Probolinggo, NU Online
Salah satu syarat sahnya puasa adalah membaca niat. Tetapi terkadang ada juga yang lupa tidak membaca niat puasa dan baru ingat ketika sudah selesai shalat Subuh. Hal ini tentunya membuat kebimbangan bagi masyarakat yang tidak tahu hukumnya.
<>
Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Probolinggo H. Ahmad Hudri menjelaskan bahwasanya ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai tata cara membaca niat puasa Ramadhan. Menurut Mazhab Maliki, cukup berniat sekali saja untuk puasa yang bersambung hari-harinya seperti halnya puasa Ramadhan.
“Sementara kalangan ulama dari mazhab lain seperti Syafi’i berpendapat, niat puasa Ramadhan harus dibaca tiap hari. Niatnya dilakukan pada malam hari sebelum terbit fajar. Lalu bagaimana jika orang tersebut lupa berniat saat malam hari? Apakah makan sahur bisa menggantikan niat puasa?,” ungkapnya, Senin (14/7).
Hudri menerangkan menurut mazhab lain, jika sahur dilakukan pada tengah malam hingga sebelum fajar, sahur bisa menggantikan niat. Karena makan sahur termasuk dari kehendak melaksanakan puasa Ramadhan. Namun jika makan sahur dilakukan sebelum tengah malam maka ia tidak bisa menggantikan niat.
“Hal demikian ini sering terjadi. Tidak jarang menimbulkan keraguan. Imam Syafi’i berpendapat bahwa makan sahur tidak dengan sendirinya dapat menggantikan kedudukan niat. Kecuali apabila terbersit (khatara) dalam hatinya maksud untuk berpuasa. Penjelasan ini bisa dibaca di Al-Fiqh al Islami, III, 1678,” jelasnya.
Menurut Hudri, niat adalah ruh dalam amal. Suatu pekerjaan akan dicatat sebagai amal saleh, buruk atau sia-sia tergantung pada niatnya. Sebagaimana dimaksudkan dalam hadits “Sahnya suatu amal bergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari).
“Sedemikian pentingnya kedudukan niat dalam suatu amal, sudah semestinya kita perlu berhati-hati. Yakni dalam membaca niat upayakan niat itu sah. Sehingga amal kita juga sah dan diterima oleh Allah SWT,” tegasnya.
Terkait keabsahan puasa,jumhur ulama menetapkan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama niat dilakukan pada waktunya yaitu antara maghrib sampai menjelang Subuh untuk puasa yang akan dilakukan besok. “Dalam kitab-kitab fiqih ini lazim disebut tabyitun niyyah (menginapkan niat),” tambahnya.
Kedua, menentukan niat tersebut untuk puasa wajib. Bukan sunnah atau puasa dengan maksud-maksud lain. Dalam konteks Ramadhan, dengan sendirinya puasanya adalah puasa wajib. Ketiga, memastikan niat untuk satu jenis puasa saja.
“Sebagai contoh, jika pada 29 Sya’ban seorang berniat untuk berpuasa untuk keesokan harinya, dengan catatan jika keesokan harinya sudah masuk Ramadhan, maka puasanya karena Ramadhan,” tuturnya.
Dan jika belum berniat, maka puasanya dimaksudkan sebagai puasa sunnah. Niat semacam ini tidak mencukupi syarat puasa jenis apapun. Artinya, niat semacam itu tidak sah baik bagi puasa Ramadhan maupun puasa sunnah.
“Keempat niat dilakukan tiap hari sesuai dengan bilangan Ramadhan (ta’addudun niyah bi ta’addudil ayyam). Satu kali niat hanya berlaku untuk sehari puasa, karena tiap hari puasa adalah ibadah tersendiri yang tidak berhubungan atau terkait dengan hari puasa yang lain,” tandasnya.
Seperti hanya satu shalat jelas Hudri, shalat Subuh misalnya adalah ibadah tersendiri yang tidak berhubungan dengan shalat lain, katakanlah shalat Duhur. “Buktinya sah tidaknya suatu hari puasa tidak mempengaruhi sah atau tidaknya puasa di hari yang lain,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Mahbib)
Terpopuler
1
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
2
Mendaki Puncak Jabal Nur, Napak Tilas Kanjeng Nabi di Gua Hira
3
40 Hari Wafat Gus Alam, KH Said Aqil Siroj: Pesantren Harus Tetap Hidup!
4
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
5
Zaman Kegaduhan, Rais Aam PBNU Ingatkan Umat Islam Ikuti Ulama yang Istiqamah
6
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
Terkini
Lihat Semua