Nasional BULAN GUS DUR

Perilaku Korup Terus Marak, Gus Dur Tegaskan Pendidikan Berbasis Moral

Jum, 18 Desember 2020 | 12:00 WIB

Perilaku Korup Terus Marak, Gus Dur Tegaskan Pendidikan Berbasis Moral

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. Pojok Gus Dur.

Jakarta, NU Online

Belakangan ini, bangsa Indonesia dihebohkan oleh perilaku korup yang dilakukan oleh pejabat publik. Belum lama, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta Menteri Sosial Juliari Batubara terjerat kasus korupsi.


Soal moral pejabat dan penguasa negeri yang korup itu, sudah sejak lama menjadi perhatian KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sebab pencurian uang negara telah menyengsarakan rakyat. Bahkan menjadi pangkal lahirnya berbagai masalah lain di masyarakat.


Karena itu, sistem pendidikan Indonesia menurut Gus Dur harus terus diupayakan agar juga memperhatikan penanaman nilai moral. Hal tersebut menjadi penting agar dampak pembelajaran bisa bermanfaat dan dirasakan banyak orang. 


Dalam buku The Wisdom of Gus Dur: Butir-Butir Kearifan Sang Waskita (2014: 289), Presiden keempat RI itu mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia seharusnya mendasarkan pada penanaman nilai-nilai moral yang baik kepada anak didik sehingga hasilnya kelak akan bermanfaat. 


Gus Dur berpandangan, bukti nyata dari kebermanfaatan ilmu yang dimiliki seseorang akan terlihat jika dapat memberikan sumbangan positif bagi masyarakat. Sebaliknya, pendidikan akan menemukan kegagalan jika menghasilkan orang-orang yang menjadi penyakit bagi orang lain. Apa pun bentuk dan wujudnya. 


Kritik tajam pernah dilontarkan Gus Dur karena banyak para sarjana yang tidak mendasarkan perilakunya pada nilai-nilai moral yang luhur. Ditegaskan bahwa jika kemanusiaan diabaikan, itu adalah pangkal hilangnya nilai-nilai keagamaan yang besar. 


Lebih tajam lagi, Gus Dur mengritik dunia pendidikan di Indonesia. Katanya, “Dunia pendidikan di Indonesia telah banyak menghasilkan profesor, doktor, insinyut, MA dan sebagainya yang hebat dalam proporsional. Tetapi tidak berdasarkan kepada akhlak karimah sehingga pendidikan kita compang camping.” (lihat The Wisdom of Gus Dur 2014: 231).


Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Gus Dur berpandangan bahwa pendidikan di Indonesia hanya menekankan pada pendidikan umum dan sedikit sekali menerapkan pendidikan keagamaan, yang kemudian dituntut untuk hanya sekadar mengejar ijazah.


Akibatnya, para peserta didik hanya akan berlomba-lomba mengejar ijazah dengan mengabaikan aspek moral. Hal tersebut berdampak pada rusaknya keteladanan seorang murid dan hilangnya ketertarikan terhadap ilmu.


Di sisi lain, Gus Dur melihat bahwa orientasi pembangunan nasional seringkali dicerabut dan dijauhkan dari ajaran luhur agama serta nilai-nilai moral-spiritual yang tersimpan di dalamnya. Gus Dur, lagi-lagi memberikan kritik yang tajam dengan bahasa lugas.


“Sejauh ini, yang diajukan selalu hanya orientasi pembangunan yang elitis, dan teori pembangunan nasional yang sekuler. Sangat sedikit perhatian diberikan pada orientasi dan teori pembangunan nasional yang diambil dari ajaran agama. Padahal banyak sekali aspek-aspek spiritual yang dapat dijadikan landasan bagi teori pembangunan nasional yang lebih menyeluruh dan orientasi pembangunan yang memiliki sisi keagamaan sangat kuat,” kata Gus Dur, dikutip dari buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2002: 184).


Pendidikan berbasis masyarakat


Gus Dur termasuk salah seorang tokoh yang tidak terlalu suka dengan formalitas dalam banyak hal. Bahkan, saat menjadi presiden sekalipun. Ia banyak menabrak formalitas dan aturan protokoler. 


Dalam praktik beragama pun, Gus Dur tidak suka jika para pemeluk agama menjadi terjebak dalam formalisasi. Termasuk ia juga tidak setuju dengan upaya sebagian kelompok yang ingin memformalisasi agama dalam negara dengan ide-ide membentuk negara Islam. 


Ia berpandangan, pendidikan di Indonesia sudah terjebak dalam jerat semangat formalitas. Padahal akan berakibat tidak baik. Sebab potensi dan kemampuan masyarakat hanya diukur oleh ijazah formal. 


Ujung-ujungnya, tes penerimaan pegawai banyak yang berjalan di balik layar dan berlangsung hanya sebatas formalitas. Di sisi lain, banyak orang punya kemampuan yang jauh melampaui orang-orang berijazah karena telah banyak belajar dari pengalaman hidup alias belajar secara otodidak. 


“Akibat konsepsi atau sistem pendidikan yang menekankan pada ijazah formal, di negara kita banyak orang memburu ijazah formal hanya karena ingin gengsi-gengsian dan mendapatkan jabatan resmi. Orang belajar ke sekolah atau kampus bukan untuk mencari ilmu, tetapi untuk mencari ijazah demi syarat formal untuk mendapat kedudukan. Pendidikan yang berorientasi pada formalitas ijazah hanyalah pendidikan tipu-tipuan,” kata Gus Dur. (lihat The Wisdom of Gus Dur, 2014: 289).


Oleh karena itu, Gus Dur pernah mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia harus diubah dengan pendidikan berbasis masyarakat. Sebab, sistem pendidikan di Indonesia sekarang hanya sebatas formalistik.


“Orang tidak punya ijazah tidak dipakai padahal banyak warga masyarakat yang tidak berijazah tapi memiliki kemampuan,” ungkap Gus Dur.


Dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2002: 220), Gus Dur mengajukan dua perbaikan sistematik untuk pendidikan di Indonesia. Pertama adalah perbaikan sistem pendidikan yang hampir tidak memperhatikan penanaman nilai dan lebih fokus pada aspek hafalan.


Menurut Gus Dur, lantaran tekanan yang sangat kecil pada praktik kehidupan maka dengan sendirinya hafalan mendapatkan perhatian yang luar biasa. Bahkan, pemahaman nilai-nilai menjadi terbengkalai. Keadaan tersebut, kata Gus Dur, harus dibuat sistem pendidikan baru. 


Kedua, perbaikan yang harus dilakukan pada sistem pendidikan di Indonesia harus lebih ditekankan terhadap tata nilai dan struktur masyarakat yang ada sehingga pendidikan berdasarkan masyarakat (community based education) dapat dilaksanakan.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad