Nasional

Gus Dur Ibarat Pohon Jati, Mengayomi Siapa Saja

Ahad, 20 Desember 2020 | 14:00 WIB

Gus Dur Ibarat Pohon Jati, Mengayomi Siapa Saja

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ibarat pohon jati. Ketika mencapai usia puluhan tahun akan menjadi rindang dan mampu mengayomi siapa saja yang berada tepat di bawahnya. Kayu jati, jika digunakan untuk memukul sesuatu pasti akan langsung jatuh karena memiliki kekuatan yang luar biasa. 
 
Hal tersebut diungkapkan Putri Sulung Gus Dur Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid dalam Annual Gus Dur in Memorial Lecture yang digelar PCINU Australia-New Zealand yang ditayangkan di 164 Channel, pada Sabtu (19/12) malam.
 
“Tetapi orang seperti saya, murid Gus Dur ini, ibarat lidi. Akan mudah dipatahkan ketika dalam keadaan sendiri. Tetapi Alissa yang sebatang lidi ini mungkin bisa mengambil teladan Gus Dur, kemudian berhimpun dengan lidi-lidi yang lain, sehingga bisa menjadi sapu lidi dan bisa dipakai nyapu, membersihkan yang kotor-kotor,” lanjut Alissa.
 
Sebab menurutnya, ketika sedang berkumpul dan berhimpun, orang-orang yang meneladani Gus Dur, dapat saling memperkuat. Ia berharap, acara yang digelar PCINU Australia-New Zealand itu mampu mengambil keteladanan dari perjuangan Gus Dur. 
 
“Baik Gus Dur sebagai individu, pemikiran, atau gerakan Gus Dur. Kita mau ambil keteladanannya, kita ambil pelajaran berharganya,” jelas Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian ini, dalam acara bertajuk Gus Dur dan Perdamaian Bangsa itu.
 
Alissa mengakui bahwa Gus Dur adalah sosok yang kerap menjadi rujukan utama soal perdamaian bangsa. Hal itu bukan karena figurnya yang merangkul semua golongan dan bukan pula karena Gus Dur seringkali bergaul dengan para tokoh lintas iman.
 
“Karena Gus Dur membawa tema persaudaraan sejati,” jelas Alissa.
 
Dalam salah satu buku Romo Mangun Wijaya, Gus Dur menyampaikan bahwa toleransi antarumat beragama di Indonesia itu rupanya masih di permukaan. Masih mudah sekali untuk disulut menjadi ketegangan. Sementara yang dibutuhkan adalah persaudaraan sejati. 
 
“(Gus Dur menjadi rujukan perdamaian bangsa) bukan hanya karena Gus Dur bersahabat dengan Romo Mangun, Ibu Gedong Bagus Oka dari Bali, TH Sumartana, Pendeta Andreas Hewanggo, Bhante Sri Pannavaro. Bukan hanya karena itu,” kata Alissa.
 
Namun karena yang dilakukan Gus Dur adalah kerja-kerja yang ada landasannya. Bukan sekadar kumpul-kumpul membuat acara. Misalnya membuat event Bhinneka Tunggal Ika atau acara lintas iman, tetapi ternyata di dalam keseharian masih saja ada diskriminasi.
 
“(Dan) perdamaian bangsa yang dilakukan Gus Dur itu bukan hanya tentang umat beragama. Tetapi perdamaian yang lebih luas dari itu, perdamaian bangsa yang lengkap. Termasuk bagaimana mendamaikan bangsa Indonesia dengan Timor Leste, pada waktu itu,” ungkap Alissa.
 
“Kemudian bagaimana memperlakukan warga di Papua agar mereka bisa merasa menjadi bagian dari warga Indonesia. Karena itu Gus Dur mengembalikan jati diri masyarakat Papua ke nama aslinya yaitu Papua (dari yang semula, Irian Jaya),” tutur Alissa.
 
Tak hanya itu, Gus Dur juga memberikan rasa aman kepada warga Tionghoa di Indonesia. Bahkan memberikan rasa nyaman kepada para petani dan nelayan. Dengan kata lain, perdamaian yang dibawa Gus Dur itu bukan bersifat ‘panggung’ tetapi perdamaian yang diimplementasikan dalam sistem.
 
Alissa mengutip ungkapan sekaligus Gus Dur bahwa perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Bagi Gus Dur, perdamaian dan keadilan harus berjalan beriringan dan tidak saling meninggalkan.
 
“Tidak mungkin kita mendapatkan perdamaian yang berkelanjutan kalau keadilannya tidak diperkuat, tidak diwujudkan. Karena itulah juga yang menjadi paradigma Gus Dur untuk berpikir bagaimana menjadikan perdamaian ke dalam sebuah sistem kehidupan,” pungkas Alissa. 
 
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syamsul Arifin