Nasional

KH Faqihuddin Abdul Kodir Jelaskan soal Paksaan dalam Hubungan Intim Suami-Istri

Rab, 16 Juni 2021 | 13:30 WIB

KH Faqihuddin Abdul Kodir Jelaskan soal Paksaan dalam Hubungan Intim Suami-Istri

Penggagas Konsep Mubadalah, KH Faqihuddin Abdul Kodir. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online 

Penggagas Konsep Mubadalah, KH Faqihuddin Abdul Kodir, menanggapi peristiwa marital rape (paksaan hubungan intim suami dan istri) sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.


Menurut Kiai Faqih dalam menjalani relasi pernikahan sangat penting melibatkan prinsip kesalingan (mubadalah). Prinsip ini sangat jelas digambarkan al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 187 bahwa hubungan antara pasangan suami-istri (ar-rafats) itu laksana pakaian.


"Kiasan yang digambarkan al-Qur'an ini ingin mangajarkan kepada pasangan suami istri, dalam hubungan intim, untuk saling melayani satu sama lain, memberi kehangatan, dan menjaga kehormatan. Karena Hunna Libasullakum Wa Antum Libasullahunn," kata Kiai Faqih melalui pesan singkat kepada NU Online, Selasa (15/6).


Sedangkan marital rape sangat bertentangan dengan prinsip mubadalah dalam Al-Qur'an yang mengiaskan bahwa pasutri laksana pakaian satu sama lain antara suami dan istri. Oleh karenanya, praktik dan fungsi hubungan intim seharusnya dilakukan dan dinikmati oleh keduanya. 


"Marital rape adalah tindakan orang-orang yang tidak menjiwai adab Islam dalam relasi pasangan suami istri," terang pemilik karya Qira'ah Mubadalah ini. 


Di dalam ajaran agama Islam baik suami maupun istri, keduanya dituntut untuk menjaga pernikahan agar tetap kokoh, sehat dan harmonis. Hal itu bisa terwujud dengan menjalankan empat pilar sebagai berikut.


Pertama, adanya kesadaran dan pemahaman pasangan suami-istri bahwa hubungan perkawinan adalah perjanjian yang kokoh (mitsaaqan ghalizha). 


"Kedua, membangun pernikahan dengan sikap dan hubungan yang baik (mua’asyarah bil ma’ruf). Ketiga, memaknai saling berpasangan (zawaj) dalam pernikahan. Keempat, mengelola pernikahan dengan prinsip Musyawarah," terang alumni Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun ini. 


Empat pilar inilah yang menjadikan hubungan pasangan suami dan istri bisa terbangun kokoh, dan tentunya bisa mewujudkan visi dan misi kehidupan pernikahan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.


"Jadi, ketika terjadi suatu tindakan yang melukai dan menyakiti istri sama halnya ia telah melukai prinsip kemanusiaan yang telah diajarkan oleh Islam," ujar Kang Faqih sapaan akrabnya. 


Mengutip sabda QS. al-Baqarah [2]: 263 qawlun ma'rufun khairun min shadaqatin yatba'uha adza, bermakna berkata baik adalah sedekah yang istimewa daripada sedekah dengan jalan menyakiti. Karena itu, dalam pernikahan pasangan suami-istri sepatutnya menghindari cara-cara yang membuat salah satunya justru mengalami tekanan, kesakitan, dan kekerasan.


"Nabi Muhammad juga menyebutkan bahwa hubungan intim itu merupakan sedekah, yang harus dilakukan tanpa menyakiti, melainkan menyenangkan dan memuaskan," ungkap Kang Faqih. 


Berdasarkan draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) definisi pemerkosaan yang tertuang dalam Pasal 479 akan diperluas, termasuk pemerkosaan suami terhadap istrinya (marital rape).


Apabila perbuatan ini dilakukan dapat berujung pada kurungan pidana paling lama 12 tahun. Merespons hal itu, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengungkap data aduan dari istri yang mengaku diperkosa suami.


"Berdasarkan Catatan Tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020. Tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan," ucap komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini dilansir detik.com.


Kontributor: Syifa Arrahmah 

Editor: Fathoni Ahmad