Nasional

Gubernur Jabar Tuai Kritik: Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer Abaikan Akar Masalah dan Hak Anak

NU Online  ·  Jumat, 2 Mei 2025 | 06:00 WIB

Gubernur Jabar Tuai Kritik: Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer Abaikan Akar Masalah dan Hak Anak

Gambar ini hanya sebagai ilustrasi. (Foto: AI)

Jakarta, NU Online

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (Kornas P2G) Satriawan Salim mengkritik Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait pendekatan pendidikan militer bagi anak-anak yang melakukan tindakan kenakalan atau tindak pidana.


Menurut Satriawan, pendekatan yang diusulkan Dedi bersifat instan dan hanya menyentuh aspek hilir dari persoalan, tanpa menyentuh bahkan mengabaikan akar permasalahannya.


“Kami melihat ada indikasi bahwa Pak Dedi ingin menggunakan cara-cara instan yang sifatnya temporer. Ini hanya menyentuh persoalan di hilir, seperti anak nakal, anak melakukan tindakan pidana, kekerasan, geng motor, hingga perkelahian massal. Padahal ini sudah masuk ke ranah pidana,” ujar Satriawan kepada NU Online pada Rabu (30/4/2025).


Satriawan menyebutkan bahwa Provinsi Jawa Barat dengan populasi remaja usia 10-19 tahun menjadi yang terbesar di Indonesia, yaitu mencapai 8,1 juta jiwa dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bogor sebagai yang terbanyak.


Menurut Satriawan, permasalahan yang muncul di kalangan remaja tidak bisa diputus secara sepihak tanpa memahami latar belakangnya.


“Mengapa anak melakukan tindakan pidana atau ikut geng motor? Ada faktor ekonomi, kemiskinan, lingkungan sosial yang negatif, hingga ketidakhadiran orang tua dalam membimbing anak,” ucapnya.


Satriawan menilai, pendekatan Dedi Mulyadi ini juga mengabaikan peran keluarga dan sekolah, madrasah, atau pesantren. menurutnya, lembaga tersebut memiliki peran penting dalam proses tumbuh kembang anak.


“Pola seperti ini seolah menunjukkan bahwa Pak Dedi sudah tidak lagi mempercayai institusi keluarga, sekolah, madrasah, atau pesantren. Padahal, menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan memiliki tiga pusat yaitu rumah (keluarga), sekolah, dan masyarakat. Bukan barak militer,” tegasnya.


Satriawan menyampaikan bahwa pendidikan militer dan pendidikan sipil memiliki perbedaan yang kontras. Menurutnya, pendidikan militer memiliki struktur yang ketat diantaranya sistem komando dan mengenalkan hukuman fisik yang tidak sesuai dengan prinsip pedagogi anak.


“Kalau tentara, pendidikannya memang keras karena disiapkan untuk menghadapi perang. Tapi pendidikan anak sipil tidak seperti itu. Pendidikan seharusnya menyentuh empat aspek yaitu olah rasa, olah hati, olah pikir, dan olah raga. Bukan hanya fisik semata,” ujarnya.


Ia menilai, rencana Dedi yang akan menguji coba program pendidikan militer bagi anak-anak selama enam bulan yang dimulai pada 2 Mei 2025 akan memutus jam belajar di sekolah. Terlebih, hingga kini, tidak ada koordinasi resmi antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).


“Kalau anak hanya dilempar ke barak militer, maka akan terputus dari struktur kurikulum. Ini juga tidak ada koordinasi dengan Kemendikdasmen. P2G rasa Kemendikdasmen pun tidak menyetujui skema yang ditawarkan Dedi Mulyadi,” ucap Satriawan.


Ia menegaskan, pemerintah daerah tidak dapat mengambil keputusan sepihak dalam urusan pendidikan. Bentuk perubahan kebijakan harus diselaraskan dengan kebijakan pemerintah pusat dan sesuai dengan regulasi yang berlaku.


“Kewenangan dalam urusan pendidikan diatur oleh Menteri Pendidikan. Jadi tidak bisa langsung begitu saja diterapkan. Harus ada koordinasi dengan pemerintah pusat, dasar hukumnya harus jelas, dan harus sesuai dengan prinsip-prinsip pedagogis,” ungkapnya.

 

Hilangkan hak anak


Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru, Muhammad Mukhlisin menyampaikan bahwa penempatan siswa di barak militer tanpa akses pada pendidikan formal berisiko serius menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.


“Pada Pasal 9 Ayat 1, yang menyatakan bahwa ‘Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya’,” ujarnya.


Mukhlisin mengatakan, pendekatan berbasis militer berisiko menempatkan anak pada lingkungan yang rawan kekerasan fisik dan psikis, yang bertentangan dengan pasal selanjutnya yaitu Pasal 54.


“Bahwa ‘Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain’,” ucapnya.


Menurutnya, kebijakan ini berpotensi melanggengkan kekerasan pada anak, yang tertera pada Pasal 66 Ayat 1 yang menegaskan, ‘Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi’.


Ia menyampaikan bahwa dengan mengirim anak-anak ke barak militer selama enam bulan tanpa proses hukum yang adil dan partisipatif merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip perlindungan anak.


Mukhlisin menegaskan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu meninjau ulang kebijakan tersebut serta memperkuat sistem pencegahan dan penanganan kekerasan yang sudah ada dalam Permendikbud 46 tahun 2023.


“Kami berharap Dedi Mulyadi melanjutkan program baik Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebelumnya, yaitu pendidikan karakter berbasis kearifan lokal Jabar Masagi,” ucapnya.


Menurutnya, nilai-nilai kearifan lokal juga dapat menjadi inspirasi menanamkan nilai perdamaian.
 

“Kami percaya, perubahan positif lahir dari rasa percaya, bukan rasa takut. Anak-anak harus diperlakukan sebagai manusia yang tumbuh dengan martabat, dan hak yang harus dilindungi,” pungkasnya.


Anak nakal mulai diberangkatkan

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mulai mengirim anak sekolah yang nakal ke barak militer di Purwakarta, pada Kamis (1/5/2025). Ada 40 anak muda, di antaranya mereka yang terlibat kasus tawuran hingga menyebabkan luka-luka di wajah.


Mereka merupakan anak muda di daerah Purwarkarta. Melalui akun Instagram pribadinya, Dedi Mulyadi mengaku serius dalam memberikan pembinaan kepada anak-anak yang sulit dibina secara formal. Karena itu, ia bekerja sama dengan militer.


Ada sekitar 40 barak militer di Jawa Barat yang bisa dimanfaatkan. Anggaran pembinaan karakter dan kelakuan itu bersumber dari APBD Provinsi Jawa Barat dan APBD kota/kabupaten setempat.


Salah satu orang tua mengaku setuju, selama enam bulan ke depan anaknya dididik di militer. Dengan harapan karakter dan perilakunya lebih baik lagi.