Nasional

MK Putuskan Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen, Berlaku Mulai Pemilu 2029

Jum, 1 Maret 2024 | 15:30 WIB

MK Putuskan Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen, Berlaku Mulai Pemilu 2029

Iluatrasi Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Mahkamah Konstitusi (MK) RI memutuskan menghapus ketentuan ambang batas parlemen atau atau parliamentary threshold sebesar 4 persen suara sah nasional untuk pemilihan umum (pemilu) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 


Putusan MK yang menghapus ambang batas parlemen 4 persen ini mulai berlaku pada pemilu 2029. Dengan kata lain, ketentuan ambang batas parlemen 4 persen tidak akan berlaku lagi pada pemilu 2029 dan seterusnya. 


MK menjelaskan, ambang batas parlemen tersebut konstitusional sepanjang tetap berlaku dalam pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan mulai pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya.


MK menilai ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) tersebut tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.


Keputusan itu tertuang dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).


"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan," ujar Ketua MK Suhartoyo dalam Sidang Pengucapan Putusan MKRI yang digelar, pada Kamis (29/2/2024). 
 

Sebelumnya, Perludem mempersoalkan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa "paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional".


Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu menyatakan: "Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR".


Pemohon menyebut hubungan ambang batas parlemen dengan sistem pemilu proporsional.


Pemohon berargumen, ambang batas parlemen adalah salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang akan berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi. 


Menurut Perludem, ketentuan ambang batas parlemen ini tidak boleh tidak dikaitkan dengan ketentuan di dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR baik provinsi maupun kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.


Perludem mengaitkan ketentuan ambang batas parlemen ini dengan tidak konsistennya atau menimbulkan ketidakpastian antara ketentuan ambang batas parlemen yang 4 persen dan berakibat tidak terwujudnya sistem pemilu yang proporsional karena hasil pemilunya tidak proporsional.


Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, Mahkamah tidak menemukan dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.


Bahkan, merujuk keterangan pembentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR terhadap permohonan a quo, Mahkamah tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4 persen dimaksud dilakukan dengan metode dan argumen penghitungan atau rasionalitas yang jelas.


Terjadi disproporsional

Saldi mengungkapkan bahwa ambang batas parlemen jelas memiliki dampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR, yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu.


"Artinya, bilamana diletakkan dalam basis argumentasi sistem pemilihan proporsional yang dianut, jumlah suara yang diperoleh partai politik peserta pemilu selaras dengan kursi yang diraih di parlemen agar hasil pemilu menjadi proporsional. Untuk itu, dalam sistem pemilu proporsional semestinya meminimalisir suara yang terbuang agar hasil pemilu tidak terkategori menjadi tidak proporsional atau disproporsional," jelasnya.


Saldi mengatakan bahwa dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah memaparkan dalam konteks keterpenuhan prinsip proporsionalitas dimaksud, misalnya, pada pemilu 2004 suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18 persen dari suara sah secara nasional.


"Begitu pula dalam pemilu 2019, terdapat 13.595.842 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 9,7 persen dari jumlah suara sah secara nasional," ujarnya.


Menurutnya, meski pada pemilu 2014 hanya terdapat 2.964.975 suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR, atau sekitar 2.4 persen dari suara sah secara nasional, namun tetapi secara faktual jumlah partai politik di DPR lebih banyak dibandingkan hasil pemilu 2009 dan pemilu 2019, yaitu 10 partai politik.


Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa bentangan empirik tersebut menegaskan telah terjadi disproporsional antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR selama diterapkannya ambang batas parlemen dalam pemilu anggota DPR.


Ia mengatakan bahwa fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan pemilih dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dengan ditopang lembaga perwakilan yang efektif.


"Padahal prinsip demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, namun kebijakan ambang batas parlemen telah ternyata mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen," ujarnya.


Menurut Saldi, penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak didasarkan pada dasar metode dan argumen yang memadai, secara nyata telah menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu karena tidak proporsionalnya jumlah kursi di DPR dengan suara sah secara nasional.


Ia menjelaskan, sesuai dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUUVII/2009, kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan ambang batas parlemen termasuk besaran atau persentase dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.


"Namun secara faktual prinsip-prinsip tersebut telah tercederai karena berakibat banyak suara pemilih yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR, sehingga menciptakan disproporsionalitas sistem pemilu proporsional yang dianut," jelas Saldi. 


"Hal demikian disadari atau tidak, baik langsung atau tidak telah menciderai makna kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih," tambahnya. 


Berdasarkan hal tersebut, kata Saldi, dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan ambang batas parlemen dan/atau besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak disusun sesuai dengan dasar metode dan argumen yang memadai pada dasarnya dapat dipahami oleh Mahkamah.