Nasional

Petaka di Balik Kantong Plastik

Sen, 23 Agustus 2021 | 01:00 WIB

Petaka di Balik Kantong Plastik

Potongan gambar dalam film 'Simbiosis"

Jakarta, NU Online

Kantong plastik seolah-olah begitu melekat dalam kehidupan masyarakat. Bahan baku yang berasal dari plastik juga masih begitu mendominasi penggunaannya. Sehingga sampah plastik acap kali ditemukan menumpuk di berbagai tempat, tidak terkecuali di pesisir pantai utara Jawa; Rembang, Jawa Tengah tepatnya.

 

Film dokumenter berjudul Simbiosis mencoba mengungkapkan berbagai petaka yang timbul di balik kantong plastik yang dianggap biasa saja oleh sebagian kalangan. Film ini adalah garapan Galih Cahyo Nugroho, disertakan dalam lomba film bertema lingkungan, dan telah diunggah di kanal Youtube NU Online.

 

Simbiosis mencoba membawa penonton untuk merasakan sejuknya suasana pesisir Rembang, dengan pasir putihnya, berpadu air laut yang biru nan jernih, yang mampu memanjakan mata bagi siapa saja yang memandangnya

 

Pesisir pantai di Rembang yang menyimpan banyak kekayaan alam seperti garam, ikan-ikan dan destinasi wisata yang apik, justru dapat menimbulkan petaka karena adanya tumpukan sampah berbahan plastik. Permasalahan itu ironisnya tak kunjung rampung, bahkan ditemukan kasus sampah plastik hingga di dasar laut.

 

Keberadaan plastik yang mulanya diciptakan untuk menggantikan sampah kertas, akhirnya menjadi sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Kantong plastik, sedotan plastik, gelas plastik dan benda lain yang berbahan plastik kini mendominasi sampah masyarakat Indonesia.

 

Tidak hanya dapat digunakan untuk menyimpan makanan, plastik juga perlahan mulai masuk menyelinap ke tubuh manusia.

 

"Yang membahayakan adalah sampah plastik yang memiliki mikroplastik. Akan gampang termakan oleh ikan dan kepiting di laut. Kalau ikan dan kepiting yang kita konsumsi memiliki mikroplastik, maka akan membahayakan kesehatan," demikian Aidin Fitrah Bachtiar dalam penggalan film berdurasi hampir 12 menit tersebut.

 

Bom waktu berupa sampah plastik terus berjalan hingga sekarang. Kesadaran menjadi kunci menjinakkannya, dengan berlaku secara bijak, tidak lagi menggunakan plastik sekali pakai dan tidak pula membuangnya ke pesisir laut.

 

Film pendek yang berhasil menyabet juara pertama kompetisi bertema Pulihkan Alam, Pulihkan Kemanusiaan yang diselenggarakan NU Online dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) itu juga menyingkap permasalahan hutan mangrove di Rembang.

 

Tanaman yang berfungsi sebagai penahan abrasi tersebut justru banyak disalah gunakan oleh sebagian kalangan, yang hanya sekedar ingin memenuhi nafsu belaka. Kerusakan yang terjadi diakibatkan aktivitas manusia yang mengalihfungsikan hutan mangrove, melakukan pemburuan kayu secara ilegal dan pengelolaan yang kurang tepat.

 

Tanaman yang dapat hidup di atas lumpur bercampur air laut dan air tawar itu, memiliki kayu yang mampu menyerap karbon dioksida tiga kali sampai permanen. Sehingga, untuk menjaganya diperlukan peran serta manusia untuk mempertahankan emas hijau tersebut, agar tetap ada dan bermanfaat bagi dunia.

 

Kontributor: Afina Izzati
Editor: Kendi Setiawan