalah Redaksi pada Ahad (27/9) menyebut bahwa persoalan terbesar bangsa Indonesia terkait dengan PKI adalah bagaimana melakukan rekonsiliasi dengan baik. 


“Jangan sampai kita terus-menerus merawat permusuhan yang mengakibatkan generasi baru yang tak tahu apa-apa tersebut turut menjadi korban,” katanya dalam tulisan berjudul ‘Mewaspadai Isu PKI sebagai Jualan Politik’.


Ia menambahkan, Nahdlatul Ulama memiliki hubungan kelam dengan PKI ketika banyak kiai yang dibunuh dalam pemberontakan Madiun 1948. Periode 1960 awal berisi tentang provokasi-provokasi yang dilakukan PKI terhadap para kiai yang menyebabkan terjadinya ketegangan di tingkat akar rumput.


“Hal tersebut akhirnya meledak pasca-Gerakan 30 September. Namun, usai periode gelap tersebut, para kiai NU melakukan upaya rekonsiliasi secara kultural dengan mendidik anak-anak eks-PKI di berbagai pesantren. Mereka akhirnya menjadi Muslim yang baik,” ungkapnya.


Menurutnya, peristiwa yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih ini, dan terus diulang-ulang narasinya menunjukkan bahwa hal ini belum sepenuhnya selesai. Karena itu penting untuk mendidik publik tentang sejarah masa kelam perjalanan bangsa Indonesia tersebut secara lebih komprehensif dan menjadikannya sebagai sebuah pelajaran agar tidak terulang kembali di masa depan.


“Hal ini untuk menjadikan kita sebagai bangsa yang lebih kuat dan kokoh sembari memastikan bahwa proses rekonsiliasi yang telah berlangsung secara alamiah ini tidak diganggu oleh ulah segelintir orang yang ingin menggunakan isu-isu komunisme sebagai bahan jualan politik,” katanya.


Saat ini, lanjut Niam, bangsa Indonesia juga masih menghadapi persoalan nyata berupa semakin tinggi kesenjangan antara orang kaya dan kelompok miskin. Sebuah masalah yang ternyata tak mampu diatasi oleh komunisme yang menginginkan masyarakat utopis berupa kesejahteraan bersama.


“Inilah problem besar yang perlu kita pikirkan bersama untuk dicarikan solusinya dengan pendekatan baru, daripada terus-menerus menebarkan ilusi ketakutan,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad