Nasional BULAN GUS DUR

Gus Dur Alami Kekalahan Politik karena Perjuangkan Keadilan Rakyat

Sab, 19 Desember 2020 | 12:45 WIB

Gus Dur Alami Kekalahan Politik karena Perjuangkan Keadilan Rakyat

Gus Dur di ruang kerjanya bergelimang buku. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid (Alissa Wahid) mengungkapkan, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak selalu sukes dan berhasil dalam setiap perjuangannya.


Sebab, landasan perjuangan yang digunakan Presiden keempat Republik Indonesia itu adalah keadilan untuk rakyat. Karena itulah, beberapa pihak yang memiliki banyak kepentingan kemudian tidak suka dengan pendekatan landasan perjuangan yang digunakan Gus Dur itu.


“(Dan) ujungnya Gus Dur mengalami kekalahan politik. Tapi, kalau kita bicara tentang kebijakan dan bagaimana kebijakan itu terus dijaga, itu karena Gus Dur sendiri sebagai seorang figur yang hati dan pikirannya terbuka untuk selalu mendengarkan dari berbagai pihak,” ungkap Alissa dalam program galawicara di TV9 Official, Sabtu (19/12) pagi. 


Baca juga: Politik bagi Gus Dur, Alissa: Wasilah Perkuat Martabat Kemanusiaan


Karena itu, Gus Dur tidak segan-segan memberikan masukan kepada pihak-pihak yang berwenang sekalipun dirinya sudah tidak menjadi bagian dari pemerintahan. Gus Dur tetap menyuarakan kepentingan rakyat dengan berbagai kanal atau saluran.


“Bisa dengan diskursus di ruang publik melalui media massa atau tulisan-tulisan, melalui pertemuan publik seperti seminar. Bisa juga dengan pendekatan-pendekatan di balik layar antaraktor,” tutur Alissa.


Selain itu, Gus Dur juga selalu melakukan pendekatan yang baik kepada militer, partai politik, dan kepada pemerintah itu sendiri. Hal tersebut, menurut Alissa, selalu dilakukan hingga Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 lalu.


Baca juga: Saat Jabat Presiden, Gus Dur Libatkan Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan


Saat diminta pendapat mengenai gaya pemerintahan sekarang, Alissa menjawab cukup terbuka. Hanya saja, perspektif atau cara pandang pemerintah terhadap berbagai persoalan itu seringkali tidak berangkat dari kondisi lapangan.


“Kalau kami di Jaringan Gusdurian sehingga mengeluarkan sembilan rekomendasi untuk Indonesia, melihat dari sisi keterbukaan sebetulnya lumayan. Pemerintahan sekarang cukup terbuka. Namun, cara pandang negara terhadap berbagai persoalan seringkali tidak berangkat dari kondisi lapangan,” kata Alissa.


Misalnya, sistem pendidikan nasional. Menurut  Alissa, negara masih punya pekerjaan rumah yang sangat besar. Namun, pemerintah kerapkali membuat keputusan-keputusan yang agak berbeda dengan situasi yang ada di lapangan.


Baca juga: Gusdurian Dorong Konsep Pribumisasi Islam Jadi Strategi Gerakan Masyarakat


Pada pembahasan sistem pendidikan nasional untuk dijadikan salah satu dari sembilan poin rekomendasi, Gusdurian mengundang para pakar pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. 


“Ada 120 lebih para pakar yang bersama Gusdurian untuk merumuskan persoalan yang sedang dihadapi (termasuk soal pendidikan). Kemudian, apa yang seharusnya pemerintah lakukan. Dan apa yang nanti akan dilakukan teman-teman Gusdurian selama dua tahun ke depan,” katanya.


“Jadi kami membuat sembilan rekomendasi itu, memang untuk menjawab persoalan yang ada. Bukan sesuatu yang bersifat awang-awang atau utopia,” lanjut Alissa. 


Sisdiknas di masa pandemi
Sebagai seorang pendidik juga, Alissa menyadari bahwa situasi saat ini sangat sulit. Kondisi pendidikan di lapangan memang tidak bisa dilakukan menggunakan cara-cara standar. Di masa pandemi ini, orang tua diminta untuk sekaligus menjadi guru.


“Sementara Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) kita sendiri lebih banyak berbicara tentang pengetahuan umum yang membuat orang tua kewalahan. Pada sistem pendidikan sendiri, guru-gurunya pun tidak siap untuk segera bertranformasi menggunakan sistem digital,” ungkapnya.


“Jadi memang tantangannya sangat besar. Saya paham bahwa banyak orang tua yang keberatan jika anak terus-menerus berada di rumah. Apalagi kalau orang tua diminta untuk menjadi guru. Karena soal-soalnya bukan juga soal-soal yang mudah dipahami,” lanjut Alissa.


Di sisi lain, di masa pandemi ini tidak bisa begitu saja murid kembali ke sekolah karena risiko yang akan terjadi sangat tinggi. Di Jawa Timur misalnya, tutur Alissa, beberapa kali sekolah dibuka dan kemudian dipaksa tutup kembali karena ada transmisi virus yang cukup besar. 


Namun demikian, Alissa menegaskan bahwa tantangan di ranah pendidikan juga dipengaruhi oleh sistem pendidikan sebelumnya yang memang tidak sungguh-sungguh memberikan pertumbuhan karakter. 


“Tetapi hanya fokus pada pengetahuan dan keterampilan yang urusannya ketenagakerjaan atau penyerapan kerja. Itu bagus, tapi sebetulnya itu tidak cukup. Akhirnya, pada saat kondisi ini, orang tua tidak bisa secepatnya beradaptasi fokus pada proses perkembangan karakter anak di rumah,” tutur putri sulung Gus Dur ini.


“Guru juga tidak sanggup mengubah proses pembelajaran untuk lebih banyak bertumpu pada pembelajaran karakter. Tapi tetap mengejar target kurikulum. Ini bikin pusing semua orang. Guru, murid, dan orang tuanya juga pusing,” sambung Alissa.


Problem dasar pendidikan Indonesia
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim, menjelaskan bahwa problem dasar pendidikan di Indonesia adalah tereduksinya harkat martabat manusia karena orang hanya menjadi elemen dari proses kapitalisme yang besar.


“Kita terlalu sibuk untuk memikirkan, orang ini nanti kalau orang sudah selesai dalam proses belajar, mau jadi apa dalam sistem kapitalistik itu, sehingga pendidikan karakter itu tertinggal. Kita tidak melihat bahwa di negara-negara maju justru menguatkan pendidikan karakter,” jelas Gaffar.


“Sehingga nanti ketika orang dibutuhkan untuk mengisi proses industri dan pasar, mereka justru lebih siap. Daripada kita hanya fokus menyiapkan mereka dalam pendidikan itu untuk menjadi bagian dari produksi. Karakter ini yang tidak berjalan dengan baik,” imbuhnya. 


Pandemi Covid-19, lanjut Gaffar, semakin menyadarkan banyak orang bahwa sistem pendidikan di Indonesia memang sedang bermasalah. Sedangkan masalah utamanya adalah soal pendidikan berbasis karakter. 


“Fokus kami di Jaringan Gusdurian adalah mengembalikan pendidikan agar berjalan dalam tujuan untuk menguatkan harkat kemanusiaan itu, dengan prinsip humanisme ala Gus Dur. Itu tantangan pendidikan Indonesia ke depan,” katanya.


Lebih jauh ia mengatakan, sembilan poin rekomendasi Jaringan Gusdurian yang dikeluarkan pasca digelarnya pertemuan nasional merupakan turunan dari prinsip berfikir kemanusiaan dan keadilan yang secara konsisten selalu diajarkan Gus Dur. 


“Prinsipnya (dari sembilan poin rekomendasi Jaringan Gusdurian) adalah rakyat. Jadi itu yang mendasari sembilan poin. Kita ambil dari prinsip ajaran Gus Dur yang meletakkan manusia sebagai objek dan terlibat dalam proses politik, bukan hanya mencapai kepentingan jangka pendek,” jelas salah seorang perumus sembilan rekomendasi Jaringan Gusdurian ini.


Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Musthofa Asrori