Nasional

Sekjen PBNU: Pilkada Serentak Bisa Jadi Pemicu Ledakan Penderita Covid-19

Ahad, 20 September 2020 | 15:05 WIB

Sekjen PBNU: Pilkada Serentak Bisa Jadi Pemicu Ledakan Penderita Covid-19

Sekjen PBNU HA Helmy Faishal Zaini mengatakan ada sekitar 1468 orang yang akan dipilih. Asumsinya, jika Pilkada serentak dilaksanakan di 10 titik saja, selama 71 hari, maka akan membentuk titik penyebaran lebih dari satu juta titik. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Pernyataan sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terhadap penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun ini didasari atas kondisi penyebaran Covid-19 akhir-akhir ini dengan lebih dari 240 ribu yang terkonfirmasi positif.

 

"Bahkan kemarin, mencetak penambahan jumlah sekitar empat ribu kasus," kata Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini dalam talkshow Peci dan Kopi, yang disiarkan langsung di kanal Youtube 164 Channel, Ahad (20/9).

 

Pada Pilkada 2020 ini, kata Helmy, ada sekitar 1468 orang yang akan dipilih. Asumsinya, jika Pilkada serentak dilaksanakan di sepuluh titik saja, selama 71 hari, akan membentuk titik penyebaran lebih dari satu juta titik.

 

"Ini model yang dikembangkan oleh Pak Qodari (Direktur Eksekutif Lembaga Survey Indo Barometer). Dia menyebutkan bahwa akan ada bom atom di Pilkada 2020 ini yang sangat mengerikan," jelas Helmy.

 

Di Indonesia, tingkat positif sekitar 14 persen. Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan agar diupayakan bisa menekan tingkat positif di bawah lima persen.

 

"Sebut saja misalnya, jika tingkat positif berkisar sepuluh persen saja, itu menandakan bahwa dari 100 orang maka akan ada sepuluh orang yang diindikasikan sebagai terpapar Covid-19," jelasnya.

 

Dengan demikian, lanjutnya, dari satu juta titik tersebut jika diambil sepuluh orang saja, Pilkada tahun ini justru akan melahirkan sekitar lebih dari sepuluh juta Orang Dalam Pemantauan (ODP), sehingga muncul pasien-pasien positif baru.

 

"Saya kira, itu akan sangat mudah kita baca dengan menganalogikan ada sekian jumlah calon yang akan dipilih, ada sekian titik, dan kemudian dengan penghitungan tingkat positif kita yang sepuluh persen," kata Helmy.

 

Oleh karena itu, Pilkada 2020 ini jika dilaksanakan tidak dengan menggunakan protokol kesehatan yang sangat ketat, maka akan melahirkan sepuluh juta penderita baru.

 

"Kita semua setuju kalau Pilkada adalah suatu sarana pesta demokrasi untuk rakyat menggunakan hak pilihnya dalam memilih pemimpin yang amanah. Itu lazim bagi demokrasi yang merupakan kesepakatan bersama," kata Helmy.

 

Namun, lanjutnya, jika melihat prediksi yang telah disampaikan itu, maka beragam kerusakan dan musibah akan bisa dilihat di depan. Oleh karenanya, dalam konteks Pilkada 2020 ini, PBNU menggunakan kaidah fiqih dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih.

 

"Bahwa menghindar dari kebinasaan itu lebih diutamakan daripada mengambil manfaat. Dalam maqasid Syariah juga disebutkan bahwa salah satu unsur terpenting adalah kita memelihara jiwa dan keselamatan nyawa setiap manusia (hifzunnafs)," tegasnya.

 

Tetapi dalam kondisi pandemi seperti ini, terdapat satu urgensi yang benar-benar harus bisa menekan angka penyebaran dan penularan Covid-19, sehingga masyarakat akan mendapat perlindungan dan rasa aman.

 

"Maka, Pilkada ini harus benar-benar dinyatakan siap. Untuk itu, PBNU memberikan catatan penting kepada KPU, DPR RI, dan Presiden untuk bersama-sama duduk kembali. Sebab potensi kerusakan di depan sudah bisa kita lihat," pungkasnya.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan