Nasional

Lukman Hakim Saifuddin Sebut Tiga Penyebab Pentingnya Penguatan Moderasi Beragama

Sel, 19 Oktober 2021 | 09:30 WIB

Lukman Hakim Saifuddin Sebut Tiga Penyebab Pentingnya Penguatan Moderasi Beragama

Menag RI 2014-2019 H Lukman Hakim Saifuddin saat memaparkan Moderasi Beragama dalam FGD di Jakarta. (Foto: NU Online/Musthofa Asrori)

Jakarta, NU Online
Menteri Agama RI 2014-2019 H Lukman Hakim Saifuddin menyebut tiga penyebab pentingnya penguatan moderasi beragama di Indonesia. Penyebab itu merupakan fenomena keberagamaan ekstrem yang cukup menonjol belakangan ini. 


“Setidaknya ada tiga hal yang menjadi latar belakang sekaligus urgensi mengapa penguatan moderasi beragama ini penting. Ini tiga hal yang paling cukup menonjol sebagai fenomena yang belakangan sering kita jumpai ada di tengah-tengah kita,” uajrnya dalam Focus Group Discussion Uji Publik Peta Jalan Moderasi Beragama II, di Jakarta, pada Selasa (19/10/2021). 


Penyebab pertama, kata LHS, pentingnya penguatan moderasi beragama karena saat ini muncul fenomena paham serta berbagai tindakan pengamalan keagamaan yang justru mengingkari nilai-nilai kemanusiaan. 


Padahal, kata dia, semua agama hadir ke muka bumi bertujuan untuk menjaga, memelihara, dan melindungi harkat, martabat, serta derajat kemanusiaan. Namun, justru belakangan ini muncul fenomena orang beragama yang eksklusif. Hal ini bertentangan inti ajaran agama yang mengajarkan keterbukaan atau inklusivitas. 


“Setelah eksklusif menjadi segregatif, memisah-misahkan. Padahal beragama itu mestinya integratif, karena agama mengajarkan agar kita menyatukan keragaman atau perbedaan yang ada di tengah-tengah kita. Keragaman itu hakikatnya given, sesuatu yang memang begitulah Tuhan menghendakinya,” terang putra Menag KH Saifuddin Zuhri ini.  


Setelah perbuatan segregatif itu, lalu muncul sikap beragama yang konfrontatif atau mengajak pada permusuhan. Sementara dalam beragama, lanjut dia, harus bersikap kooperatif atau bersinergi, saling mengisi, dan melengkapi. 


“Tapi ini kok justru malah konfrontatif, menghardik ini-itu, mencaci, mencela, membangun permusuhan, bahkan menggunakan cara-cara kekerasan terhadap yang berbeda. Ini sesuatu yang justru mengingkari inti atau esensi pesan utama ajaran pokok agama itu sendiri,” tegasnya.


Kalau perilaku eksklusif, segregatif, dan konfrontatif dikedepankan maka pola beragama menjadi destruktif atau merusak, bukan justru konstruktif atau membangun. Padahal tujuan beragama untuk membangun kemaslahatan bersama. 


“Ini satu fenomena yang menjadi tantangan tersendiri dalam kehidupan keberagamaan kita yang sebenarnya tidak hanya konteks Indonesia saja, tetapi juga dunia kita melihat adanya fenomena seperti ini,” terang Lukman. 


Pemaksaan klaim kebenaran
Tantangan kedua yang menjadikan penguatan moderasi beragama di Indonesia harus dilakukan adalah karena muncul fenomena pemaksaan kehendak klaim kebenaran dengan cara kekerasan. 


Menurut LHS, setiap penganut agama tentu secara subjektif memiliki pemahaman bahwa ajaran sendirilah yang paling benar. Namun fenomena keberagamaan yang dimaksud Lukman ini merupakan klaim kebenaran yang dibarengi dengan upaya pemaksaan kehendak terhadap perbedaan. 


“Muncul klaim kebenaran yang dibarengi dengan pemaksaan terhadap yang berbeda, bahkan dengan penggunaan kekerasan. Ini lagi-lagi mengingkari inti pokok ajaran agama itu sendiri, karena dalam agama tidak ada paksaan apalagi menoleransi penggunaan cara-cara kekerasan,” tutur penggagas awal Moderasi Beragama itu.


Ketiga, kata LHS, muncul fenomena paham, tindakan, atau pengamalan keagamaan yang secara langsung mengoyak dan merusak ikatan kebangsaan. Bahkan, meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal dalam konteks keindonesiaan, berbangsa dan beragama adalah satu kesatuan. 


“Ketika kita menjalankan kewajiban keagamaan, itu hakikatnya kita sedang menjalankan fungsi kita sebagai warga negara. Begitu juga sebaliknya, ketika kita menunaikan kewajiban kenegaraan sebagai bangsa Indonesia, itulah wujud dari pengamalan keagamaan kita,” katanya.


Perilaku keagamaan yang mengoyak ikatan kebangsaan itu seperti menganggap Pancasila sebagai thagut atau berhala yang harus diperangi, diruntuhkan, dan dihindari karena selalu mendatangkan hal-hal negatif. Kemudian, atas nama agama mengharamkan hormat kepada bendera. Bahkan, menyanyikan Indonesia Raya dinilai sebagai wujud pengingkaran terhadap keesaan Tuhan atau mengusik ketauhidan. 


Tujuan Moderasi Beragama
Dari berbagai fenomena yang telah dipaparkan itu, Lukman lantas menjelaskan tujuan dilakukan moderasi beragama yakni sebagai ikhtiar atau upaya agar cara pandang, sikap, dan praktik keberagamaan umat beragama di  Indonesia dapat menciptakan kehidupan bersama.


Sebab agama hadir untuk menjunjung tinggi kemanusiaan. Sementara manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, tidak bisa hidup sendiri. Agama lahir untuk tujuan mengangkat harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan agar terpelihara dengan baik. 


“Juga agar tingkat peradaban kemanusiaan sebagai makhluk sosial itu dari waktu ke waktu terus meningkat,” terangnya. 


Menurut Lukman, manusia sebagai makhluk sosial yang selalu hidup bersama itu perlu dijaga cara pandang, sikap, dan praktik keberagamaannya. Hal ini bertujuan agar benar-benar mampu mewujudkan dan mengimplementasikan inti pokok ajaran agama. 


“Inilah pokok-pokok dalam mengimplementasikan inti pokok ajaran agama. Dalam hal ini, melindungi harkat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan bersama. Karena dua hal ini menjadi pesan inti setiap agama,” tandasnya.


Untuk diketahui, pada kesempatan itu hadir juga Tim Ahli Kelompok Kerja (Pokja) Moderasi Beragama Kemenag RI sekaligus Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Musthofa Asrori