Nasional

Psikolog: Pembinaan Karakter Berbasis Militer ala Gubernur Jabar Bukan Solusi Tepat Atasi Anak Nakal

NU Online  ·  Sabtu, 3 Mei 2025 | 09:30 WIB

Psikolog: Pembinaan Karakter Berbasis Militer ala Gubernur Jabar Bukan Solusi Tepat Atasi Anak Nakal

Gambar ini hanya untuk ilustrasi berita. (Foto: AI)

Jakarta, NU Online

Psikolog Klinis Bianglala Andriadewi menanggapi kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengirim siswa nakal ke barak militer untuk dididik selama 6 bulan.


Bianglala menegaskan bahwa program pembinaan karakter berbasis militer ala Gubernur Jabar Dedi Mulyadi bukan solusi yang tepat untuk mengatasi anak nakal atau bermasalah.


Menurutnya, masih terdapat pilihan penanganan yang lebih ilmiah. Di antaranya konsultasi dengan psikolog, konseling kelompok, atau menyediakan layanan telepon darurat untuk remaja.


“Kenapa nggak memberikan sesi konseling gratis bersama psikolog atau misalnya konseling kelompok? Di negara-negara maju itu sudah banyak akses telepon darurat untuk anak remaja. Jadi sebenarnya banyak yang bisa pemerintah lakukan,” jelasnya kepada NU Online, Jumat (2/5/2025) malam.


Bianglala menegaskan, kenakalan remaja merupakan dampak dari kompleksnya permasalahan yang bersumber dari berbagai faktor, termasuk keluarga, pola asuh orang tua, pergaulan teman, maupun lingkungan sekolah. Upaya pendisiplinan di barak militer tanpa terlebih dahulu menelaah akar permasalahan hanya akan menjadi solusi yang kurang efektif.


“Ketika saya praktik di Puskesmas di daerah Yogyakarta banyak anak-anak korban bully dan pelaku bully. Jadi anak-anak tersebut diterapi dan konseling sama psikolog sehingga tahu akar permasalahannya,” papar Psikolog Welas Asih Consulting itu.


Ia mengatakan bahwa pembinaan terkait pendisiplinan dapat dilakukan apabila memang telah mencapai tahap yang tepat. Sebab anak berusia remaja berada pada fase rentan terhadap stres yang dapat mempengaruhi kondisi emosional mereka yang sering dianggap nakal atau bermasalah.


"Anak remaja rentan stres dan cenderung emosional, sehingga perilaku mereka sering tampak tidak tepat. Karena pada dasarnya mereka belum memiliki kematangan berpikir seperti orang dewasa, sehingga membutuhkan pendampingan dari orang dewasa," tekannya.


Peran sekolah, keluarga, dan pemerintah

Bianglala menyarankan pentingnya keluarga dan sekolah menjadi tempat aman untuk mendengarkan cerita dan permasalahan yang dihadapi anak tanpa memberikan penghakiman sepihak.


"Keluarga dan sekolah adalah lingkaran pertama anak. Kalau itu tidak diatasi, percuma mau dikirim ke barak militer berkali-kali pun. Ketika kembali ke keluarga yang tidak hangat terhadap anaknya, hasilnya akan sama saja," ungkapnya.
 

Menurutnya, peran orang tua sebagai figur utama yang seharusnya menjadi tempat bercerita dan sumber ketaatan pertama bagi anak-anak dengan menyediakan waktu berkualitas untuk mendengarkan dan memahami anak-anak mereka.


"Remaja pada dasarnya berinteraksi langsung dengan orang tua mereka, yang seharusnya menjadi tempat pertama untuk bercerita, ketika orang tua tidak harmonis, sibuk bekerja, tidak memiliki waktu untuk anak, tidak mau mendengarkan cerita anak, bahkan memarahi saat anak bercerita, kepada siapa lagi anak-anak ini bisa mengadu?" pungkasnya.


Siswa nakal sudah dikirim ke barak militer

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sudah memulai program pengiriman siswa nakal ke barak militer. Program ini dimulai sejak 1 Mei 2025. Pertama kali, Dedi mengirim 30 anak nakal dari Purwakarta ke barak militer.


Lalu pada 2 Mei 2025 atau tepat pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Dedi kembali mengirim 30 siswa asal Bandung yang dinilainya sebagai anak nakal.
 

Saat memimpin Apel Hardiknas Jawa Barat di Bandung kemarin, Dedi mengatakan bahwa pelajar yang mengikuti pendidikan ala militer di Purwakarta itu merupakan anak-anak remaja yang terlibat tawuran dengan menggunakan senjata tajam.


Dedi mengatakan, pelajar yang menjalani pendidikan semi-militer ini berasal dari jenjang pendidikan SMP dan SMA. Ia kemudian merinci kriteria siswa nakal yang dikirim ke barak militer.


"Kriterianya itu adalah anak-anak yang sudah mengarah pada tindakan kriminal dan orang tuanya tidak punya kesanggupan untuk mendidik. Artinya bahwa yang diserahkan itu adalah siswa yang oleh orang tuanya di rumahnya sudah tidak mau lagi, tidak mampu lagi untuk mendidik. Jadi kalau orang tuanya tidak menyerahkan, kami tidak akan menerima,” kata Dedi.