Jombang, NU Online
Salah seorang mantan anggota Hizbut Tahrir (HT) Ainur Rofiq al-Amin mengungkapkan, terkait kasus pembakaran bendera HTI oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di Garut, Jawa Barat tak perlu terus dibesar-besarkan, terlebih 'digoreng' dengan berbagai kepentingan.
"Kasus bendera di Indonesia jangan terus dibesar-besarkan. Karena jelas itu bendera Hizbut Tahrir," ucapnya, Jumat (2/11).
Terkait ini, ia juga tak mengenyampingkan suatu pertanyaan yang mungkin muncul dari kalangan-kalangan tertentu. Misalnya bagaimana klaim sebagian simpatisan Hizbut Tahrir yang ingin memperbesar dan mengobarkan masalah bendera dengan alasan bahwa kalau orang HT membawa Al-Qur'an, lalu apakah bisa dikatakan itu Al-Qur'an Hizbut Tahrir?Â
"Tentu klaim simpatisan Hizbut Tahrir tersebut berangkat dari nalar yang absurd dan fallacy (penyesatan dalam logika)," urainya.
Pria yang juga Ketua Pengurus Cabang (PC) Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Jombang ini menuturkan, bahwa Al-Qur'an telah disepakati oleh seluruh umat Islam dari berbagai penjuru madzhab, siapapun yang pegang akan tetap dianggap Al-Qur'an umat Islam. Â
"Sedang masalah bendera penuh perbedaan, baik warna, tulisan dan praktik di negara muslim beragam, misalnya bendera Indonesia beda dengan Malaysia, Suriah, Iraq, Iran, Arab Saudi dan lain-lain, belum lagi dalam kajian takhrij hadits," jelasnya.
Dengan demikian, sambung dia, klaim bahwa itu bendera umat Islam adalah naif dan absurd. "Atau mungkin juga ada udang di balik batu?," ujar dia sembari bertanya-tanya.
Poin-poin di atas, juga ia sampaikan saat mengisi seminar yang diadakan Pengurus Pusat Ikatan Alumni Syam di Indonesia, Kamis (1/11) malam di Hotel Grand Kemang, Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan.Â
Hadir kala itu antara lain Mufti Damaskus dan Ketua Dewan Rekonsiliasi Nasional Damaskus Syaikh Adnan al Afyouni, Dubes RI untuk Suriah Djoko Harjanto, Dubes Suriah untuk RI Ahsin Mahrus. (Syamsul Arifin/Muiz)