Risalah Redaksi

Menjaga Kehormatan Mahkamah Konstitusi

Sab, 22 Juni 2019 | 14:30 WIB

Menjaga Kehormatan Mahkamah Konstitusi

Ilustrasi (Antara)

Dalam beberapa hari ini, perhatian publik tertuju pada persidangan sengketa pemilu yang digelar di Mahkamah Konstitusi setelah pasangan capres 02 Prabowo Sandi mengajukan sengketa hasil pilpres ke pengadilan tersebut. Sejumlah tuduhan kecurangan yang selama ini hanya tersebar di media sosial atau pernyataan orang per orang yang disampaikan di media kini diuji kebenarannya di hadapan sembilan hakim konstitusi.  

Dalam sebuah kontestasi keras yang melibatkan banyak orang seperti di Indonesia, wajar jika ada yang kecewa karena hasilnya tidak sesuai dengan harapan yang diinginkannya. Namun, yang penting adalah bagaimana upaya penyelesaian dari kondisi seperti ini. Forum sidang pengadilan adalah tempat yang paling tepat. Ini menunjukkan sikap kenegarawanan pihak-pihak yang bertikai terkait dengan pemilu. Di situlah seluruh bukti dan argumentasi dari pihak-pihak yang bersengketa diuji.

Sidang di Mahkamah Konstitusi berlangsung maraton dengan menghadirkan para saksi untuk memperkuat tuntutan yang mereka ajukan. Pihak yang dituntut pun mengajukan argumentasi tandingan. Karena disiarkan secara langsung melalui televisi atau siaran streaming di internet, maka siapa pun bisa mengikuti persidangan tersebut, kapan saja dan di mana saja. Publik bisa menilai argumentasi yang diajukan oleh masing-masing pihak, apakah didukung bukti yang kuat atau apakah didasarkan argumentasi yang sahih. Namun, keputusan tetap ada di tangan para hakim.

Pemilu 2019 mengulang pertarungan antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto pada 2014.  Namun, pertarungan kali ini lebih karas karena salah satunya penggunaan sentimen agama sebagai bahan kampanye serta penggunaan media sosial yang semakin meluas. Polarisasi ini menyebabkan masing-masing pendukung tidak melakukan pencarian informasi yang berimbang terhadap masing-masing kandidat. Akibatnya yang muncul adalah militansi dukungan yang semakin menguat. 

Polarisasi ini terlihat nyata misalnya di provinsi tertentu, pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin unggul lebih dari 80 persen di Bali dan Papua sementara Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno unggul telak di Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Barat. Joko Widodo unggul di provinsi yang mayoritas penduduknya non-Muslim sedangkan dua keunggulan telak Prabowo adalah provinsi yang masyarakatnya mengidentifikasi diri sebagai Muslim yang taat. Tentu saja, situasi seperti ini kurang bagus dalam kerangka masyarakat Indonesia yang selama ini merupakan masyarakat yang plural dengan model keragaman yang luar biasa, seperti suku, agama, ras, atau golongan. 

Pola-pola dukungan kelompok masyarakat yang terpolarisasi ini dapat diidentifikasi lebih lanjut dengan tingkat ekstremitas yang tertentu. Militansi dukungan kepada masing-masing capres terlihat dari Peningkatan jumlah persentasi pemilih yang datang ke TPS dibandingkan dengan pemilu-pemilu presiden sebelummya. Ini menunjukan adanya peningkatan kesediaan pemilih untuk memperjuangkan calon yang dipilihnya agar tidak kalah dari calon lawan.  

Jangan sampai presiden terpilih kurang mendapat legitimasi bagi kelompok tertentu yang sebelumnya mendukung kandidat lawan. Sebagian besar masyarakat setelah hari pencoblosan pada 17 April lalu sudah kembali kepada aktivitas normalnya. Mereka menerima siapa pun presiden yang terpilih yang mendapatkan suara terbanyak. Tetapi ada pula yang belum puas karena merasa adanya kecurangan yang terjadi secara terstruktur, masif, dan sistematis (TSM). Isu ini harus diselesaikan secara tuntas. Di sinilah peran Mahkamah Konstitusi untuk menguji apakah klaim tersebut benar. 

Mengatakan bahwa pemilu di Indonesia kali ini sudah benar-benar bersih dari berbagai persoalan tentu sesuatu yang naïf. Dengan besarnya jumlah pemilih dan luasnya sebaran lokasi pemilihan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, tentu ada sejumlah ketidaksempurnaan. Berbagai temuan persoalan yang diajukan ke MK sudah diajukan ke MK. Para hakim konstitusi yang nantinya akan memutuskan apakah hal tersebut bersifat TSM atau tidak. Temuan-temuan ini nantinya menjadi bahan perbaikan untuk pemilu selanjutnya. 

Kita tentu berharap para hakim MK yang terhormat benar-benar mampu membuat keputusan yang tepat dan bijak karena hal ini menyangkut masa depan bangsa, bukan hanya bagi mereka yang menang atau kalah dalam sengketa tersebut. Keputusan pengadilan bukan hanya soal kebenaran formal tetapi juga keadilan secara substansial, yaitu rasa keadilan yang diterima oleh sanubari rakyat Indonesia. Jika hal ini mampu diwujudkan, maka sisa-sisa persoalan akan benar-benar tuntas dan pemimpin yang terpilih akan memiliki legitimasi yang kuat di hadapan seluruh rakyat.  

Penyelesaian sengketa pemilu melalui MK bersifat final dan mengikat. Artinya tidak ada lagi proses banding atau digugat di tempat lain. Karena itu, apa pun hasilnya, pihak yang kalah dan para pendukungnya harus menerimanya dengan legowo. Setelah proses pengadilan itu selesai, sudah tidak ada pengadilan lainnya. 

Presiden dan wakil presiden ditetapkan dan kemudian dilantik pada bulan Oktober 2019 mendatang. Jangan sampai pihak yang kalah, kemudian menuduh hakim MK bertindak curang atau tidak independen. Jika ada pihak yang tidak menerima kekalahan, hal ini menunjukkan sikap ketidakdewasaan dalam menerima hasil.  Jika ini terjadi, bangsa ini akan terus bergulat dengan dirinya sendiri sementara berbagai persoalan penting tak dapat terurus dengan baik. (Achmad Mukafi Niam)